St. Petersburg, 2013
Ivanof:
Seperti hari kemarin aku berjalan di belakangnya menjaga jarak. Kupikir aneh melihatnya melakukan segala hal sendirian. Dia mandiri sekaligus abstrak, sulit ditebak dan bagaikan papan puzzle yang rumit dan membingungkan. Menurutku dia benar-benar tipikal perempuan perkotaan. Cerdas, tangguh sekaligus angkuh.
Di kota sebesar St. Petersburg yang dijuluki Venesia dari utara ini rupanya aku tak hanya terpesona dengan bangunan-bangunan pinggir kanalnya yang megah dan bergaya renaissance kuno peninggalan abad 19 saja, tidak juga dengan Museum Hermitage yang menyimpan ribuan koleksi karya seni patung dan lukisan para seniman terkenal seperti Rembrant atau Van Gogh, ada yang lebih menarik minat dan perhatianku di sini; gadis Rusia yang angkuh itu.
Aku sudah sering kali mendengar bahwa rata-rata orang Rusia memang jarang tersenyum terutama kepada orang asing yang belum dikenal. Kehidupan masa lalu negara komunis yang sekarang telah merubah sistem pemerintahannya menjadi federal yang di penuhi dengan perang dan pertumpahan darah di masa lalunya itu, mungkin telah mempengaruhi sisi psikologis masyarakatnya menjadi lebih muram dan mudah curiga sehingga mereka menjadi seperti itu
Tapi, itu semua seharusnya hanya berlaku untuk orang asing. Sementara kami bukanlah orang asing. Apalagi di negeri kami sendiri. Dia sudah mengenalku semenjak tiga tahun belakangan ini. Bahkan aku sendiri saja tahu nama lengkapnya, aku kenal kedua orangtuanya dan aku pernah datang ke rumahnya untuk makan vatrushka, sejenis kue bolu berbentuk bulat yang berisi keju, gula, dan selai buah khas negeri kami, Rusia.
Ketika di suatu sore kami berpapasan di tangga kwartira (flat) yang kami tinggali, ekspresi wajah gadis itu datar dan tanpa senyuman. Misterius tak terbaca seperti biasanya. Mungkin karena itu juga aku jadi ragu-ragu untuk menyapanya. Dia terlihat muram. Namun, tanpa ku sangka-sangka, ternyata semua orang di kwartira telah memaklumi ekspresi hampanya itu, yang secara jujur ku akui memang terlihat cukup menjengkelkan.
Kata orang-orang, dia memang sudah seperti itu dari awal kedatangannya ke kwartira. Terlebih lagi dia seorang gadis Rusia. Peraturannya memang demikian; Gadis Rusia memang jarang tersenyum. Tapi aku tidak bisa menerima peraturan yang aneh itu karena orang-orang di kwartira tidak tahu tentang kami sebelumnya. Seperti mata yang hanya melihat luarnya saja, seperti itulah mata orang-orang di kwartira melihat kami; dua orang asing yang tidak saling mengenal.
Menyesal adalah ketika kau tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk hal yang sama dalam hidupmu. Selama kurang lebih dua tahun sejak kami tinggal di kwartira yang sama, rupanya aku tidak hanya diliputi oleh rasa penyesalanku yang mendalam atas apa yang telah kulakukan padanya di masa lalu tetapi juga sejuta rasa penasaran yang selalu saja menghantuiku di setiap aku melihat gadis Rusia itu melintas di hadapanku.
Dia berubah.
Dia tidak lagi seperti gadis Rusia yang dulu aku kenal dengan senyumnya yang selalu mengembang, kesukaannya yang berlebihan pada boneka matryoshka, bunga-bunga atau Beruang Siberia. Atau mungkin inilah dia yang sebenarnya? Dingin dan beku - seperti St. Petersburg yang pertengahan September ini baru memasuki musim penggugur. Cuaca berada di kisaran 3 derajat celcius dan mungkin akan semakin turun mengingat musim dingin tinggal beberapa minggu lagi.
Aku berjalan di atas jembatan yang membentang di sepanjang aliran Sungai Neva, mengenakan topi dan sarung tanganku yang tebal dan kulihat gadis Rusia itu ada di sana, sedang menggambar sesuatu di buku sketsanya.
“Apa yang kau gambar?” tanyaku; seolah-olah aku lupa dengan sikapnya yang seperti es batu; dingin dan beku. Dia menoleh sekedarnya dan ekspresi muram itu tetap ada disana; tercetak di wajahnya yang pilu.
“Jejak kaki,” jawabnya sambil meneruskan lagi menggambar sketsa. Lama aku berdiri di sampingnya dia tetap membisu. Kebekuannya membunuhku.
“Kenapa?” Aku mengalah dan dia baru menanggapi pertanyaanku ketika sebuah tour boat lewat di bawah jembatan sekitar dua menit kemudian.
“Semacam renungan yang seharusnya dipikirkan oleh sebagian orang.” Kata gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Sungai Neva.
“Aku tak mengerti.”
Gadis Rusia itu lantas menghela nafas; satu-satunya bagian dari dalam dirinya yang masih aku kenali setelah hampir dua tahun belakangan ini dia seperti orang asing bagiku.
“Ada orang-orang yang ketika dia pergi meninggalkan jejak yang begitu berkesan di hati kita. Dan ada pula orang-orang yang ketika dia pergi, membuat kita begitu ingin meninggalkan jejak kaki kita di muka mereka. Itu untuk yang kedua.”
Aku tercengang tak percaya. Gadis Rusiaku yang dulu manis dan polos, kecil dan rapuh - ternyata sinis dan sarkastik. Aku tertawa; campuran antara penyesalan dan rasa bersalah. Namun, gadis itu masih bertahan dengan ekspresi muramnya menatap Sungai Neva.
“Oke. Apakah itu tandanya kau masih membenciku?'' tanyaku mulai khawatir karena dia rupanya tidak sedikit pun tertawa seperti aku.
“Tidak,” jawabnya datar.
Ekpresi wajahnya lagi-lagi tak terbaca. Matanya gelap dan dalam seperti malam pekat yang panjang.
Diam-diam aku berharap itulah jawaban jujur darinya. Bahwa dia benar-benar sudah memaafkanku. Lalu tiba-tiba gadis itu beranjak pergi dan mulai menjauh meninggalkan aku yang masih terpaku di atas jembatan dengan membawa buku sketsanya yang belum selesai.
Diam-diam aku berharap itulah jawaban jujur darinya. Bahwa dia benar-benar sudah memaafkanku. Lalu tiba-tiba gadis itu beranjak pergi dan mulai menjauh meninggalkan aku yang masih terpaku di atas jembatan dengan membawa buku sketsanya yang belum selesai.
“Irina!” panggilku ditengah-tengah suaraku yang parau akibat udara dingin St. Petersburg.
Gadis itu tetap pada pendiriannya. Sekeras apapun aku memanggilnya, gadis itu tetap berjalan dan tidak menoleh atau berhenti sedetik pun untuk melihatku. Aku tidak mengerti apa yang ada dipikirkannya saat itu.
Keesokan harinya saat aku terbangun di kwartiraku, aku masih teringat kata-kata Irina yang sepanjang malam terus menerus menghantui pikiranku: “Ada orang-orang yang ketika dia pergi meninggalkan jejak yang begitu berkesan di hati kita. Dan ada pula orang-orang yang ketika dia pergi, membuat kita begitu ingin meninggalkan jejak kaki kita di muka mereka. Itu untuk yang kedua.”
Itu untuk yang kedua. Itu untuk aku.
0 comments:
Post a Comment