Aku menggenggam kertas itu di tangan. Menyembunyikan jawabanku disana. Sementara laki-laki yang duduk di sampingku masih menulis dengan satu tangannya menutupi kertas putih itu dari pandanganku. Dia sesekali mengingatkan aku untuk tidak mengintip. Aku tertawa senang sementara dia meneruskan kembali kegiatannya menulis jawaban. Hitungan ketiga, kami membuka kertas kami masing-masing secara bersamaan. Aku menulis besar-besar kata ‘Rumah’ sementara laki-laki itu menulis rangkaian huruf yang membentuk kata, ‘Jalan Tol’
“Jalan Tol?!” aku mendengar suaraku sendiri yang terucap begitu saja dari bibirku dengan nada tinggi.
Dia pura-pura terkejut, “Salah ya?” tanyanya dengan wajah polos tanpa dosa.
Laki-laki itu lalu membuka tangan kirinya yang menghalangi separuh bagian kertas. Di bagian bawahnya dia menulis; Rumah dan Sepuluh Mei. Senyum jahilnya muncul.
Segalanya berawal dari rumah. Bahkan awal pertemuanku dengan laki-laki yang saat ini sedang duduk di sampingku juga berawal dari rumah. Lebih tepatnya, rumahku sendiri. Tidak ada acara apapun yang sedang digelar di rumahku sore itu. Tidak juga dengan agenda rahasia antara Ibu dan Bapak yang ingin menjodohkan aku; anak gadis mereka satu-satunya dengan pria manapun. Sore itu adalah sore di musim panas seperti biasa.
Satu-satunya hal yang berbeda di hari itu adalah kenyataan bahwa aku telah jatuh tertidur jauh lebih lama dari biasanya. Sekaligus melewatkan jam makan siangku yang teratur. Padahal aku tidak pernah tidur siang hingga selama itu dari semenjak aku lulus SMA hingga masuk kuliah beberapa tahun yang lalu. Pantas saja kepalaku pusing sekali. Dan aku merasa sangat haus seolah-olah ada pasir di dalam mulutku.
Dengan menahan rasa pusing yang masih menjalar di kepala, aku keluar dari kamarku yang berada di lantai dua. Meniti anak tangga satu persatu. Saat mencapai pijakan di anak tangga terakhir, aku melihat dia; seorang laki-laki asing yang sedang duduk di kursi di ruang tamu rumahku yang disinari cahaya dari lampu neon. Dan dia menatapku.
Dia mengenakan kaus lengan panjang berwarna putih, rambutnya kecoklatan, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh delapan sentimeter. Dia memakai kacamata berbingkai licin yang biasa dipakai oleh para ilmuan jenius di film-film. Silau. Kemudian aku mendengar suara Ibu dan Bapak di ruang tamu seperti sedang mengobrol. Ah, mungkin laki-laki itu adalah salah satu rekan kerja Bapak, pikirku. Dan dia pastilah seumuran Bapak. Aku hanya melihatnya sekilas dan tidak berminat untuk cepat-cepat menghampiri dan bersalaman dengannya sehingga aku memutuskan pergi ke dapur untuk makan setelah mencuci mukaku terlebih dahulu.
Ketika aku kembali dari dapur, laki-laki asing itu masih duduk di kursinya. Dia langsung merubah posisi duduknya saat melihatku. Entah bagaimana caranya aku langsung tidak suka padanya. Apalagi saat dia menatapku dengan matanya yang dibingkai kacamata profesor itu. Seperti ada yang salah dengan gerak-gerik tubuhnya dan tagline di otakku yang meyakini bahwa dia seumuran Bapak.
Seharusnya dia terlihat kebapak-bapakan, tapi kenapa dia tidak? Gerak-geriknya malah terlihat seperti anak muda dibandingkan dengan Bapak-Bapak. Apa jangan-jangan dia om-om nakal yang nyasar ke rumahku? Aku langsung ngeri membayangkan imajinasiku yang sudah lancang merangkai cerita menyeramkan macam begitu. Cepat-cepat aku menaiki anak tangga dan tidak turun lagi ke bawah hingga laki-laki asing itu pergi dari rumahku sekitaran jam delapan malam.
Keesokan harinya, aku melupakan pertemuanku dengan laki-laki menyeramkan itu dengan mudah. Aku benar-benar tidak tertarik dengannya sama sekali sehingga aku tidak bertanya apapun mengenai laki-laki asing yang menatapku kemarin itu pada orangtuaku. Tidak tentang asal-usulnya tidak juga tentang namanya. Satu-satunya yang aku tahu dan kuyakini dengan sungguh-sungguh adalah bahwa laki-laki itu pastilah seumuran Bapakku.
Hingga beberapa hari kemudian aku melihatnya lagi di kursi yang sama di ruangan tamu rumahku. Saat itu aku baru saja pulang dari kampus setelah kuliah seharian. Sementara itu, Ibu dan Bapak sedang pergi entah kemana. Kengerianku yang dulu hilang langsung kembali muncul saat melihat laki-laki itu duduk di ruangan tamu.
Apalagi saat kami bersalaman dan kemudian dia tersenyum jahil padaku. Aku sengaja tidak menatap wajahnya dan lebih memilih cepat-cepat naik ke tangga dan mengurung diriku di dalam kamar. Aku semakin ngeri padanya dan semakin tidak tertarik. Lagipula, aku yakin sekali dengan umurnya yang tak jauh berbeda dengan Bapakku, dia pastilah sudah berkeluarga dan punya anak. Benar-benar mengerikan kalau dia sampai jatuh cinta padaku. Tapi sepertinya orangtuaku biasa saja. Bisa jadi karena laki-laki itu rekan kerja Bapak.
Hari-hari berikutnya, aku semakin sering bertemu dengannya. Sebisa mungkin aku menghindari laki-laki asing yang namanya saja tidak ku ketahui itu. Aku tidak pernah menatap wajahnya bahkan ketika kami terpaksa bersalaman. Lagipula postur badannya memang tinggi sehingga aku tidak perlu bersusah payah menundukan wajahku. Aku juga tidak pernah tersenyum lebih dahulu ketika kami berdua tak sengaja berpapasan. Atau mengungkit-ngungkit tentang dia kepada orangtuaku. Aku mendadak berubah menjadi perempuan yang penuh permusuhan jika melihatnya. Tapi aku tidak peduli dengan sikap pedasku, aku benar-benar ngeri pada laki-laki itu yang akhir-akhir ini semakin sering kudapati tengah diam-diam menatapku.
Rumahku yang bercat hjau terletak persis di sisi jembatan yang bawahnya dialiri sungai. Siang itu aku sedang berada di halaman depan sambil menyiangi tanaman di dalam pot ketika laki-laki menyeramkan itu muncul diujung jembatan dan melihatku. Terlambat. Aku tak mungkin langsung kabur melarikan diri masuk ke dalam rumah. Apalagi laki-laki itu baru saja menyeringai padaku. Benar-benar mengerikan sekali caranya tersenyum itu.
“Jerry ada?” tanyanya saat kami bertemu di halaman.
“Belum pulang,” jawabku sengaja dengan nada malas tanpa melihat wajahnya.
“Titip ini ya,” katanya sambil menyerahkan sebuah kaset CD.
Aku mengambilnya dengan wajah cemberut tanpa berkata sepatah kata pun. Sepertinya dia sadar kalau aku tidak suka padanya. Tapi, kenapa dia menanyakan Jerry, sepupuku bukannya Bapak? Sebenarnya dia itu siapa? Tapi aku masih bersikeras menolak melihat wajahnya. Pertanyaan itu langsung terjawab ketika di sore hari dia muncul lagi di rumahku. Aku baru saja hendak melarikan diri ke dalam kamar ketika ibu tiba-tiba datang menghampiriku dan menyuruhku untuk menemani laki-laki itu mengobrol yang langsung ku tolak dengan ketus.
“Yang benar saja, Bu? Masa aku disuruh menemani om-om?” Kataku tersinggung. Aku tak menyangka ibuku bakalan setega itu.
“Om-om bagaimana? Dia itu baru lulus kuliah. Temannya Jerry.”
Oke.
Kenyataan pertama yang diterima cukup mengejutkanku. Kenyataan kedua yang ku terima jauh lebih mengejutkanku karena rupanya karma dari Tuhan datang bersamaan dengan itu. Ketika keesokan harinya aku melihat dia muncul lagi di jembatan dekat rumahku, aku sengaja tersenyum padanya untuk menebus dosa-dosaku sudah bersikap tidak ramah selama kurang lebih satu bulan ini. Saat itu dia jelas-jelas melihatku. Tapi bukannya membalas senyumanku, ekspresi mukanya datar dan seperti tidak tertarik. Aku menyumpah dalam hati tidak ingin lagi melihat wajahnya. Kenapa dia bisa berubah secepat ini? Oh... rupanya dia balas dendam. Dan pembalasannya padaku belum selesai sampai disitu.
Ketika di suatu hari aku ikut mengobrol dengannya yang juga sedang mengobrol dengan Jerry, Bapak dan Ibu di ruang tamu, laki-laki itu rupanya tak sedikit pun menanggapi aku yang berulang kali menimpali komentarnya. Bahkan satu minggu yang lalu, ketika dia mengetuk pintu rumahku dan kemudian aku yang membukakan sendiri pintu tersebut sambil tersenyum padanya, tanpa perasaan bersalah dia malah menjadikan aku satu-satunya orang yang berdiri disana sambil tersenyum kikuk dan malu. Ekspresi muka laki-laki itu datar dan dingin seperti vampire. Saat itu aku menyesal tidak membanting pintu tersebut.
Jika mengingat hal itu aku merasa ingin sekali mendorongnya ke sungai di dekat rumahku sekaligus menertawakan diriku sendiri dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana bisa kini aku jadi ingat terus padanya? Laki-laki menyebalkan yang bersikap jutek padaku yang dulu sempat membuatku ngeri itu...?
Ketika aku mulai lelah dengan segala permainan yang telah dia lakukan, disitulah dia kembali berubah menjadi laki-laki yang pertama kali aku lihat tersenyum dengan seringai jahilnya. Jadi, saat itu sore hari. Aku sudah enggan bersikap ramah padanya yang saat itu sedang menunggu Jerry di rumahku. Sehingga aku tidak mau menemani dia mengobrol.
“Kamu naksir ya?” tanya ibu yang langsung ku bantah. Tapi ibuku yang sama-sama jahil seperti laki-laki menyebalkan yang sedang duduk di kursi loteng itu tidak berhenti menggodaku.
“Baik. Aku akan temani dia mengobrol,” kataku sambil bergegas menuju loteng.
Seketika melihat aku datang, laki-laki itu langsung memindahkan tas ranselnya yang berisi buku-buku tebal ke kursi yang akan aku duduki. Baiklah, aku tidak akan menyerah dengan gampang hanya karena gara-gara kursi. Aku berdiri saja, batinku dalam hati. Dasar laki-laki jutek menyebalkan.
Aku mulai mengajaknya mengobrol yang ditanggapinya dengan satu dua kalimat pendek. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebungkus kacang yang iklannya sering kulihat di televisi. Dan dengan cueknya, dia makan kacang oven itu sementara aku dibiarkannya mengoceh sendirian. Cukup. Aku benar-benar akan meledak jika terus bersamanya. Tanpa berkata-kata aku bergegas menuruni anak tangga.
“Kenapa turun?” tanya Ibuku yang kebetulan berpapasan di bawah.
“Menyebalkan,” gerutuku.
Tak disangka laki-laki itu pun rupanya juga ikut turun mengikutiku. Ketika dia bertemu dengan ibuku, ekspresi mukanya tidak datar seperti saat melihatku di loteng tadi. Aku benci sekali padanya. Sepanjang sisa sore itu, aku tidak bisa menyembunyikan wajah cemberutku melihat dia begitu ramah dan sopan pada ibuku. Aku berusaha menenggelamkan diriku dalam kesibukan menonton televisi dengan volume yang sengaja dikeraskan. Tapi entah mengapa tawa laki-laki yang menyebalkan itu masih saja terdengar di telingaku. Ketika Jerry datang setengah jam kemudian aku baru benar-benar bisa bernapas lega.
“Jangan cemberut terus. Tadi saja dia tidak bisa berhenti melirik kamu,” kata Ibuku jahil.
Satu tahun berlalu. Tepat di hari ulang tahunku; tanggal Sepuluh Mei ketika hari pertama aku bertemu dengannya di rumahku.
“Kenapa kamu tulis jalan tol, sih? Emang aku mirip mbak-mbak petugas karcis?" Kataku pura-pura sedih padahal tertawa di dalam hati.
“Ingin lihat reaksi kamu, " jawabnya santai.
“Terus gimana?”
“Masih gampang sewot. Masih jutek.”
“Emang aku masih sejutek yang dulu, ya?”
“Nggak,” katanya. “Nggak berubah, maksudnya.”
“Dasar! Tapi kamu suka, kan?”
Dia menyeringai lalu tertawa. Hari itu adalah hari ini. Dan hari ini aku bahagia.
0 comments:
Post a Comment