Showing posts with label short-story. Show all posts
Showing posts with label short-story. Show all posts

Rahasia Doa Istirja' di Balik Seleksi CPNS 2019

Sunday, December 27, 2020

Tahun 2020 akan segera berakhir. Dan sebelum mengawali tahun yang baru, melakukan introspeksi diri atas apa yang sudah saya lewati sepanjang tahun ini menjadi penting. Terlebih, sebagai rasa syukur. Karena selama pandemi Covid-19 ini saya masih bisa bertahan hidup. Tidak terkena PHK di saat banyak orang diluaran sana yang menjadi pengangguran. Bahkan tak hanya itu. Saya juga dinyatakan lolos seleksi CPNS 2019. Sesuatu yang diidam-idamkan oleh banyak orang. 

Karena saya sudah pernah mengikuti seleksi CPNS di tahun sebelumnya dan gagal, saya sejujurnya tidak terlalu berharap saat ikut seleksi kali ini. Namun, bukan berarti saya tidak melakukan persiapan sama sekali.

Ketika saya memilih lokasi penempatan, tanpa pikir panjang, saya langsung memutuskan untuk memilih lokasi penempatan di sebuah SMK di daerah Cirebon. Ketika salah seorang rekan kerja di kantor bertanya kenapa saya memilih penempatan di sekolah tersebut, dengan entengnya saya hanya menjawab, “Pengen aja. Nama sekolahnya unik.”

Kegagalan untuk lolos CPNS di tahun 2018 membuat saya lebih banyak mengevaluasi diri. Melihat ke dalam diri saya sendiri. Kalimat yang mengatakan doa dan usaha tidak akan mengkhianati hasil rasanya terlalu sombong dan takabur jika diucapkan oleh kita sebagai makhluk. Terutama jika di yakini secara berlebihan. Apalagi, jika saya berkaca pada pengalaman diri saya sendiri. Mungkin, saya terlalu yakin dan berbangga hati dengan doa-doa dan usaha saya di tahun 2018, sehingga Allah tangguhkan kelulusan saya di waktu itu.

Dari situ, mulailah saya berpikir untuk lebih rendah hati. Alih-alih menyebutkan betapa susah payahnya diri ini untuk lebih dekat kepada Allah saat berdoa, kalimat itu saya ganti dengan, “Ya Allah kabulkanlah doaku dengan rahmat dan kasih sayang-Mu.” Doa itu terus saya ulang-ulang. Bahkan ketika saya sedang berjalan, makan ataupun berbaring. Tentu saja tanpa menyebutkan kebaikan manapun yang sudah dilakukan.

Setidaknya, ketika pikiran untuk berbangga diri dan terlampau yakin atas segala usaha-usaha dan doa itu muncul, lisan saya mengingkarinya. Seperti yang selalu diajarkan oleh orang tua saya untuk jangan terlalu berbangga diri dan ambisius mengejar sesuatu.

Jadilah, selanjutnya saya membayangkan sebuah skenario yang jauh ke depan. Dan bahwa skenario ini harus melibatkan Tuhan. Sekaligus menjaga diri saya agar tetap berbaik sangka ketika gagal dan tidak sombong saat berhasil.

Akhirnya saya teringat suatu doa. Doa ini diambil dari kisah Ummu Salamah yang mengucapkannya saat suaminya meninggal dunia. Dia teringat Rasulullah yang bersabda barang siapa membaca doa ini ketika tertimpa musibah. Maka, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan benar saja, ketika habis masa iddah-nya, Ummu Salamah dilamar oleh Rasulullah. Manusia terbaik di muka bumi. Bahkan, beliau adalah utusan Allah.

Doa yang dibacanya adalah sebagai berikut:

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Allahumma ajjurni fi mushibati wakhlif li khairan minha.”

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini. Dan, gantilah ia dengan yang lebih baik.

Doa itu pun akhirnya saya hapalkan. Jauh sebelum mengikuti tes seleksi tahap pertama. Sembari saya mengingat-ingat kembali perkataan indah yang dituturkan oleh Sayyidina Ali radiyallahu anha. 

“Ketika aku berdoa dan Allah mengabulkan doaku. Maka aku berbahagia karena itu keinginanku. Tapi, ketika aku berdoa dan Allah tidak mengabulkan doaku. Maka aku lebih berbahagia karena itu kehendak Allah. Dan, kehendak Allah pastilah yang terbaik.”

Itulah dua hal dasar yang saya yakini sembari di satu sisi tetap melaksanakan usaha dan ikhtiar untuk bisa lolos seleksi. Namun dalam ritme yang santai. Tidak sampai menyengsarakan diri sendiri.

PS: Saya tidak pernah belajar ketika saya lapar. Atau belajar sambil menahan lapar. Tidak juga dalam kondisi badmood dan sedang sedih. Ketika saya lelah, saya lebih memilih untuk tidur terlebih dahulu daripada belajar. Tidak pula seharian saya belajar hingga melupakan waktu bersenang-senang. Saya belajar SKD dengan santai. Namun, sebisa mungkin saya tidak pernah membantah kata-kata orang tua saya atau menolak permintaan mereka. Terutama, ketika mereka sedang menyuruh atau  menasehati saya.

Tanggal 30 Januari 2020

Seleksi tahap pertama di Gedung Arcamanik. Saya datang kesana diantar oleh Bapak. Waktu itu, siang hari dan sedang panas-panasnya. Bersama seorang teman saya mengantri untuk masuk ke dalam gedung. Di sela-sela mengantri, saya haus sekali karena kepanasan dan tidak sempat minum. Bapak yang menunggu tidak jauh dari antrian dan tahu anaknya kehausan menghampiri saya. Lalu menyodorkan sebotol minuman dingin sembari menenteng tas ransel dan berlari kecil di tengah-tengah cuaca panas mengikuti antrian saya yang terus maju ke depan. Saya melihat ke sekeliling antrian dan tidak menemukan satu pun orang tua lain yang sebegitu perhatian pada anaknya seperti yang dilakukan oleh Bapak saya.

Di dalam gedung kami diminta menunggu. Saya duduk di baris kedua dari depan. Dari sekian banyak peserta seleksi di hari itu, tidak satu pun saya menemukan wajah teman satu angkatan saya ketika kuliah dulu. Kebanyakan pendaftar adalah fresh graduate yang baru saja lulus. Omg, berasa tua banget deh saya waktu itu.  

Bahkan, saya juga tidak menemukan satu orang lain pun yang berasal dari jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Semuanya berasal dari jurusan lain. Salah jadwal gitu? Batin saya curiga.

Karena kami menunggu cukup lama, akhirnya saya dan teman saya izin ke toilet. Sembari berjalan melewati barisan kursi yang panjang, saya iseng memerhatikan raut wajah para peserta seleksi. Ada yang ekspresinya tegang, bengong, melamun, stress dan bodo amat. Benar ternyata yang dikatakan oleh teman saya. Kami pun berjalan melewati mereka. Tak kuasa menahan tawa. *Astaghfirullah*

Tak lama kemudian, kami masuk ke dalam ruangan seleksi. Saya mendapat kursi paling depan. Dekat dengan kipas angin. Thank God. Walaupun saya nanti masuk angin, setidaknya, fokus saya tidak terganggu. Dan saya tidak akan terintimidasi oleh peserta lain yang lebih dulu selesai daripada saya. *semangat!!!*

Singkat cerita saya mendapat nilai SKD 375.

Waktu itu saya belum yakin bahwa saya akan lolos seleksi  karena melihat nilai peserta lain yang juga tinggi-tinggi. Apalagi, sekolah yang saya pilih tersebut nyatanya adalah sekolah dengan pelamar terbanyak lebih dari 200 orang. Qadarullah, beberapa minggu kemudian saya dinyatakan lolos seleksi tahap pertama. Dari 6 orang yang lulus ke tahap SKB, saya menduduki peringkat kedua. Seharusnya, jika tidak ada seleksi lanjutan saya sudah otomatis lolos dan mengajar di Cirebon.

Maret – Oktober

Karena pandemi Covid-19, tes SKB ditunda. Masa-masa yang panjang ini saya gunakan untuk belajar materi Bahasa Inggris dan pedagogik. Tidak ada trik khusus untuk yang satu ini. Saran saya sederhana: konsistenlah membaca dan perbanyak berdoa. Hindari berdebat walaupun berada di pihak yang benar. Apalagi jika berada di pihak yang salah.

Kenapa berdebat? Karena sepanjang Maret sampai Oktober, di akun resmi BKN sedang ribut memperdebatkan antara serdik versus non-serdik.

Sebagai guru honorer yang belum mempunyai serdik padahal sudah mengajar bertahun-tahun lamanya, tentu saja rasa untuk menumpahkan kekecewaan pada pemerintah dan ikut berdebat itu pastilah ada. Apalagi jika mengingat akses dan biaya untuk ikut PPG mandiri tidaklah murah. Hati rasanya panas bergejolak. Tapi, kembali lagi pada diri sendiri. Saya tidak mau sibuk berdebat sementara saingan saya justru sedang sibuk belajar. Utamakan prioritas!

Meskipun saya mengetahui salah seorang saingan saya mempunyai sertifikat pendidik yang otomatis akan membantunya untuk mendapat nilai sempurna di tes SKB, saya berusaha untuk tetap semangat dan berpikir positif bahwa rezeki itu Allah yang atur. Manusia hanya dituntut untuk berusaha dan berdoa secara maksimal. Selebihnya urusan Allah. Lagipula, saya sudah menghapal doa istirja.’ Saya tidak cemas akan rezeki saya.

Semangat saya justru agak memudar bukan karena tahu jika salah seorang saingan saya punya serdik. Akan tetapi, karena di suatu siang Mama tiba-tiba datang menghampiri saya yang sedang berada di dalam kamar.

Mama yang saat itu terlihat khawatir lalu bercerita mengenai tetangga lama kami yang baru saja bertemu dan sekarang tinggal di Cirebon. Berdasarkan penuturannya, Mama jadi tahu jika daerah yang saya pilih sebagai lokasi penempatan tersebut adalah daerah yang rawan tindak kejahatan! Seketika saya penasaran dan mencoba googling mengenai kriminalitas di daerah tersebut. Dan ternyata memang benar seperti yang dikatakan Mama. Daerah itu rawan begal dan perampokan! Sungguh, saya tidak takut saingan saya punya serdik. Saya justru lebih takut jika saya lolos seleksi lalu bertemu begal dan menjadi korban perampokan. *hiks*

Selama beberapa hari setelah mendengar penuturan Mama, saya mimpi buruk. Saya bingung antara ingin lolos CPNS tapi enggan pindah ke daerah sana. Apalagi, di sana tidak ada satu orang pun keluarga, kenalan atau sanak saudara. Setiap kali saya galau, saya perbanyak istighfar dan berdoa. Seringkali hanya dalam hati. Semua kegelisahan itu saya pendam sendiri. Lagipula, akan tambah tidak enak jika membuat orang tua saya khawatir. Akhirnya saya pasrah namun tetap sambil belajar.

Seleksi SKB

Sambil menenteng surat rapid tes, saya diarahkan oleh panitia menuju tempat penyimpanan barang. Lalu diminta mengantri dan menunggu dengan masker, face shield dan sarung tangan sudah terpasang rapi di wajah dan kedua tangan. Tak lama kemudian, kami di panggil ke ruangan tes. Saat itu, tidak teringat sama sekali kegelisahan saya sebelumnya jika lolos CPNS dan di tempatkan di daerah yang rawan tindak kejahatan. 

Thank God. Karena akibatnya, saya jadi bisa fokus berusaha maksimal. Dan, lagi-lagi saya dapat kursi paling depan. Entahlah harus mengeluh atau bersyukur karena saya jadi dekat dengan kipas angin yang ukurannya besar-besar! Hembusan anginnya itu, lho! Hehehe….

Waktu 90 menit ternyata lebih dari cukup untuk mengerjakan 100 soal SKB. Saya masih bisa mengecek jawaban saya dua kali. Dan itu pun masih tersisa waktu 5 menit lagi. Singkat cerita, tes pun selesai dan nilai SKB saya 365. Waktu itu, Bapak yakin saya lolos CPNS. Tapi, saya masih ragu-ragu.

Kecurigaan mulai muncul tatkala saya sudah cukup lama selesai test, namun Mama dan adik saya tidak juga menelpon padahal mereka menonton live streaming-nya di Youtube. Akhirnya, setelah selesai makan, saya menelpon Mama. Dan ternyata benar dugaan saya itu. Saya berada di peringkat kedua. Otomatis saya tergeser oleh saingan saya yang memiliki serdik meskipun dia berada di peringkat keempat.

Padahal, jika tidak ada yang memiliki serdik saya sudah bisa dipastikan lolos ke Cirebon. Karena kuota yang dibutuhkan di sekolah yang saya lamar itu 2 orang. Dari situ, saya teringat doa istirja’ yang sudah saya hapalkan. Setelah meminta maaf pada orangtua, saya melafalkan doa itu di perjalanan pulang.

Satu sisi saya lega karena tidak jadi pergi ke Cirebon. Tapi, di sisi yang lain saya sedih karena mengira diri saya tidak lulus CPNS.

Hari-hari berikutnya terasa begitu membosankan. Saya mulai jarang mengikuti perkembangan seleksi CPNS karena telah menganggap diri saya gagal. Bahkan sebelum pengumuman CPNS itu resmi diberitakan. Sampai di suatu hari, tiba-tiba saya ingin sekali untuk melihat kembali daftar peserta yang lolos seleksi tahap pertama. Di situ saya mengetikan kata kunci Bahasa Inggris. Dan menemukan SMAN 1 Cidahu kosong tanpa satu pun pelamar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lolos seleksi.

Dari situ saya teringat bahwa formasi kosong akan diprioritaskan untuk diisi. Saya mulai kembali bersemangat dan menghitung perolehan nilai seluruh peserta formasi pendidikan Bahasa Inggris Pemprov Jabar. Hasilnya, ternyata nilai integrasi SKD-SKB saya paling tinggi. Tapi, itu pun belum aman. Karena  saya tidak tahu apakah peserta lain mempunyai serdik.

Hari-hari yang  awalnya datar dan membosankan berubah menjadi hari yang penuh tanda-tanya. Dalam masa-masa menunggu itu, hanya Bapak yang berkeyakinan saya bisa lolos CPNS. Sementara, Mama dan saya lebih realistis. 

Hari yang ditunggu pun tiba. Hasil seleksi CPNS 2019 diumumkan. Dan, ternyata prediksi Bapak benar. Saya lolos CPNS ke SMAN 1 Cidahu di Kuningan. Yang mana lokasinya cukup ramai dan dekat dengan rumah saudara saya. Tidak sepi dan rawan kejahatan seperti di Cirebon. Saya tidak menemukan satu pun berita kriminalitas di lokasi di mana nanti saya akan mengajar. Rasanya seperti keajaiban. Apalagi di tengah-tengah serbuan pelamar Bahasa Inggris yang cukup banyak memiliki serdik. Doa istirja’ itu benar. Saya melafalkannya dan Allah menggantikan kegagalan saya lulus di Cirebon dengan menempatkan diri saya di tempat yang jauh lebih baik.

Begitulah teman-teman sepenggal cerita dari saya. Semoga sharing pengalaman kali ini bisa diambil hikmahnya.

A Story of Dragon

Sunday, February 25, 2018


Ada sebuah tempat rahasia di semesta ini dimana aku bisa bertemu dengan Sang Naga, meskipun sejatinya raga kami terpisahkan oleh dua dunia yang berbeda. Dia adalah Sang Naga yang ku kagumi, yang mengendalikan kehidupan dengan api dalam tubuhnya. Namun, alih-alih menjaga kawah berapi di puncak-puncak gunung tertinggi, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di lautan. Menyelam diantara bebatuan karang, menyusuri setiap jengkal samudera serta menyusup diantara gulungan ombak-ombak besar dengan merentangkan kedua sayapnya yang kuat dan lebar. 

Ketika tempat rahasia itu terbuka setelah berabad-abad tertutup badai, aku melihatnya terbang menyusuri cakrawala yang terbentang di atas kedua sayapnya yang bebas. Apa itu, pikirku, sebelum akhirnya Sang Naga turun menghampiri. Dan begitulah awal perkenalanku dengan Sang Naga yang ku kagumi. 

Ada sesuatu yang berbeda tentang Sang Naga. Dan itu melebihi kata-kata. Sesuatu itu seperti api yang bersemayam dalam tubuhnya. Begitu gelap, kuat dan berbahaya.

“Api tidak akan membuatmu terluka jika kau berhati-hati menggunakannya. Justru api bisa menghangatkanmu.” ujar Sang Naga padaku di suatu hari yang hujan.
“Tapi, api juga bisa menghancurkan.” 
“Aku bisa menjamin keselamatanmu.”
“Bagaimana jika tidak?” 
“Jika tidak, maka aku akan berhenti menjadi Sang Naga. Dan ikut bersamamu.”

Kenyataan bahwa orang-orang di bumi meyakini Sang Naga hanya ada dalam legenda, membuatku tidak pernah membicarakannya kepada siapapun. Kecuali sore itu, pada seorang perempuan yang kulitnya memancarkan rona keemasan saat terkena sinar matahari. 

Orang-orang bilang perempuan itu terkena kutukan karena dia selalu berbicara tentang takdirnya. Setelah ratusan hari dilaluinya dengan kata-kata yang sama tentang takdir dirinya, tentang udara dan kebebasannya, orang-orang mulai menganggapnya mengidap gangguan jiwa. Padahal perempuan itu sepuluh kali lipat lebih cantik dibandingkan perempuan lain yang ada di kota tempat tinggalnya.

“Mengapa udara?” tanyaku saat kami sedang duduk berdua menatap matahari terbenam di tepi pantai yang mengingatkanku pada sang Naga. 
“Karena aku malu.”
“Kukira itu bukan jawaban. ” 

Perempuan dengan rona keemasan di kulitnya lantas berkata, “Tidak. Itu memang jawaban yang sesungguhnya.” Kemudian dia termenung sebentar lalu meneruskan kembali kata-katanya. “Dan bagaimana dengan dirimu? Apa yang kau inginkan?” 
“Aku ingin mengabdikan hidupku pada seekor naga.” ujarku setengah termenung karena teringat percakapan dengan sang Naga di suatu hari yang hujan. 

Alih-alih menertawakan kata-kataku yang terdengar aneh, perempuan itu menyikapinya dengan wajar. Dia bertanya, “Apakah dulu kau pernah mengenal seekor Naga?” 

Pertanyaannya sungguh tak disangka. Tapi, aku menjawabnya juga. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku membeberkan rahasia tentang jati diri Sang Naga pada manusia di bumi yang paling mustahil untuk dijadikan teman bercerita. Perempuan itu lantas menyimak dengan setia setiap detail cerita mengenai Sang Naga yang ku kagumi. Tak ada rona terkejut ataupun ragu tergambar di wajahnya. Hanya ekspresi yang normal dan wajar. 

Seusai bercerita dia bertanya padaku apakah aku mengijinkannya berkomentar atau sebaiknya dia diam saja. Aku katakan tentu saja dia boleh berkomentar. Dan perempuan itu mulai menguraikan pendapatnya. “Aku setuju bahwa Naga adalah makhluk yang mengagumkan. Tapi, akan ada banyak hal yang harus kau korbankan jika kau ingin ikut bersamanya. Apakah kau benar-benar sudah siap dengan konsekuensinya?”

“Dia berkata bahwa dialah yang akan ikut bersamaku.”
“Bahkan jika kata-katanya benar, kau tetap akan mengorbankan banyak hal dan itu tidak sebanding. Kau tahu? Itulah sebabnya aku menyesal menjadi manusia. Betapa menyenangkannya menjadi udara. Tak pernah dilahirkan. Aku ingin menjadi udara.”
“Apa maksudmu?”
“Agar orang-orang di dunia ini tak lagi bisa melihatku. Agar tak ada yang menemukanku kecuali dalam ketiadaan.” 

Apakah perempuan ini benar-benar mengidap gangguan jiwa? Apa yang sebenarnya dia maksudkan?

Teka-teki mengenai kata-katanya yang tak kumengerti, akhirnya sedikit terkuak beberapa bulan kemudian saat perempuan itu menghilang secara tiba-tiba. Desas-desus bahwa perempuan itu bersekutu dengan seekor naga menyeruak di seantero kota. Orang-orang menanggapinya dengan rasa marah, resah dan gelisah. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana bisa perempuan itu bersekutu dengan makhluk jahat di lingkungan tempat tinggal mereka dan dekat dengan anak-anak mereka. Mengancam kehidupan mereka. 

“Kulitnya yang keemasaan, kepergiannya yang tiba-tiba. Dan hidupnya.”
“Bagaimana hidupnya?”
“Orang-orang yang bersekutu dengan Naga, kehidupan mereka tidak akan pernah lagi menjadi miliknya. Ada kehidupan lain. Kau akan mengerti saat waktunya tiba,” ujar seorang perempuan tua yang duduk disampingku. 

Dan benar saja, saat waktu itu tiba aku melihatnya kembali ke kota. Kulitnya semakin keemasaan dan hidupnya tak lagi sama. Saat bertemu dengannya aku tak sanggup menanyakan hal mengerikan apa yang telah menimpanya. Semua orang di kota menghakimi takdirnya. Dia kehilangan banyak hal. Orang-orang memusuhi dan menghinanya dan dia kehilangan kehidupan sosialnya. Dia hanya punya kehidupannya yang lain yang diberikan Sang Naga padanya.

“Semuanya sudah terlambat. Aku tidak lagi ingin menjadi udara. Ketika aku melihat kedua mata ini, aku tahu bahwa aku telah kehilangan hidupku. Aku hanya harus kuat sampai waktuku tiba. ” ujarnya sendu sambil memperlihatkan seorang anak laki-laki kecil yang kulitnya keemasan seperti dirinya. Saat itu aku langsung mengerti kemana arah pembicaraan ini bermuara. Kemunculannya seperti potongan puzzle yang melengkapi percakapan kami dulu. Aku takkan sanggup bersekutu dengan seekor naga. Aku tidak ingin kehilangan hidupku. Aku tidak ingin seperti dia.

A Confession of INTJ

Sunday, May 21, 2017


Ada dua alasan mengapa seseorang tidak ingin membicarakan sesuatu. Pertama, ketika sesuatu itu tidak berarti apa-apa. Dan yang kedua, ketika sesuatu itu berarti segalanya. Kamu lantas menghela napas sejenak kemudian memikirkan kira-kira opsi mana yang sebenarnya melatarbelakangi perilaku saya padamu.

Sore itu, langit Jakarta mulai gelap berawan dan kita masih berada di sebuah restoran siap saji menunggu pesanan. Saya menghadapi segelas milkshake dan sepiring risoles keju sambil diam-diam merangkai percakapan imajiner denganmu. 

Jadi orang-orang bilang mereka lebih suka segalanya seperti air. Biarkan saja mengalir dan go with the flow. Tapi, saya bukan dari jenis yang seperti itu. Saya punya pemikiran saya sendiri. Saya tidak suka moto hidup seperti air yang sudah sangat mainstream dan menyesatkan.

“Kenapa?” tanyamu dalam sesi percakapan imajiner kita.
“Karena air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.” jawab saya padamu. 
Kamu lantas merenung lalu kemudian bertanya kembali, “Apakah dalam semua hal?”
“Tentu saja. Saya tidak suka main-main dengan kehidupan saya.” Kamu langsung tertawa mendengar pengakuan saya. Di telingamu itu terdengar palsu dan caramu tertawa terasa seperti menyinggung. “Kamu terlalu serius,” komentarmu sok tahu.

Di sela-sela percakapan imajiner kita, waktu kembali berputar ke beberapa bulan yang lalu saat kamu menuduh saya membosankan karena tidak punya akun Instagram. Lagi-lagi, kamu menghakimi hidup saya padahal kita baru dua belas kali bertemu. Bahkan makanan favorit saya saja kamu tidak tahu, meskipun, saya berulang kali memesan ayam goreng sambal ijo sama denganmu! 

Kamu bersikeras menganggap saya tidak punya nafsu makan apalagi makanan kesukaan. Saya tidak tahu apakah kamu sedang bercanda atau menyindir saya saat itu. Yang jelas, apapun jawabannya, pada akhirnya kamu tetap keras kepala dan tidak pernah meminta maaf kepada saya sekalipun.

Oleh karena itu, saya berniat membalasmu. Hari-hari berlalu dan saya tidak pernah berbicara kepadamu tanpa terbebas dari niat untuk menyakitimu; andai saya bisa. Dan bodohnya, kamu menerjemahkan sikap saya apa adanya tanpa menyadari awal kejadiannya. 

Sebenarnya saya ingin sekali agar semua laki-laki di dunia ini, termasuk dirimu, untuk membaca 16 Teori Kepribadian Carl Jung atau Pride and Prejudice karya Jane Austen agar bisa memahami perbedaan-perbedaan karakter manusia. Introvert-Extrovert, Sensory-Intuitive, Thinking-Feeling serta Judging-Perceiving. Dan menyadari bahwa bersikap close-minded itu sangat menyebalkan. Akan tetapi, ketika saya berpikir lebih dalam, seharusnya saya tidak perlu heran atau tersinggung dengan pemikiran bodohmu mengingat hasil tes psikologi kita yang berbeda. 

Kamu tradisionalis dan saya seorang realis.

Sebaris kata-kata itu sudah jelas menggambarkan perbedaan sudut pandang kehidupan dua anak manusia; yang pada akhirnya menyebabkan kamu tidak bisa percaya bahwa di dunia ini ada perempuan yang lebih sering menggunakan logika alih-alih perasaannya. Kamu tidak siap menerima ada perempuan yang tidak suka basa-basi. Kamu tidak bisa memahami itu sehingga kamu menganggap saya dingin dan tidak peka seperti ibu-ibu tiri dalam sinteron. Dan itu terjadi bahkan sebelum genap bilangan hari dalam seminggu kita berkenalan. 

Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi jendela restoran siap saji tempat kita bertemu. Saya melihat meja nomor 21 masih terisi. Tidak banyak orang-orang yang mendatangi tempat itu sore ini, sehingga saya bisa kembali fokus merangkai cerita percakapan imajiner kita yang sempat terputus dering telepon beberapa waktu lalu. 

Perkataan seorang teman memenuhi benak saya. Dia berkata bahwa pemikiran laki-laki dan perempuan satu sama lain bertentangan. Mereka tidak akan pernah bisa cocok sampai akhir zaman. Kalaupun mereka terlihat cocok, sebenarnya mereka berdua hanya sedang berusaha saling memahami.

Mungkin saja, selama ini kamu memang belum bisa memahami saya sehingga bersikap begitu menyebalkan. Dan saya pun demikian, belum bisa memahami kamu. Tapi pikiran itu tidak bisa bertahan lama mengingat kamu begitu mudahnya menghilang dari kehidupan saya tepat disaat saya menurunkan kewaspadaan diri saya padamu. 

Hal itu tentunya menjadi tanda tanya besar yang menghantui pikiran saya selama berminggu-minggu. Atau barangkali selama ini saya telah salah menilai dan dibutakan persepsi diri saya sendiri?

Lalu, entah setelah sekian hari yang terasa lama, sayup-sayup saya mendengar nyanyian dari balik jendela kamar rumah saya. Saya mengira itu pasti kamu yang akan muncul di bawah sinar lampu yang berpendar merah jambu. Jadi saya melompat hendak menyongsong malam untuk melupakanmu. Tapi, dalam kelam saya malah menemukan dirimu. Dalam kerumunan dan kesunyian, seperti selalu…….

