Tembok yang Akhirnya Runtuh

Wednesday, December 28, 2016

Aku sengaja menulis kisah ini dari sudut pandang seseorang yang tidak mirip dengan sudut pandang siapapun kecuali diriku sendiri.


Dua minggu telah berlalu semenjak pertama kali rombongan kami menginjakan kaki di Desa Awan. Meskipun lokasi desa tersebut tidak tercantum di peta dan terletak jauh di puncak bukit, aku mendapati diriku diliputi rasa senang, alih-alih perasaan khawatir terpisah dari peradaban modern. Dilihat dari lokasi alamnya yang indah dan damai, aku sudah memperkirakan bahwa aku akan cukup senang tinggal disana. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa aku datang ke Desa Awan tidak sendiri melainkan bersama serombongan teman-teman baru, yang pasti akan menimbulkan suasana berisik alih-alih perasaan tentram.

Rombongan kami berjumlah lima belas orang yang terdiri dari lima orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan. Aku belum begitu mengenal mereka kecuali hanya beberapa orang saja. Lagipula aku bukan jenis perempuan yang senang berbasa-basi. Aku bisa saja berbasa-basi jika aku mau. Tapi aku jarang repot-repot untuk melakukannya. Itu bukan sifatku.

Maka, siang itu pun berjalan seperti biasa. Aku duduk di pojok ruangan tamu menghadap layar laptop dan tenggelam dalam kesibukanku sendiri, sebelum akhirnya, konsentrasiku pecah berkeping-keping dikarenakan suara ribut orang-orang disampingku yang tertawa-tawa. 

“Apa mereka tidak punya rasa tanggung jawab?” batinku murka. Mengingat program-program kerja kelompok kami yang belum selesai. Aku berusaha menghilangkan kedongkolanku dengan mengabaikan keseruan teman-teman baruku yang gila itu. Namun aku bisa melihat dengan jelas, bahwa teman-teman wanitaku kentara sekali, pada saat itu, sedang mencari perhatian seseorang yang juga ada di situ. Nada suara yang lebih tinggi dari biasanya adalah salah satu pertanda.

Dan siapa lagi kalau bukan dia yang menjadi target incaran teman-temanku; Si Tuan Tebar Pesona itu. Yang duduk terentang jarak lima meter dariku. Yang diam-diam menjadi idola baru kaum hawa penghuni posko. Aku bersyukur aku tidak ngefans padanya. Dan bersyukur bahwa aku tidak konyol seperti teman-temanku yang haus perhatian.

Dari tempat dudukku, aku bisa mendengar Si Tuan Tebar Pesona merangkai kata-katanya. Dia memuji salah seorang temanku yang hari itu rambutnya diurai alih-alih diikat seperti biasa.

Dan seperti kebanyakan wanita yang mendapat pujian, temanku yang sebenarnya ngefans berat padanya itu pura-pura menanggapi pujiannya dengan sikap jual mahal yang dipikirnya sempurna. Tapi karena senyum di wajahnya yang tak juga hilang, aktingnya jadi sia-sia.

“Palingan sama perempuan lain ngomongnya juga begitu.” ucap temanku masih pura-pura jual mahal, cuek dan tidak peka alih-alih mengucapkan terimakasih.

“Tapi semua perempuan memang cantik.” balas si Tuan Tebar Pesona dengan percaya diri. Pasti zodiaknya Leo. Kecil kemungkinan kalau dia single, batinku curiga. 

“Termasuk nenek-nenek yang sudah tua dan keriput?” Tanya perempuan lain yang juga ngefans sekaligus cemburu pada waktu yang bersamaan.

“Oh tentu saja. Asal yang lihatnya kakek-kakek.”

Persaingan memperebutkan Tuan Tebar Pesona semakin sengit setiap harinya di kalangan perempuan penghuni posko. Dari mulai modus minta tolong sampai menawari bantuan dan memasak makanan semuanya lengkap. Mungkin, satu-satunya perempuan single yang tidak tertarik untuk ikut terlibat di dalamnya hanyalah diriku. Dari lima orang laki-laki yang ada di posko, fans terbanyak dimiliki oleh Tuan Tebar Pesona meskipun dia biasa saja. Tidak ganteng seperti Theo James atau keren seperti Channing Tatum.

Setelah mengamati laki-laki itu beberapa hari, terlepas dari statusnya yang masih misteri, kepribadiannya ternyata cukup menarik, karena dia ceria, ramah dan humoris. Pantas saja fans-nya banyak. Aku suka laki-laki humoris tapi bukan laki-laki genit dan iseng seperti dia. 

Akhirnya beberapa hari kemudian, misteri tentang status Tuan Tebar Pesona terkuak secara tidak sengaja. Ketika aku hendak mengambil dompetku yang tertinggal di dalam kamar, aku mendengar suara laki-laki itu dari balik jendela kayu yang ditutup rapat. Rupanya dia sedang mengobrol di telepon dengan pacarnya. Tidak perlu kujelaskan lebih lanjut bagaimana kata-katanya karena ternyata kecurigaanku selama ini terbukti benar. Bahwa dia itu seratus persen laki-laki iseng. Kelakuannya tidak perlu untuk ditanggapi dengan serius.

Aku tidak tahu apakah para fans beratnya sudah mengetahui rahasia ini ataukah belum. Atau jangan-jangan mereka tidak peduli? Apapun jawabannya itu bukan urusanku. Jadi, hari-hari berikutnya aku menjalani kehidupanku seperti biasa. Duduk di pojok ruangan tamu, mengotak-atik laptopku, sibuk dengan duniaku sendiri atau sesekali mengobrol dengan beberapa orang jika aku mau. Bisa dibilang sikapku ini minimalis sekali. Tapi aku tidak peduli.

Setelah menghabiskan lebih dari dua minggu berada di dalam satu atap dengan anggota rombongan, aku berani mengatakan bahwa meskipun aku ini perempuan sejati, tapi jiwaku cenderung maskulin alih-alih feminin. Bukan dalam artian tomboy atau hobi berkelahi dengan preman dan mafia. Bukan. Bukan jenis maskulin yang seperti itu. 

Tapi, bisa dibilang aku adalah tipe perempuan yang jarang merepotkan orang lain, tidak suka jadi pusat perhatian, cenderung serius dan mungkin agak sedikit misterius karena jarang sekali butuh bantuan siapapun, seperti pagi ini, ketika aku mengajak temanku untuk berbelanja makanan di warung dekat sekolah. Kebetulan saat itu, Tuan Tebar Pesona sedang duduk berdua dengan dia. Dari mimik mukanya, temanku itu sepertinya enggan. Padahal biasanya dia semangat sekali kalau kuajak belanja. Jadi, dia malah melontarkan alasan yang ditelingaku terdengar palsu alih-alih mengiyakan ajakanku. Dia bilang sedang tidak enak badan. Tapi tentu saja aku tidak percaya. Begitupun ketika aku mengajak teman-temanku yang lain yang sedang berkumpul di dekat Tuan Tebar Pesona, semuanya menolak. Akhirnya, aku pergi sendiri sambil menenteng tas belanjaan. Tidak masalah jika tak ada yang mau ikut denganku. Aku bisa pergi sendiri.

Ketika aku pulang berbelanja dan hendak menyimpan kantong belanjaanku di dapur, Tuan Tebar Pesona memanggilku. Aku tidak khawatir dia bakal menunjukan kelakuan isengnya lalu membuatku grogi atau salah tingkah, karena aku tidak naksir padanya.

“Kamu meninggalkan sesuatu ketika tadi pergi ke warung.” 

“Meninggalkan apa?”

“Hatiku.” Jawabnya iseng. 

Masih dengan senyum jahil yang menggemaskan terlepas dari statusnya yang disayangkan. Tapi, memang sudah pembawaanku yang cenderung serius dan waspada, alih-alih terpesona atau pura-pura tidak peka, aku malah menanggapinya dengan dingin “Oh, pantas saja kantongku berat. Ini ku kembalikan padamu.” Jawabku sambil menyerahkan kantong belanjaan padanya. Alih-alih langsung membalas perkataanku dia malah terpana. Dia pasti speechless. Sepanjang sisa hari itu, kapanpun kami berpapasan dia pastilah akan tersenyum padaku yang dimataku terlihat seperti menyeringai.

Tapi, tentu saja aku tidak bodoh. Senyumnya itu, selain dikarenakan mengingat kekonyolannya sendiri, pastilah karena sudah tidak sabar ingin membalas perlakuanku yang tadi sudah membuatnya terlihat bodoh.

Hari-hari berikutnya, dia berubah menjadi laki-laki iseng yang menyebalkan sekaligus sangat perhatian. Terlepas dari statusnya yang sudah punya pacar, perhatiannya padaku memang menjerumuskan. Dia bisa tiba-tiba datang ke tempatku melaksanakan praktek meskipun jaraknya cukup jauh, hanya untuk sekedar menjemputku pulang naik motornya. Atau sekedar iseng menengok keadaanku disana. Dia benar-benar menyebalkan. Apalagi kedatangannya selalu membuatku jadi pusat perhatian dan sumber rasa sirik anggota rombongan yang lain yang ngefans padanya.

“Ngapain datang?” tanyaku judes dan terkejut ketika melihatnya muncul di tempat praktekku. Dia menyeringai.

“Nengokin kamu.” Jawabnya asal sambil mengikutiku.

“Siapa juga yang sakit,” balasku masih dengan sikap judes. Tapi laki-laki menyebalkan itu hanya tertawa.

“Pulangnya aku jemput, ya,” ucapnya. Tak peduli bahwa kata-katanya barusan membuat sejumlah fans beratnya patah hati. Begitulah selama berminggu-minggu. Dia tak henti-hentinya mengganggu kehidupanku. Meskipun sejujurnya dia lebih banyak terlihat menggemaskan alih-alih menyebalkan, aku mengingatkan pada diriku sendiri bahwa dia hanya teman. Dia sudah punya pacar dan aku tidak berminat untuk merusak hubungannya. Jadi, meskipun dia sangat perhatian, aku tak perlu menanggapinya dengan serius.

Rupanya sikapku yang demikian diterjemahkannya sebagai tantangan alih-alih kedewasaan, karena ternyata, dia tidak menyerah dengan mudah. Ketika semua perhatian-perhatiannya kutanggapi dengan biasa, disitulah dia mulai berbagi cerita tentang kehidupannya denganku. Karena dia tahu aku mementingkan kejujuran dan menyukai pria yang jujur, dia mengatakan padaku bahwa dia sebenarnya sudah memiliki pacar yang tinggal di luar kota dan jarang bertemu. Intinya, hubungan mereka sudah renggang. Dan tinggal menghitung hari.

Sebagai seorang perempuan yang mempunyai akal sehat, tentu saja aku tidak boleh langsung percaya dengan kata-katanya. Lagipula, dia itu laki-laki. Dan bisa saja bersikap licik. Jadi akhirnya, percakapan tersebut berakhir dengan dia yang berulang kali meyakinkanku bahwa pacarnya memang benar-benar jauh dan hubungannya tinggal menghitung hari yang kutanggapi dengan tawa skeptis.

Jika melihat kelakuannya, sulit untuk percaya bahwa dia menjalani hubungan jarak jauh dengan pacarnya, kecuali, jika hubungan mereka sudah mencapai kurun waktu bertahun-tahun. Jika hubungan mereka sudah mencapai kurun waktu bertahun-tahun, sangat kecil kemungkinan baginya untuk meninggalkan pasangannya. Kalaupun dia mengatakan hubungannya tinggal menghitung hari, itu semua bisa saja dusta. Atau mungkin dia hanya bosan. Tapi tidak berniat putus. Dan akan kembali jatuh cinta ketika bertemu lagi dengan pasangannya di kemudian hari.

Aku ngeri membayangkan masa depan diriku jika sampai jatuh ke dalam perangkapnya. Meskipun dia baik dan hubungannya tinggal menghitung hari, itu bukanlah alasan yang pantas untuk menyuruh atau menunggu dia putus dari pacarnya. Laki-laki haruslah bertanggung jawab atas pilihannya dan tidak sepantasnya dipengaruhi oleh siapapun dalam mengambil keputusan penting untuk hidupnya.

Meskipun aku setuju bahwa jatuh cinta itu perkara hati, tapi kenyataannya, aku tetap saja menggunakan akal sehatku saat hal tersebut terjadi. Sehingga ketika laki-laki itu berulang-kali meyakinkanku dengan segala macam cara tentang hubungannya yang akan berakhir. Serta menghujani aku dengan berbagai perhatian yang menjadi sumber kesirikan fans beratnya, aku nyatanya bisa mengabaikannya dengan mudah. Dan tetap berpegang teguh pada prinsipku: If someone makes you as a choice. Treat him the same way. 

Hari-hari berikutnya, aku tetap menjalani kehidupanku seperti biasa. Aku masih berkenalan dengan orang lain, terutama laki-laki lain. Aku tidak lantas menutup hatiku hanya karena Si Tuan Tebar Pesona itu sangat perhatian padaku dan mengatakan hubungannya akan segera berakhir. Ketika di suatu malam, seusai aku mengobrol lama di telepon dengan salah seorang teman dekat laki-laki, dia menghampiriku dan bertanya siapa yang baru saja meneleponku dengan nada penasaran. Wajahnya tersenyum saat bertanya. Tapi, aku tidak bodoh. Aku bebas dekat dengan siapapun. Lagipula, dia bukan pacarku.

Akhirnya, pada suatu hari, kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang setelah beberapa hari sebelumnya disibukan oleh berbagai macam program kerja yang harus segera diselesaikan.

“Baiklah, aku mengaku sekarang. Aku tidak menjalani hubungan jarak jauh dengan pacarku.” Katanya tiba-tiba. Lalu cerita yang berbeda mengalir dan bermuara pada ending yang sama seperti kemarin; bahwa hubungannya akan segera berakhir alih-alih sudah resmi berakhir.

Mungkin dia pikir, setelah mendengar ceritanya, aku akan terharu dan berubah jadi pahlawan yang menyelamatkannya dari hubungannya yang buruk itu. Entah dengan menyemangati atau menunggunya jadi pacarku suatu saat nanti. Tapi, tentu saja itu tidak akan pernah terjadi. Aku tetap bersikeras pada pendirianku bahwa dia hanya teman. Dan bahwa inilah yang kuinginkan.

Kenyataan bahwa aku begitu keras kepala membuatnya merenung. Sikapnya berubah. Selama beberapa hari setelah percakapan tersebut, kami jarang sekali berbicara satu sama lain. Dan itu berlangsung hingga berminggu-minggu lamanya. Hingga akhirnya, pada suatu hari, aku mengetahui bahwa dia benar-benar sudah putus dari pacarnya. 

Saat itu aku masih dekat dengan laki-laki lain yang sering meneleponku hampir setiap malam. Dan teman-temanku mendukung kedekatan kami. Namun, dilihat dari sudut pandang manapun, aku sebenarnya tidak cinta padanya. Laki-laki itu memang baik, humoris dan selalu membuatku tertawa dengan leluconnya. Tapi, lama kelamaan aku bosan. Meskipun aku suka laki-laki yang humoris, aku lebih suka laki-laki yang serius. Dan lagi, laki-laki itu memang tidak jelas tujuannya. Sepanjang kami mengobrol, dia hanya bercanda. Tidak lebih. Dan akhirnya, hubungan kami kandas bahkan sebelum di mulai.

Di tengah kebosanan yang melanda, hubunganku dengan Tuan Tebar Pesona membaik. Dilihat dari sikapnya yang kini lebih dewasa, dia sudah tak lagi pantas diberi julukan Tuan Tebar Pesona. Kami mulai berbincang sedikit demi sedikit meskipun masih canggung. Hari-hari berikutnya aku semakin banyak menghabiskan waktuku bersamanya. Entah itu jalan-jalan atau piket bersih-bersih.

Dan ketika suatu hari aku memerlukan bantuannya dalam menyelesaikan program kerja yang kurancang, dia mengajukan syarat yang sebenarnya gampang tapi tak bisa kupenuhi.

“Oke. Asal hari ini kamu masakin oseng-oseng tempe asem manis buatku.” pintanya.

"Oseng-oseng tempe? Aku nggak bisa,” ucapku menolak. Tapi laki-laki itu memang pintar. Dia tidak kehilangan akal.

“Kalau kamu tidak bisa, biar aku yang mengajari.” 

Dan jadilah hari itu kami memasak berdua di dapur. 

Hari-hari berikutnya, perhatiannya semakin jelas terlihat. Jadi waktu itu aku sedang memasak nasi goreng satu wajan penuh di dapur. Entah darimana datangnya, laki-laki itu sudah berdiri disampingku ketika aku sedang fokus mengaduk bumbu.

“Perlu ku bantu?” tanyanya yang langsung ku tolak. Bukan karena aku tak suka padanya. Tapi lebih dikarenakan perasaan tak enak jika sampai merepotkannya. Aku terbiasa mandiri. Namun, laki-laki itu rupanya tidak menyerah dengan mudah meskipun sudah kutolak.

“Aku tahu kamu bisa sendiri. Tapi, biar aku saja. Karena kamu spesial.” Katanya sambil mengambil alih spatula yang sedang ku genggam. Dan, seiring dengan berjalannya waktu, laki-laki itu berubah sikap menjadi lebih memahamiku. Dia tahu aku bukan tipikal wanita yang bisa dekat “hanya dengan siapapun.” Dan dia mengatakan itu padaku ketika kami sedang makan pada suatu hari. Aku mengiyakan dan merasa senang karena dia pintar. Setelahnya, tidak sulit bagi kami untuk menggolongkan status kedekatan kami. Akhirnya, meskipun aku tidak pernah tahu kapan tepatnya kami jadian tapi kami bahagia.

0 comments: