Surat dari Jarak

Sunday, December 25, 2016



Untukmu;
Seseorang Yang Membenci Jarak

Orang-orang bilang mereka membenciku. Sama seperti dua orang asing yang kutemui di stasiun kereta tadi malam, saat aku bersiap-siap mendatangi rumahmu demi melaksanakan misi dari Tuhan. Dua orang itu saling membisiki, “Sungguh, denganmu aku lebih memilih tidak berjarak. Jarak ini semoga Tuhan cepat menghapusnya. Aku akan segera kembali dan menggenapkan rindu kita yang separuh.” 

Kalau boleh memilih aku tidak ingin menjadi jarak. Untuk dua orang di stasiun kereta tadi dan juga untukmu; seseorang yang tadi pagi kulihat tengah duduk di jendela sambil melamun. Dari wajahmu, aku tahu jika kamu pastilah sedang menyembunyikan sesuatu. 

Sepanjang sisa pagi itu aku memperhatikanmu dari kejauhan, mengawasi semua gerak-gerikmu yang gelisah. Dan benar saja firasatku, aku segera dapat melihat apa yang sedang kamu lihat pagi itu. Seseorang yang selama ini selalu memenuhi pikiranmu. Tujuh hari dalam seminggu. Tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun.

Laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan kemeja warna birunya yang terlihat seperti langit di musim semi. Kamu memandangnya sekilas sebelum mengalihkan tatapanmu pada benda apapun yang bisa dijadikan topeng persembunyian. Aku tahu, kamu sangat khawatir jika orang-orang tiba-tiba saja bisa membaca matamu. 

Meskipun hatimu pilu karena menahan rindu, pada akhirnya kamu menyerah saat laki-laki itu mengulurkan tangannya padamu. Aku tertawa gembira melihatmu diam-diam bahagia. Dan aku enggan menjadi diriku – jarak yang hendak memisahkan antara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru.

Tapi kemudian, aku dapat merasakan hatimu kembali berubah pilu. Aku mengamatimu semakin dalam. Lantas berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan kamu ataupun laki-laki berkemeja warna biru. Kecuali bahwa, pada akhirnya, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menakdirkan laki-laki itu untuk jadi milikmu. Maaf jika aku sudah lancang menyampaikan ini padamu.

Manusia tidak bisa menghindari perasaan yang mereka miliki, yang bisa mereka lakukan hanyalah mengendalikannya. Begitulah akhirnya dirimu. Aku tahu hal ini sangat sulit. Tapi, sudahlah. Biar kuceritakan padamu, bahwa tidak ada gunanya membicarakan hal-hal yang sudah terjadi. Seperti menabur garam di atas luka. Hanya akan membuatmu bertambah pedih.

Pagi itu kamu terus dihantui pertanyaan yang mengusik nuranimu sekaligus membuatmu merasa tertantang untuk melakukannya. Kamu bisa saja berbuat nekat dan egois. Dan laki-laki berkemeja warna biru yang diam-diam sering menatapmu itu lambat-laut akan mulai buta. Lalu, seseorang yang lain di luar kalian akan mengurai airmatanya karena rasa cintanya yang besar berubah menjadi rasa benci dalam seketika.

Demi hatimu yang mudah rapuh itu, kamu tentu tidak akan sanggup bersenang-senang diatas penderitaan orang lain, bukan? Kamu tidak mungkin bahagia.

Tuhan Maha Pengasih. Dia pasti sudah mempersiapkan jalan keluarnya bagimu. Dan tanpa kusadari, jalan keluar itu adalah aku – jarak yang banyak orang membencinya.

Maaf jika hari ini aku mulai merentangkan jarak diantara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru. Jika hari ini kamu tak melihatnya dimanapun, percayalah bahwa Tuhan sudah menakdirkan yang terbaik untukmu. Bahkan juga untuk perempuan lain yang saat ini sedang menemaninya yang terbaring lemah di rumah sakit; yang adalah benar-benar pasangan tulang rusuknya.

Kamu terluka, aku tahu. Tapi satu yang harus kau ingat; Bahwa tidak semua laki-laki ditakdirkan untuk menikah dengan wanita yang paling mencintainya. Oleh karena itu, hapus airmatamu. Dan tegakan kepalamu. 

Aku berdoa untukmu semoga jarak yang kurentangkan diantara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru sanggup menghapus satu demi satu rasa cintamu padanya. Semoga jarak ini mengobati luka-luka hatimu. Dan semoga kamu pun sama sepertinya, segera menemukan seseorang yang tepat di hidupmu, yang mengakuimu sebagai tulang rusuk miliknya. Dan yang akan menjadi tulang punggung keluarga kecilmu nanti. Abadi. Selamanya. Hingga suatu saat nanti, saat kalian kembali, kalian bersama menjadi tulang belulang dalam naungan kasih sayang-Nya.


Dari Jarak;


Yang Diam-Diam Mengasihimu

0 comments: