Praha, Sebuah Memori

Thursday, May 4, 2017


Czech Republic, 2012

Ketika aku menjejakan lagi kakiku di Praha adalah saat-saat dimana salju sedang turun menutupi kota yang cantik itu sekitaran dua sentimeter. Aku merapatkan jaketku semakin lekat ke badan seraya berjalan di atas St. Charles Bridge, jembatan selebar sepuluh meter yang terbentang di atas Sungai Vltava yang menghubungkan antara Kota Tua dan Kastil Praha yang terkenal.

Saat itu Praha seperti kota penyihir dalam dongeng-dongeng klasik. Apalagi di tambah dengan menara-menara kastilnya yang runcing dan berwarna merah, Kota Praha benar-benar terlihat tua dan misterius dalam waktu yang bersamaan, bagaikan peradaban masa lampau yang keindahannya tersembunyi di balik tirai kabut musim dinginnya yang memukau.

Terlepas bahwa aku pernah memutuskan untuk meninggalkan kota yang cantik itu lima tahun silam, aku bahkan tak mengerti mengapa aku bisa kembali lagi ke Praha. Kota itu seperti menyimpan daya tarik tersembunyi yang selalu memaksaku untuk kembali meskipun aku sudah berlari.

Tak hanya dari bangunan-bangunannya yang sebagian besar berarsitektur gothic, baroque atau roccoco yang bisa menyihir orang yang menatapnya dalam kekaguman, tetapi juga orang-orangnya yang abadi; seolah-olah waktu terhenti saat mereka menginjak usia dua puluh lima tahun. Atau seolah-olah orang-orang di Praha tidak akan pernah mati selamanya.

Lima tahun meninggalkan Praha bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya sudah banyak hal yang berubah atau setidaknya terhapus dalam kurun waktu sepanjang itu. Tetapi, Kota Praha lagi-lagi tidak seperti kota bagi manusia, kota itu terlalu indah dan ia seakan-akan mengabadikan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya, tanpa terkecuali.

Bahkan hingga aku kembali setelah lama berlari, perasaanku lima tahun silam sebelum aku meninggalkan kota itu masih tetap sama. Yang selanjutnya menimbulkan kerisauan dalam hatiku dan membuat aku berpikir lama sekali di bawah turunnya salju musim dingin di Jembatan Charles. 

“Apakah masa depanku juga akan sama?” 

Rupanya tak hanya perasaanku di masa lalu itu yang tak berubah sedikitpun saat menjejakan kembali kedua kakiku di Praha, penyihir-penyihir tua bermantel tebal; mereka juga tetap ada disana - setia menjajakan bola-bola kristalnya di pinggiran jembatan St. Charles. 

Kemudian aku tersadar dari lamunanku sekaligus terkesima ketika salah seorang penyihir di jembatan itu menyodorkan bola kristalnya yang bening dan berkilauan ke hadapanku yang tengah memandangi mejanya.

“Kristal ini, apakah kau mau membelinya?” Tanya sang penyihir.
“Tentu saja. Kristal ini sangat indah.” Balasku tanpa berpikir panjang. Seharusnya aku tidak boleh
menerima kristal itu. Namun itulah satu-satunya kesempatan agar aku bisa menemukan sesuatu yang
sedang aku cari. Lebih tepatnya seseorang yang sedang aku cari.

Maka seperti itulah pertemuanku dengan si penyihir yang memberikan aku bola kristal di jembatan St. Charles. Dan saat itu aku belum tahu pasti apa yang selanjutnya akan terjadi dalam hidupku kecuali bahwa aku merasa jika Praha benar-benar seperti kota di Negeri Dongeng, karena keesokan harinya aku tidak hanya bertemu dengan penyihir-penyihir yang menjajakan bola kristal ajaibnya di St. Charles tetapi juga seorang malaikat dengan sayap hitam pekatnya – yang diam-diam lewat bola kristal itu aku mencarinya.

Dan hari itu… 

Aku tak sengaja melihatnya saat ia sedang termenung menatap sungai dengan sayapnya yang lebar menyentuh tanah. Aku tahu malaikat itu pasti mengenaliku jika dia melihatku. Dan benar saja yang ku takutkan pun terjadi, dia melihatku dan kemudian entah bagaimana caranya langkah kakiku akhirnya mengantarkan aku kepadanya ditengah-tengah terpaan angin musim dingin yang menghembus tubuhku, perasaan kami yang kaku dan cerita lain yang belum usai.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak menyukai malaikat. Tapi mengapa jika begitu adanya aku tetap memanggilnya malaikat? Padahal teman-temanku semuanya bersikeras memanggil dia Iblis. Namun, kemudian aku tersadar bahwa malaikat itu terus menatapku. Aku memaksakan ketenangan merasuki tubuhku saat kami akhirnya berhadapan.

Seperti air danau yang membeku, kami nampak tenang di permukaan. Namun kenyataannya saling bergejolak di dalam. Maka mungkin seperti itulah sebenarnya keadaan kita; sekarang.

0 comments: