Spanyol, 2012
Akhir musim panas:
Ke Tarragona aku kembali. Kota pesisir pantai yang cantik; tanah kelahiranku. Aku menyukai segalanya tentang kota ini. Pantai-pantainya yang indah, hamparan pasir halusnya yang keemasan serta suhu airnya yang hangat. Dan kenangan-kenangan yang aku tinggalkan di sana. Dan juga rumpun bunga-bunga kecil berwarna biru yang tumbuh di halaman belakang rumah ibuku. Beberapa bulan yang lalu, aku terpaksa pergi meninggalkan kota pesisir pantaiku, untuk pergi ke Alpujarras sebuah desa di bagian selatan pegunungan Sierra Nevada yang berbeda sekali dengan tanah kelahiranku demi melaksanakan dua buah misi.
Misi yang pertama adalah misi kemanusiaan. Aku pernah mendengar seorang filusuf Yunani berkata dalam bukunya bahwa manusia itu dikatakan benar-benar menjadi manusia ketika dia menggunakan sifat-sifat kemanusiaannya yang terdalam, hati nuraninya yang murni dan jiwa sosialnya untuk menolong sesama. Diam-diam aku mengamini kata-kata sang filusuf itu, dan diam-diam pula aku menjadi sedih dalam hatiku, meskipun sejujurnya aku sendiri masih tak mengerti mengapa aku akhirnya memilih mendedikasikan diriku justru disaat aku merasa seolah-olah akulah orang yang seharusnya menjadi objek kemanusiaan yang pantas dikasihani. Oh, Tidak! Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu? Yang berhak mengasihani diriku hanyalah Tuhan. Aku tidak ingin orang-orang mengasihani aku meskipun sejujurnya saat itu aku sedang merasa hancur. Aku penguasa atas diriku sendiri. Aku yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku dan bukan orang lain.
Misi yang kedua adalah memahami apa yang disebut orang-orang bestari sebagai rahmat yang disamarkan. Sama seperti kebanyakan manusia yang penglihatannya dangkal akan hikmah dan hakikat, saat itu timbul satu pertanyaanku kepada Yang Maha Kuasa yang hampir-hampir saja mengarahkan aku dalam kemarahan, putus asa dan rasa kecewa, mengapa disaat-saat hancur yang kurasakan, justru aku harus berpisah dengan keluarga dan teman-teman dekatku, jauh dari tanah kelahiranku, jauh dari kenangan-kenanganku yang meskipun pahit tapi mampu membuat aku merasa sebagai manusia karena masih bisa merasa. Bukankah disaat-saat seperti itu teman dan keluarga adalah obat?
Tapi rupanya perjalananku ke Alpujarras tidak demikian. Bisa dibilang, itulah cara Tuhan menghalangi rencanaku yang sudah ku persiapkan sedemikian rupa. Sahabatku Minerva, seorang gadis keturunan Turki-Spanyol yang kuliah di universitas yang sama denganku bahkan sampai tak habis pikir dan berulang kali mempertanyakan rencanaku yang menurutnya sangat nekat itu. “Apakah kau yakin benar-benar akan melakukannya?” Tanya Minerva di sela-sela kami menyusuri Taman Rambla Nova. Yang diteruskannya lagi dengan nasehat seperti biasanya, “Sudahlah. Lebih baik jangan kau lakukan. Itu akan membunuhmu perlahan.” Sejujurnya Minerva benar dan aku memang tak tahu dengan keputusan yang aku ambil itu apakah akan sesuai atau tidak untukku di masa depan, tapi aku hanya tak mau merasa bodoh dan menyedihkan jika aku tidak melakukannya saat itu. Aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku akan melakukannya dan aku sudah menyiapkan segalanya meskipun itu akan sangat berpotensi melukai hatiku. Lagipula aku tidak punya alasan untuk tidak melakukannya. Dan lagi, setiap kali aku mengingat hal tersebut-- semua peristiwa itu, seolah-olah sebuah mata pisau yang tajam sedang dihujamkan ke jantungku berulang-ulang kali. Jika hal tersebut seperti mati, maka mungkin bagiku saat itu sudah tidak akan ada bedanya lagi. Aku berulangkali merasakan aku sudah mati. Jadi aku memutuskan untuk melakukannya.
Pertengahan musim panas:
Aku berada jauh dari Tarragona. Alpujarras benar-benar seperti oase di Padang pasir. Hamparan pertanian yang membentang dari timur ke barat, yang dialiri oleh air yang berasal dari salju yang meleleh di puncak gunung Sierra Nevada, terlihat kontras sekali dengan pemandangan tanah tandus di kaki pegunungannya yang dipenuhi dengan ladang-ladang pohon zaitun dan bangunan-bangunan peninggalan Bangsa Moor. Mungkin ini cara Tuhan menghiburku. Tapi meskipun aku mulai mencintai Alpujarras dan orang-orangnya yang ramah, dan udaranya yang segar kuhirup serta semua pemandangan alam menakjubkan di hadapanku, aku tetap lebih mencintai kota pesisir pantaiku; dimana aku bisa menemukan rumpun bunga biru kecil yang tidak pernah aku dapati tumbuh di Alpujarras.
Seperti lukisan-lukisan beraliran surealis yang menggambarkan simbol-simbol, bunga biru kecil itu adalah simbol bagiku. Aku suka warnanya yang biru. Seolah-olah warna bunga itu menggambarkan perasaan hatiku. Aku suka namanya yang tidak seperti nama-nama bunga pada umumnya. Dan tidak banyak orang yang tahu. Aku suka semua hal tentang bunga itu, seperti aku menyukai kenangan yang ada dibalik nama bunga itu.
Ketika masih di Tarragona, aku sesekali keluar rumah di malam hari dan berjalan di tepi Pantai Arabassada sendirian, menikmati angin pantai yang dingin atau menghabiskan waktu memandangi rumpun bunga biru kecil sambil menulis. Seperti dua sisi mata uang, aku tak hanya mengagumi bunga itu saja tapi sekaligus juga ingin menghapusnya dari penglihatanku. Bunga biru kecil itu membuat aku merasakan segalanya yang terjadi di hidupku, mengarahkan aku pada pertanyaan yang selalu sama yang terus berputar-putar di otakku, pertanyaan yang selalu buntu dan tak bisa ku jawab. Dan kalaupun aku merangkai-rangkai sendiri cerita tentang jawaban dari pertanyaanku, aku selalu merasa tidak puas karena jawaban itu selalu berujung pada satu kata yang tak akan lagi bisa disangkal. Kau tahu apa itu?
Takdir.
Ya! Kata orang-orang, jika sudah takdir maka tidak akan bisa diubah lagi.
Malam hari dipertengahan musim panas:
Selama di Alpujarras aku tak hanya belajar memanusiakan manusia tetapi juga belajar melihat hidupku dari sisi yang lain. Seperti seorang filusuf yang sedang mempelajari aliran para sufi, aku mencoba melihat hidupku dari sisi yang lebih spiritual yaitu lewat kasih sayang Tuhan padaku. Dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatku merasa bahwa Tuhan tidak menyayangi diriku terjawab sudah. Aku tersadarkan dengan padatnya aktivitasku di Alpujarras tepat disaat aku merasa sangat hancur adalah cara Tuhan menyayangiku. Benar kata orang bijak, kesibukan adalah obat untuk kesedihan. Dan aku juga tersadarkan dengan menjauhnya aku dari tanah kelahiranku, dimana tidak kudapati sedikitpun rumpun bunga warna biru yang biasa kulihat tumbuh di Tarragona, nyatanya sukses membuat aku tidak banyak berkhayal tentang masa lalu dan seandainya; dua topik favoritku saat sedang kacau atau terluka. Itu kumaknai sebagai cara Tuhan menyelamatkanku. Bukankah tidak baik terus menerus berkhayal?
Akhir musim panas:
Aku kembali ke Tarragona. Dan aku sudah melupakan tentang rencanaku yang dulu dipertanyakan oleh Minerva. Tapi gelombang perasaan yang mulai hilang ketika di Alpujarras itu, perlahan-lahan muncul kembali. Aku hampir-hampir saja menjadikan lagi kebiasaanku berkhayal masa lalu sebagai aktivitas favoritku jika saja Tuhan tidak memberikan petunjuk-Nya padaku. Ibuku selalu mengatakan bahwa petunjuk adalah dari Tuhan. Maka mintalah pada-Nya.
Maka hari itu aku melihatnya. Kami berada di sebuah pameran lukisan yang ruangannya berbentuk lorong panjang, aku berdiri diujung lorong, dan orang itu pun berdiri di ujung lorong yang lain. Kami berhadap-hadapan, kami sama-sama saling melihat tapi tidak bisa saling mendekat karena jalan kami terhalang oleh banyaknya orang yang juga sedang melihat-lihat lukisan. Kemudian aku terbangun. Hari-hari berikutnya aku merasakan hatiku jauh lebih lapang dan aku semakin yakin bahwa Tuhan sudah memilihkan pilihan-Nya yang terbaik untukku.
Musim dingin:
Rumpun bunga biru kecil itu sudah mulai menghilang dan hanya tersisa kelopak-kelopaknya yang mulai tertutup serpihan salju. Aku memandanginya, tapi tidak merasa ingin melakukan apapun. Dan tidak juga merasakan perasaan apapun selain bahwa hidupku terasa jauh lebih baik. Seperti salju yang turun menutupi bunga-bunga kecil itu, dalam hati aku pun berharap bahwa Tuhan akan selalu meliputiku dengan kasih sayang-Nya seperti salju dingin yang menutupi rumpun bunga biru kecil itu, yang aku tidak ingin mengatakan namanya.
0 comments:
Post a Comment