Mengapa kamu tersenyum seperti itu?

Sejujurnya, saya ingin berubah jadi kupu-kupu kalau begini, hinggap di pundakmu. Saya ingin menjadi secangkir kopi di atas meja kerjamu. Saya ingin menjadi sepiring nasi goreng diantara makan malammu. Saya ingin menjadi huruf-huruf dan jalin kelindan kalimat dalam ungkapan-ungkapan rindumu. Saya ingin berhenti disini, menyalakan lilin sekali lagi dan terbakar sekali lagi. Tapi, saya khawatir bertemu lagi denganmu.

Saya memesan segelas milkshake kedua. Risoles di piring masih utuh tak tersentuh. Saya menatap jendela restoran siap saji tempat kami bertemu. Langit sudah berubah hitam. Dan lampu-lampu kendaraan di jalan bagaikan kunang-kunang yang kuning keemasan. Lantas dari meja nomor 21, kamu berjalan menghampiri saya di meja nomor 7. Kamu menawarkan diri untuk menemani saya agar tidak kesepian. Tapi, setelah semua yang terjadi, segala kebodohan dan permainan ini, sejujurnya saya lebih sering merasa sepi justru saat bersamamu.

Jadi, saya katakan tidak. Dan kamu mempertanyakan alasannya. Sesungguhnya, saya hanya tidak ingin lagi membicarakannya.

(Kembali ke awal)

Praha, Sebuah Memori

Thursday, May 4, 2017


Czech Republic, 2012

Ketika aku menjejakan lagi kakiku di Praha adalah saat-saat dimana salju sedang turun menutupi kota yang cantik itu sekitaran dua sentimeter. Aku merapatkan jaketku semakin lekat ke badan seraya berjalan di atas St. Charles Bridge, jembatan selebar sepuluh meter yang terbentang di atas Sungai Vltava yang menghubungkan antara Kota Tua dan Kastil Praha yang terkenal.

Saat itu Praha seperti kota penyihir dalam dongeng-dongeng klasik. Apalagi di tambah dengan menara-menara kastilnya yang runcing dan berwarna merah, Kota Praha benar-benar terlihat tua dan misterius dalam waktu yang bersamaan, bagaikan peradaban masa lampau yang keindahannya tersembunyi di balik tirai kabut musim dinginnya yang memukau.

Terlepas bahwa aku pernah memutuskan untuk meninggalkan kota yang cantik itu lima tahun silam, aku bahkan tak mengerti mengapa aku bisa kembali lagi ke Praha. Kota itu seperti menyimpan daya tarik tersembunyi yang selalu memaksaku untuk kembali meskipun aku sudah berlari.

Tak hanya dari bangunan-bangunannya yang sebagian besar berarsitektur gothic, baroque atau roccoco yang bisa menyihir orang yang menatapnya dalam kekaguman, tetapi juga orang-orangnya yang abadi; seolah-olah waktu terhenti saat mereka menginjak usia dua puluh lima tahun. Atau seolah-olah orang-orang di Praha tidak akan pernah mati selamanya.

Lima tahun meninggalkan Praha bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya sudah banyak hal yang berubah atau setidaknya terhapus dalam kurun waktu sepanjang itu. Tetapi, Kota Praha lagi-lagi tidak seperti kota bagi manusia, kota itu terlalu indah dan ia seakan-akan mengabadikan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya, tanpa terkecuali.

Bahkan hingga aku kembali setelah lama berlari, perasaanku lima tahun silam sebelum aku meninggalkan kota itu masih tetap sama. Yang selanjutnya menimbulkan kerisauan dalam hatiku dan membuat aku berpikir lama sekali di bawah turunnya salju musim dingin di Jembatan Charles. 

“Apakah masa depanku juga akan sama?” 

Rupanya tak hanya perasaanku di masa lalu itu yang tak berubah sedikitpun saat menjejakan kembali kedua kakiku di Praha, penyihir-penyihir tua bermantel tebal; mereka juga tetap ada disana - setia menjajakan bola-bola kristalnya di pinggiran jembatan St. Charles. 

Kemudian aku tersadar dari lamunanku sekaligus terkesima ketika salah seorang penyihir di jembatan itu menyodorkan bola kristalnya yang bening dan berkilauan ke hadapanku yang tengah memandangi mejanya.

“Kristal ini, apakah kau mau membelinya?” Tanya sang penyihir.
“Tentu saja. Kristal ini sangat indah.” Balasku tanpa berpikir panjang. Seharusnya aku tidak boleh
menerima kristal itu. Namun itulah satu-satunya kesempatan agar aku bisa menemukan sesuatu yang
sedang aku cari. Lebih tepatnya seseorang yang sedang aku cari.

Maka seperti itulah pertemuanku dengan si penyihir yang memberikan aku bola kristal di jembatan St. Charles. Dan saat itu aku belum tahu pasti apa yang selanjutnya akan terjadi dalam hidupku kecuali bahwa aku merasa jika Praha benar-benar seperti kota di Negeri Dongeng, karena keesokan harinya aku tidak hanya bertemu dengan penyihir-penyihir yang menjajakan bola kristal ajaibnya di St. Charles tetapi juga seorang malaikat dengan sayap hitam pekatnya – yang diam-diam lewat bola kristal itu aku mencarinya.

Dan hari itu… 

Aku tak sengaja melihatnya saat ia sedang termenung menatap sungai dengan sayapnya yang lebar menyentuh tanah. Aku tahu malaikat itu pasti mengenaliku jika dia melihatku. Dan benar saja yang ku takutkan pun terjadi, dia melihatku dan kemudian entah bagaimana caranya langkah kakiku akhirnya mengantarkan aku kepadanya ditengah-tengah terpaan angin musim dingin yang menghembus tubuhku, perasaan kami yang kaku dan cerita lain yang belum usai.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak menyukai malaikat. Tapi mengapa jika begitu adanya aku tetap memanggilnya malaikat? Padahal teman-temanku semuanya bersikeras memanggil dia Iblis. Namun, kemudian aku tersadar bahwa malaikat itu terus menatapku. Aku memaksakan ketenangan merasuki tubuhku saat kami akhirnya berhadapan.

Seperti air danau yang membeku, kami nampak tenang di permukaan. Namun kenyataannya saling bergejolak di dalam. Maka mungkin seperti itulah sebenarnya keadaan kita; sekarang.

Tarragona, Tentang Perjalanan

Monday, May 1, 2017



Spanyol, 2012

Akhir musim panas:

Ke Tarragona aku kembali. Kota pesisir pantai yang cantik; tanah kelahiranku. Aku menyukai segalanya tentang kota ini. Pantai-pantainya yang indah, hamparan pasir halusnya yang keemasan serta suhu airnya yang hangat. Dan kenangan-kenangan yang aku tinggalkan di sana. Dan juga rumpun bunga-bunga kecil berwarna biru yang tumbuh di halaman belakang rumah ibuku. Beberapa bulan yang lalu, aku terpaksa pergi meninggalkan kota pesisir pantaiku, untuk pergi ke Alpujarras sebuah desa di bagian selatan pegunungan Sierra Nevada yang berbeda sekali dengan tanah kelahiranku demi melaksanakan dua buah misi.

Misi yang pertama adalah misi kemanusiaan. Aku pernah mendengar seorang filusuf Yunani berkata dalam bukunya bahwa manusia itu dikatakan benar-benar menjadi manusia ketika dia menggunakan sifat-sifat kemanusiaannya yang terdalam, hati nuraninya yang murni dan jiwa sosialnya untuk menolong sesama. Diam-diam aku mengamini kata-kata sang filusuf itu, dan diam-diam pula aku menjadi sedih dalam hatiku, meskipun sejujurnya aku sendiri masih tak mengerti mengapa aku akhirnya memilih mendedikasikan diriku justru disaat aku merasa seolah-olah akulah orang yang seharusnya menjadi objek kemanusiaan yang pantas dikasihani. Oh, Tidak! Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu? Yang berhak mengasihani diriku hanyalah Tuhan. Aku tidak ingin orang-orang mengasihani aku meskipun sejujurnya saat itu aku sedang merasa hancur. Aku penguasa atas diriku sendiri. Aku yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku dan bukan orang lain.

Misi yang kedua adalah memahami apa yang disebut orang-orang bestari sebagai rahmat yang disamarkan. Sama seperti kebanyakan manusia yang penglihatannya dangkal akan hikmah dan hakikat, saat itu timbul satu pertanyaanku kepada Yang Maha Kuasa yang hampir-hampir saja mengarahkan aku dalam kemarahan, putus asa dan rasa kecewa, mengapa disaat-saat hancur yang kurasakan, justru aku harus berpisah dengan keluarga dan teman-teman dekatku, jauh dari tanah kelahiranku, jauh dari kenangan-kenanganku yang meskipun pahit tapi mampu membuat aku merasa sebagai manusia karena masih bisa merasa. Bukankah disaat-saat seperti itu teman dan keluarga adalah obat?

Tapi rupanya perjalananku ke Alpujarras tidak demikian. Bisa dibilang, itulah cara Tuhan menghalangi rencanaku yang sudah ku persiapkan sedemikian rupa. Sahabatku Minerva, seorang gadis keturunan Turki-Spanyol yang kuliah di universitas yang sama denganku bahkan sampai tak habis pikir dan berulang kali mempertanyakan rencanaku yang menurutnya sangat nekat itu. “Apakah kau yakin benar-benar akan melakukannya?” Tanya Minerva di sela-sela kami menyusuri Taman Rambla Nova. Yang diteruskannya lagi dengan nasehat seperti biasanya, “Sudahlah. Lebih baik jangan kau lakukan. Itu akan membunuhmu perlahan.” Sejujurnya Minerva benar dan aku memang tak tahu dengan keputusan yang aku ambil itu apakah akan sesuai atau tidak untukku di masa depan, tapi aku hanya tak mau merasa bodoh dan menyedihkan jika aku tidak melakukannya saat itu. Aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku akan melakukannya dan aku sudah menyiapkan segalanya meskipun itu akan sangat berpotensi melukai hatiku. Lagipula aku tidak punya alasan untuk tidak melakukannya. Dan lagi, setiap kali aku mengingat hal tersebut-- semua peristiwa itu, seolah-olah sebuah mata pisau yang tajam sedang dihujamkan ke jantungku berulang-ulang kali. Jika hal tersebut seperti mati, maka mungkin bagiku saat itu sudah tidak akan ada bedanya lagi. Aku berulangkali merasakan aku sudah mati. Jadi aku memutuskan untuk melakukannya.

Pertengahan musim panas:

Aku berada jauh dari Tarragona. Alpujarras benar-benar seperti oase di Padang pasir. Hamparan pertanian yang membentang dari timur ke barat, yang dialiri oleh air yang berasal dari salju yang meleleh di puncak gunung Sierra Nevada, terlihat kontras sekali dengan pemandangan tanah tandus di kaki pegunungannya yang dipenuhi dengan ladang-ladang pohon zaitun dan bangunan-bangunan peninggalan Bangsa Moor. Mungkin ini cara Tuhan menghiburku. Tapi meskipun aku mulai mencintai Alpujarras dan orang-orangnya yang ramah, dan udaranya yang segar kuhirup serta semua pemandangan alam menakjubkan di hadapanku, aku tetap lebih mencintai kota pesisir pantaiku; dimana aku bisa menemukan rumpun bunga biru kecil yang tidak pernah aku dapati tumbuh di Alpujarras.

