Lelaki (yang diam-diam) Patah Hati

Thursday, December 1, 2016



Office, Jakarta

Secangkir kopi tersedia di meja kerja sore itu.

Dari tiga jam yang lalu aku masih duduk dalam kubikelku, menatap layar komputer demi menyelesaikan pekerjaanku, mengurusi data-data pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh baru-baru ini. Tugas ini harus cepat kuselesaikan agar mereka bisa terdaftar di UNHCR dan mendapatkan dokumen individualnya yang sah, sehingga para pengungsi itu bisa segera mendapatkan status refugees mereka secara legal dan tidak terkena (refoulement) atau pemulangan kembali ke negara asalnya secara paksa, dimana hidup atau kebebasan mereka terancam oleh bahaya atau penganiayaan.

Tidak banyak orang yang masih tersisa di kantor sore itu. Tapi dia ada. Gadis itu masih ada disana, duduk di kursinya yang terentang jarak sekitar dua puluh meter denganku, menatap layar komputernya sambil mengetik tugas-tugas kantor yang nampaknya belum selesai. Persis seperti urusan kami di masa lalu yang sejatinya juga memang belum selesai meski tahun-tahun yang kami lewati bersama sudah usai.

Sejujurnya aku selalu menyimpan tanya tentang matanya. Yang kata orang-orang adalah jendela jiwanya, lukisan perasaan di hatinya. Sekuat apapun aku menyangkal keinginanku untuk melihatnya, sebanyak itu pula aku menemukan hanya dialah satu-satunya orang yang selalu ingin aku lihat.

Semakin aku mengingat masa lalu kami, semua kebiasaannya yang menghiburku, ketidaksempurnaanku dan hari-hari kami, semakin aku menyadari bahwa dengan melukainya ternyata juga adalah melukai diriku sendiri. Tapi aku laki-laki; aku harus menelan ludahku sendiri. Lagipula semuanya sudah terjadi.

Gadis itu menoleh ke arahku. Ekspresi mukanya muram, sama seperti yang kulihat ketika dua tahun yang lalu setelah dia menumpahkan emosi kekesalannya padaku.

“Aku tahu kau terluka,” kataku. 

“Aku hancur!" teriaknya sedih dan marah. 

Kemudian hari-hari berikutnya dia berubah menjadi orang asing bagiku. Lebih tepatnya dia berubah menjadi orang asing yang pura-pura tak mengenalku. Sebab, alih-alih membalas dendam atas perlakuan jahatku di masa lalu, dia lebih senang untuk menghindariku.

Tapi sejujurnya, aku sangat mengerti dengan sikapnya yang seperti itu. Yang diam-diam, juga ternyata ikut membunuhku.

“Menurutmu kenapa dia seperti itu?” tanyaku pada diri sendiri.

“When you left t a girl broken-hearted – Yes, she will be very pissed when her plan don’t go according her will. Because her plan with you has already be crushed.”

Aku terkejut dengan pemikiranku sendiri. Apakah benar-benar sedalam itu?

Aku masih melihatnya meskipun dia sudah memalingkan wajahnya dariku. Terkadang aku ingin memutar waktu kembali ke masa lalu. Kemudian tiba-tiba seseorang mendekatinya; seorang rekan kerja kami.

''Apa kau mau ikut pulang bersamaku?”

Dia tersenyum. Raut mukanya cerah tidak muram seperti saat melihatku beberapa detik sebelumnya. Lalu kemudian, “Tidak terimakasih." Saat dia mengatakan itu, senyumnya masih ada disana. 

“Pekerjaanku sebenarnya masih banyak sekali,” ucapnya tandas.

Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi ke mejanya dan mengajaknya pulang naik mobilnya sekaligus menawarinya bantuan untuk membawakan tumpukan dokumen-dokumen yang harus segera diselesaikan. Lagi-lagi senyum gadis itu muncul, lesung pipitnya terlihat di kedua pipinya.

“Sebenarnya, hari ini aku sedang ada janji bertemu teman lamaku.” Dan seiring waktu berganti selalu ada alasan-alasan yang baru. Alih-alih membangun jembatan dia justru membangun benteng, pikirku.

Masih dari kubikelku yang berjarak sekitar dua puluh meter dari mejanya; memperhatikan dia ternyata sudah menjadi kesenanganku. Obsesi rahasiaku. Seperti candu dan pisau; dia menerbangkanku ke langit di angkasa sekaligus menikamku tepat di jantung sumber kehidupanku.

Sampai tiba di suatu hari aku tak melihatnya di tempat manapun, justru ketika orang-orang sedang bersemangat tumpah riuh ke jalan menyaksikan Parade Festival Ulang Tahun Kota Jakarta yang selalu dinanti-nanti banyak orang. Termasuk aku dan semua rekan kerja kami.

“Apakah dia tidak merindukan momen ini?” pikirku muram. Dan entah siapa yang membisikiku, aku mendengarnya. 

“Yes, she won’t miss any moments because she has already missed hers with you.”

Bulan-bulan berganti dan bisa kurasakan perubahan sikapnya yang menurutku positif. Tapi aku memang tak mahir membaca motif terdalam manusia karena meskipun begitu aku masih sering melihatnya termenung di meja kerjanya seperti menyembunyikan sesuatu. Disamping itu, akhir-akhir ini dia terlihat semakin sibuk dengan aktivitasnya mengurusi para pengungsi yang datang ke Indonesia untuk mencari suaka.

Selain itu dia juga sengaja mengambil lembur di hari Sabtu sehingga kami menjadi jarang berpapasan di lobi kantor saat jam pulang kerja. Kemudian, dia pun, entah bagaimana selalu terlihat bersemangat dan bahagia dengan senyum kilatnya yang segar itu.

Langkah-langkah kakinya kecil tapi cepat, mandiri dan meyakinkan seperti tipikal perempuan yang bisa mengurus semua pekerjaannya seorang diri dan tidak membutuhkan laki-laki. Dia nampak hebat sekaligus menakutkan dalam waktu yang bersamaan. Dia mengambil semua kesempatan menyibukan diri yang datang kepadanya. Semuanya. Ekspresi sedihnya tidak lagi terlihat. Apa dia sudah melupakan aku?

“Semua kesempatan itu pasti melelahkannya. Tapi mengapa dia mengambil semuanya?” tanyaku pada seorang teman yang mengenal kami dan bisa menjaga rahasia.

“Why she memorizes all ocassion? That’s because she needs to replace her memories of you.”

Terkadang egois itu menyehatkan. Terutama ketika kita sedang kehilangan jati diri. Ibarat rumah yang hancur diterjang badai, maka tahapan membangun rumah itu adalah keegoisan untuk kepentingan diri sendiri. Gadis itu – yang mejanya terentang jarak dua puluh meter denganku sepertinya juga sedang belajar menjadi egois demi untuk membangun kembali dirinya yang sempat hancur.

Di sela-sela kesibukannya, dia masih bisa pergi ke salon merawat anugerah kecantikannya. Bahkan dia rela membagi waktu kerjanya demi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pekerjaannya di bidang kemanusiaan, tak lantas membuatnya lupa bahwa meskipun dunia membutuhkannya, hal pertama yang harus dia penuhi adalah kebutuhan dan kebahagiaan dirinya.

“Kenapa dia bisa sebegitu egoisnya? Padahal dulu tidak,” tanyaku lagi-lagi. Aku tak tahan lagi untuk tidak melihat pancaran sinarnya.

“Kau tahu mengapa dia egois? Why she put her needs next to her? that’s because you are already out of her reach,” jawab temanku tandas. Apakah itu benar? Jika iya, maka aku benar-benar bodoh sudah melepasnya.

Lagi-lagi gadis itu membuatku kehilangan kata-kata bahkan ketika aku belum mengucapkannya. Saat kami mendapat tugas untuk turut ikut serta dalam pendistribusian bantuan untuk para pengungsi Rohingya di Aceh, gadis itu rupanya tak hanya membantu kami menditribusikan bahan-bahan makanan dan pakaian yang kami bawa dari Jakarta untuk mereka saja tetapi dia juga ikut mengajar.

Dulu, aku tak pernah tahu jika dia memang berbakat jadi guru. 

Sore itu aku melihatnya berada di sebuah tenda yang alasnya terbuat dari terpal. Dikelilingi anak-anak kecil berkulit hitam legam. Kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih. Dia membawa beberapa gambar dan pensil warna lalu membagikannya kepada anak-anak yang sudah duduk membentuk lingkaran di lantai.

Setelah sesi menggambar dan mewarnai selesai, dia mengajak anak-anak itu bermain permainan ular naga yang dulu ketika aku masih anak-anak juga sering ku mainkan bersama teman-temanku di tanah lapang. Meskipun mereka tak mengerti bahasa yang gadis itu ucapkan, tapi ku lihat anak-anak itu tertawa senang.

Selama di Aceh, aku tidak pernah melihatnya duduk seorang diri. Dia selalu ditemani oleh siapapun. Tua, muda, anak-anak bahkan ibu-ibu. Kemarin aku melihatnya sedang membantu seorang wanita Rohingya mengasuh anaknya sambil bercanda. Kalau ku perhatikan, dia sebenarnya agak sedikit jahil. Satu fakta yang baru ku ketahui setelah bertahun-tahun kami bersama.

Dua minggu berada di Aceh dalam rangka menuntaskan misi kemanusiaan membantu suku Rohingya yang terusir dari Myanmar, gadis itu makin bersinar. Para pengagumnya bertambah. Sementara aku masih saja tak bisa menjangkaunya.

“Dia selalu berusaha membuat orang lain senang padanya. Dan dia berhasil,” batinku pilu.

"She tries anything to make everyone’s happy because she lost her chance to be the reason why you are happy.”

Lalu ke Jakarta kami kembali setelah menyelesaikan misi tersebut. Dan seperti biasa gadis itu duduk di mejanya yang terentang jarak dua puluh meter denganku. Mengetik sesuatu, menenggelamkan diri dalam kesibukannya yang tak ku mengerti. Hari-hari berikutnya, dia tetap terlihat sendiri. Dia baik, ramah dan cantik namun tidak pernah benar-benar menjadi milik siapapun.

“Kenapa?” tanyaku pada akhirnya setelah gagal menyembunyikan rasa penasaranku yang besar. 

“I’m still afraid to make any plan because for me everyhting in the future is still blurry.”

0 comments: