Kisah yang Sederhana

Sunday, December 25, 2016



Senin pagi di tahun 1997

Pagi masih berkabut dan seorang ibu muda sedang menyiapkan anaknya yang berumur lima tahun untuk pergi ke sekolah. Memakaikannya seragam, mengepang rambutnya dan memasukan beberapa buku tulis serta pensil dan penghapus ke dalam ransel bergambar sinteron yang saat itu tengah hits di tahun 90an. 

Sebenarnya anak itu belum cukup umur untuk masuk sekolah dasar. Tapi anak itu selalu nampak semangat jika ibunya menanyakan apakah dia mau masuk sekolah tahun ini ataukah tidak. Yang akan langsung dijawab oleh anaknya itu dengan sorak sorai, “Aku ingin sekolah, Bu. Ingin sekolah!” Maka pagi itu adalah pagi yang bersejarah untuk mereka. 

Atmosfir tahun ajaran baru selalu seperti itu. Selalu ada seragam-seragam sekolah yang baru. Tas-tas dan sepatu baru. Dan para ibu yang sibuk mempersiapkan anak-anaknya masuk sekolah untuk yang pertama kalinya. Dan, ya, ibuku adalah salah satunya. Pagi itu, dia sudah selesai mempersiapkan segalanya untukku. Bajuku, sepatuku, tas sekolahku bahkan sarapan dan juga bekal yang nanti akan kubawa ke sekolah. 

Ibuku memang perempuan yang sempurna. Dia bisa menyelesaikan banyak hal dalam waktu singkat. Hari itu dia menawari aku membawa bekal nasi. Tapi aku lebih suka roti sehingga dia akhirnya mengganti bekal sekolahku dengan roti rasa kelapa yang dibelinya dari warung dekat rumah. Sejujurnya aku benar-benar bersemangat sekali hari itu. Dan ingin tahu seperti apa rasanya bersekolah. Apa disana banyak orang berjualan? Apa aku akan dapat teman-teman baru? Dan bagaimanakah wajah guru-guruku? Apa mereka semuanya baik? 

Bersama ibu-ibu lain yang anak-anaknya bersekolah di sekolah yang sama, aku dan ibuku pergi. Pagi yang masih berkabut dan dingin itu, kami susuri dengan berjalan kaki sejauh 2 km. Sebenarnya kami bisa saja naik angkutan umum. Tapi pada masa itu jarang sekali orang-orang di desa kami melakukannya. Lagipula, kami memang senang berjalan kaki. 

Kami berjalan menyusuri rumah-rumah penduduk, kolam-kolam pemancingan dan sungai-sungai kecil. Aku bahkan masih bisa melihat engkang-engkang (sejenis hewan air yang kini sudah langka) banyak berenang di sepanjang sungai jernih yang kami lewati. Selain melewati sungai-sungai kecil yang airnya jernih itu, kami juga melewati kebun-kebun kangkung yang tumbuh subur di sepanjang jalan dan hampir selalu di panen setiap hari oleh pemiliknya. Tahun itu di desaku masih banyak petani kangkung. 

Akhirnya kami pun tiba di sekolah sekitar jam tujuh pagi. Tempat itu dipenuhi banyak orang, para ibu dengan anak-anak mereka yang sama seperti aku; memakai seragam yang kerahnya masih kaku, sepatu dan tas baru. Selain itu, di sekolah juga banyak pedagang yang berjualan mainan dan makanan yang aku tidak tahu apa namanya. Terakhir kali aku berkunjung ke tempat yang dipenuhi banyak orang adalah saat aku diajak ibuku berbelanja ke pasar dan terpisah. Aku hampir saja menangis putus asa kalau-kalau ibuku tidak tiba-tiba datang menghampiri aku yang tengah berdiri kebingungan di depan penjual snack-snack makanan. 

Ibuku dan beberapa ibu lainnya kemudian menuju sebuah ruangan kelas di dekat kantor. Sudah ada beberapa ibu-ibu lain yang berdiri di sana, memperhatikan anak-anaknya yang sedang duduk di dalam kelas. Ada juga sebagian anak-anak yang tidak mau ditinggal dan malah menangis sehingga membuat orangtuanya bingung karena harus terus menemani mereka di dalam kelas. 

Aku sibuk mengamati keadaan disekelilingku. Menatap orang-orang yang berlalu lalang dengan pandangan ingin tahu. Banyak bangku-bangku dan meja di dalam kelas mulai terisi. Kemudian ibuku cepat-cepat memilih bangku panjang terdepan di dekat pintu. Di situ sudah ada dua anak perempuan yang duduk disana. Aku disuruh ibuku bergabung dengan mereka. Tak lama kemudian seorang guru perempuan datang ke kelas. Pertama-tama dia memperkenalkan dirinya di depan kelas. Dan aku jadi tahu kalau namanya adalah Bu Neneng, guru kelas satu yang akan mengajarku selama tiga caturwulan ke depan. 

Tapi sejujurnya aku lebih suka memanggilnya Ibu guru kecil karena badannya kurus sekali. Kemudian kami semua digiring ke lapang untuk mengikuti upacara hari Senin. Aku belum tahu apa yang akan terjadi kecuali bahwa orang-orang sudah mulai membentuk barisan-barisan dan aku harus ikut bergabung dengan membentuk barisan yang sama. Hari itu, aku mengikuti upacara sekolah pertama di dalam hidupku. Ibuku dan beberapa ibu lainnya menunggui kami di belakang barisan sambil mengobrol. Sementara itu aku sibuk memperhatikan jalannya upacara. Ada tiga orang yang salah satunya membawa bendera dan kemudian kami harus menyanyikan salah satu lagu wajib nasional. Setelah upacara selesai yang disertai dengan kaki yang pegal-pegal karena harus berdiri cukup lama selama upacara, aku kembali masuk ke dalam kelas. Dan ibuku memperhatikan aku dari pinggir kelas yang pintunya terbuka. Ada juga beberapa orangtua yang memperhatikan anak-anaknya dari balik jendela. Tapi ada juga orangtua yang ikut menemani anaknya di dalam kelas.

Saat dimana aku masuk sekolah dasar dulu, orangtua masih ada yang menemani anak-anak mereka di dalam kelas dan diizinkan oleh gurunya sehingga suasana kelas menjadi benar-benar berisik saat kami belajar. Ibu guru kecil kemudian mengambil kapur dan mulai menulis angka satu di papan tulis. Dan kami diminta untuk menulis angka yang sama sebanyak lima baris di buku tulis kami masing-masing.

Aku membuka tas gendongku, yang waktu itu, aku masih ingat dengan sangat jelas bergambar sinetron Jin & Jun yang dibelikan oleh ibuku dari pasar. Waktu itu, tidak ada yang aneh dengan tas bergambar Jin & Jun atau sinetron yang sedang hits saat itu, karena anak-anak yang lain juga memakainya. Selain itu, tidak ada pula yang aneh dengan duduk bertiga di bangku selama guru menerangkan atau orangtua yang ikut menemani anaknya belajar sampai selesai di dalam kelas karena saat itu semuanya diperbolehkan. Aku yang memang sudah bisa membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar mengerjakan tugas tersebut dengan cepat. Dan langsung membawanya ke meja guru untuk dinilai oleh Ibu guru kecil. Dan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mendapat nilai sepuluh dari seorang guru. Nilai maksimal yang diberikan oleh Ibu guru kecil sebagai skor pertama kami. Ibuku masih memperhatikan aku dari pinggir kelas yang pintunya terbuka. Dan aku menunjukan nilai yang baru saja aku peroleh.

“Bagus!”katanya sambil mengacungkan dua jempol.

Aku senang sekali. Ternyata sekolah itu menyenangkan dan gampang. Tentu saja minus upacara yang membuat kaki pegal-pegal. Setelahnya, Ibu guru kecil, guru kelas satuku itu menyuruh kami mengeluarkan peralatan menggambar. Sejujurnya, aku tidak begitu suka menggambar. Tapi aku ikuti saja karena teman-temanku juga mengeluarkan peralatan menggambar mereka. Ada yang membawa spidol dan pensil warna. Tapi, ada juga yang membawa krayon. Setelah semua anak-anak selesai menyiapkan peralatan menggambarnya, Ibu guru kecil kemudian menyuruh kami untuk menggambar bebas. Dan tercetuslah sebuah ide di dalam otakku. Aku meraih pensilku dan mulai menggambar sesuatu. Seingatku, aku tidak pernah menggambar apapun hingga sesemangat itu. Ibuku yang penasaran melihat aku begitu fokus menggambar langsung menghampiri. Disusul dengan Bu guru kecil yang saat itu duduk tak jauh dari mejaku. 
“Cantik menggambar apa?” tanya Bu guru kecil saat dia melihat gambar yang sedang aku kerjakan. Dan seperti anak-anak yang selalu penuh kejutan, aku mendongakan kepalaku. Tersenyum malu-malu lalu kemudian menjawab dengan polosnya…… bahwa aku sedang menggambar……. benang kusut.

Ya, benang kusut! Hari itu hari Senin di bulan Juli tahun 1997. Pertama kali aku masuk sekolah. Dan gambarku sudah abstrak. 

Untuk aku yang ada dalam diriku. 

Ini sebagai pengingat.

0 comments: