Montana, 2011
Tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyukai Montana. Sebuah negara bagian di utara Amerika yang terkenal dengan peternakan kudanya. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hidupku tumbuh dan besar disana, menghirup udaranya yang bebas, menapaki setiap jengkal padang rumput tempat kami menggembalakan kuda-kuda dan bahkan mendaki gunung-gunungnya yang kaya akan mineral. Tentu saja tanpa sepengetahuan ayahku.
Hampir semua orang di Montana adalah para petani atau peternak kuda yang mempunyai peternakan dan ladang-ladang gandum (winter wheat) yang luasnya mencapai puluhan hektar. Selain itu, Montana juga memiliki Yellowstone National Park; Taman Nasional tertua di dunia yang telah disinggahi oleh jutaan pengunjung semenjak pertama kali di buka pada tahun 1872. Yang tak hanya menawarkan keindahan pemandangan alami tetapi juga tempat-tempat eksotis, suasana romantis sekaligus kesempatan penuh untuk berpetualang di alam bebas pada satu tempat sekaligus.
Namun meskipun Montana begitu indah dan terkenal dengan Yellowstone National Park-nya yang mendunia, ternyata tanpa sepengetahuanku, Montana diam-diam menyimpan sebuah kutukan yang selama ini selalu disembunyikan oleh kedua orangtuaku, yang baru saja terungkap akhir-akhir ini ketika keinginanku untuk memberontak sedang bergejolak.
Selama aku hidup dan tumbuh di Montana, aku baru menyadari bahwa ternyata semua aspek kehidupanku di sini hanya berputar diantara orang-orang yang sama, gunung-gunung yang tinggi menjulang dan peternakan-peternakan kuda serta ladang-ladang gandum warisan keluarga. Seperti orang-orang yang mungkin juga terkena kutukan tempat tinggal kami, ayahku yang paradoks suatu hari mengatakan padaku dengan cukup jelas bahwa sebagai anak pertama, akulah yang harus mengelola peternakan kuda milik keluarga kami meskipun aku tidak menyukainya. Saat itu, aku ingin sekali pergi meninggalkan Montana, tanah kelahiranku. Kalau bisa dalam waktu yang sangat lama.
Sebenarnya, aku sudah mengetahui dari ibuku bahwa alasan utama dibalik itu semua adalah karena ayahku yang super protektif itu tidak ingin aku yang merupakan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Jennings dan tidak mahir bela diri ini terpisah jauh dari mereka. Menurut ayahku, menjadi peternak kuda tidak akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga seperti menjadi pekerja kantoran yang harus lembur atau pulang malam.
Sejujurnya aku sangat kecewa dan ingin melancarkan protes keras atas keputusan ayahku yang semena-mena itu. Meskipun jauh dilubuk hatiku, aku sendiri sebenarnya menyadari sekali bahwa apa yang mereka lakukan kepadaku adalah bentuk kasih sayangnya yang teramat dalam agar aku hidup senang dan nyaman. Tapi, tetap saja aku mempunyai keinginan yang menurutku lebih besar dan lebih mulia dibandingkan dengan hanya mengurusi kuda-kuda di Montana. Aku ingin menjadi pekerja kantoran atau dokter atau apapun - asalkan tidak menjadi peternak kuda seperti kedua orangtuaku.
Lalu, tanpa terasa tahun-tahun berganti dan takdir pada akhirnya membawaku pada titik ini; titik dimana aku tidak lagi memikirkan untuk pergi dari Montana karena aku sibuk mengurusi peternakan dan hobi berkudaku.
Pagi itu aku mencoba pergi berkuda ke sebuah padang rumput terbuka yang agak jauh dari tempat aku biasa berkuda. Ketika satu jam kemudian kuda Amerika berwarna hitam yang kubawa dan belum kuberi nama itu tiba-tiba menjadi sulit dikendalikan sehingga aku terpaksa turun dari pelana dan menautkan tali kekangnya pada sebuah pohon dengan susah payah. Aku tak mungkin membawa kudaku kembali ke peternakan dalam keadaan mengamuk seperti itu. Maka, aku pun berjalan menyusuri jalanan yang sebelumnya aku susuri untuk mencari pertolongan. Tetapi rupanya kudaku sudah membawaku berlari begitu jauh dari rumahku.
Ketika aku mulai kelelahan berjalan di tengah-tengah terik matahari yang mulai mengganas, tiba-tiba dari jarak yang tidak terlalu jauh aku mendengar suara langkah kaki kuda di belakangku. “Apakah ada yang bisa ku bantu, Nona?” tanya si penunggang kuda yang memakai topi laken berwarna coklat dan rompi dari kulit rusa saat jaraknya cukup dekat denganku. Aku menoleh ke arahnya. Seorang koboi yang sedang menggenggam tali kekang kudanya yang hitam menawariku bantuan.
Hari-hari berikutnya dia muncul begitu saja di peternakanku dengan kuda jenis thoroughbred dan senyum Amerikanya yang entah bagaimana terlihat sempurna di mataku. Dan juga masih dengan topi laken dan rompi kulit rusanya yang meskipun sederhana namun terlihat sesuai di badannya. Hari-hari berikutnya dia datang lagi ke peternakan dan mulai mengajakku pergi berkuda ke sebuah padang tandus di kaki perbukitan Montana.
Dia mengatakan padaku bahwa dia sering pergi berkuda ke tempat tersebut setidaknya tiga kali dalam seminggu untuk latihan memanah atau menembak. Ketika kami pulang di sore hari, dia lalu menyempatkan diri turun dari kudanya dan mengantarkanku sampai ke gerbang pintu meski aku tidak meminta. Dan baru pergi ketika aku sudah tidak terlihat lagi olehnya. Tapi kemudian timbul pertanyaanku. Dan kebingunganku yang mendalam tak bisa ku terjemahkan ke dalam puisi manapun.
Aku seperti menentang diriku sendiri. Seperti ada yang salah. Atau apakah ini terlalu cepat?
Yang mudah datang akan mudah pergi. Begitulah yang ku dengar dari orang-orang saat mereka melihat laki-laki bertopi koboi dan berompikan baju dari kulit rusa itu datang kembali beberapa hari kemudian setelah hampir beberapa bulan ini dia selalu menemaniku untuk latihan berkuda. Hari itu dia menjanjikan akan mengajakku ke perbatasan Montana. Tempat yang paling jauh dari tempat-tempat yang sudah pernah kami jelajahi. Namun setelah satu hari perjalanan yang ditempuh tak juga membuat kami sampai di tempat yang kami tuju, aku memberanikan diri bertanya,
“Menurutmu, kapan kita akan sampai?” Dan kenyataan yang ku terima adalah kami tidak akan pernah bisa sampai di perbatasan Montana; yang kata orang-orang adalah ujung dari segalanya.
Yang mudah datang akan mudah pergi. Persis seperti yang dikatakan orang-orang sebelum aku menyangkal kata-kata mereka dengan segala keyakinanku yang keras seperti batu.
Aku masih mengikutinya yang tiba-tiba mulai berlari memacu kudanya. Aku menarik tali kekangku dan mulai melakukan hal yang serupa. Tetapi lama kami berlari, dia tidak sedikit pun berhenti bahkan ketika aku memohon. Lalu kemudian waktu seolah-olah membeku dan aku melihat diriku sedang berbicara di depan cermin, “Kenapa aku harus berlari?” Dan pertanyaan itu menarikku kembali ke dunia nyata - di sebuah tanah tandus di suatu tempat yang asing bagiku. Saat itu aku dapat merasakan hatiku yang letih mulai berdarah. Aku memutuskan untuk berbalik dan pergi berlari dengan kudaku – menjauh dari orang yang menjanjikan aku tiba di perbatasan Montana.
Aku ingin segera sampai di rumah untuk mengobati hatiku yang sakit dan terluka. Angin kering yang bercampur dengan emosiku mengibarkan rambutku yang terurai ke belakang. Aku bisa merasakan dia melihatku dan mulai berbalik untuk mengejar. Tapi kemudian aku merasa tidak ingin sedikit pun untuk berhenti atau melihatnya yang sedang memanggil-manggil namaku. Dan ternyata memaafkan manusia tidak semudah jika mengucapkannya. Aku semakin cepat memacu kudaku, meninggalkan semua kesedihanku yang tak ingin lagi aku ingat. Saat itu aku berjanji bahwa aku tidak akan pernah lagi pergi meninggalkan Montana.
0 comments:
Post a Comment