Seperti lukisan-lukisan beraliran surealis yang menggambarkan simbol-simbol, bunga biru kecil itu adalah simbol bagiku. Aku suka warnanya yang biru. Seolah-olah warna bunga itu menggambarkan perasaan hatiku. Aku suka namanya yang tidak seperti nama-nama bunga pada umumnya. Dan tidak banyak orang yang tahu. Aku suka semua hal tentang bunga itu, seperti aku menyukai kenangan yang ada dibalik nama bunga itu.

Ketika masih di Tarragona, aku sesekali keluar rumah di malam hari dan berjalan di tepi Pantai Arabassada sendirian, menikmati angin pantai yang dingin atau menghabiskan waktu memandangi rumpun bunga biru kecil sambil menulis. Seperti dua sisi mata uang, aku tak hanya mengagumi bunga itu saja tapi sekaligus juga ingin menghapusnya dari penglihatanku. Bunga biru kecil itu membuat aku merasakan segalanya yang terjadi di hidupku, mengarahkan aku pada pertanyaan yang selalu sama yang terus berputar-putar di otakku, pertanyaan yang selalu buntu dan tak bisa ku jawab. Dan kalaupun aku merangkai-rangkai sendiri cerita tentang jawaban dari pertanyaanku, aku selalu merasa tidak puas karena jawaban itu selalu berujung pada satu kata yang tak akan lagi bisa disangkal. Kau tahu apa itu?

Takdir.

Ya! Kata orang-orang, jika sudah takdir maka tidak akan bisa diubah lagi.

Malam hari dipertengahan musim panas:

Selama di Alpujarras aku tak hanya belajar memanusiakan manusia tetapi juga belajar melihat hidupku dari sisi yang lain. Seperti seorang filusuf yang sedang mempelajari aliran para sufi, aku mencoba melihat hidupku dari sisi yang lebih spiritual yaitu lewat kasih sayang Tuhan padaku. Dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatku merasa bahwa Tuhan tidak menyayangi diriku terjawab sudah. Aku tersadarkan dengan padatnya aktivitasku di Alpujarras tepat disaat aku merasa sangat hancur adalah cara Tuhan menyayangiku. Benar kata orang bijak, kesibukan adalah obat untuk kesedihan. Dan aku juga tersadarkan dengan menjauhnya aku dari tanah kelahiranku, dimana tidak kudapati sedikitpun rumpun bunga warna biru yang biasa kulihat tumbuh di Tarragona, nyatanya sukses membuat aku tidak banyak berkhayal tentang masa lalu dan seandainya; dua topik favoritku saat sedang kacau atau terluka. Itu kumaknai sebagai cara Tuhan menyelamatkanku. Bukankah tidak baik terus menerus berkhayal?

Akhir musim panas:

Aku kembali ke Tarragona. Dan aku sudah melupakan tentang rencanaku yang dulu dipertanyakan oleh Minerva. Tapi gelombang perasaan yang mulai hilang ketika di Alpujarras itu, perlahan-lahan muncul kembali. Aku hampir-hampir saja menjadikan lagi kebiasaanku berkhayal masa lalu sebagai aktivitas favoritku jika saja Tuhan tidak memberikan petunjuk-Nya padaku. Ibuku selalu mengatakan bahwa petunjuk adalah dari Tuhan. Maka mintalah pada-Nya.

Maka hari itu aku melihatnya. Kami berada di sebuah pameran lukisan yang ruangannya berbentuk lorong panjang, aku berdiri diujung lorong, dan orang itu pun berdiri di ujung lorong yang lain. Kami berhadap-hadapan, kami sama-sama saling melihat tapi tidak bisa saling mendekat karena jalan kami terhalang oleh banyaknya orang yang juga sedang melihat-lihat lukisan. Kemudian aku terbangun. Hari-hari berikutnya aku merasakan hatiku jauh lebih lapang dan aku semakin yakin bahwa Tuhan sudah memilihkan pilihan-Nya yang terbaik untukku. 

Musim dingin:

Rumpun bunga biru kecil itu sudah mulai menghilang dan hanya tersisa kelopak-kelopaknya yang mulai tertutup serpihan salju. Aku memandanginya, tapi tidak merasa ingin melakukan apapun. Dan tidak juga merasakan perasaan apapun selain bahwa hidupku terasa jauh lebih baik. Seperti salju yang turun menutupi bunga-bunga kecil itu, dalam hati aku pun berharap bahwa Tuhan akan selalu meliputiku dengan kasih sayang-Nya seperti salju dingin yang menutupi rumpun bunga biru kecil itu, yang aku tidak ingin mengatakan namanya.

St. Petersburg, Rusia

Monday, April 17, 2017



St. Petersburg, 2013

Ivanof:

Seperti hari kemarin aku berjalan di belakangnya menjaga jarak. Kupikir aneh melihatnya melakukan segala hal sendirian. Dia mandiri sekaligus abstrak, sulit ditebak dan bagaikan papan puzzle yang rumit dan membingungkan. Menurutku dia benar-benar tipikal perempuan perkotaan. Cerdas, tangguh sekaligus angkuh.

Di kota sebesar St. Petersburg yang dijuluki Venesia dari utara ini rupanya aku tak hanya terpesona dengan bangunan-bangunan pinggir kanalnya yang megah dan bergaya renaissance kuno peninggalan abad 19 saja, tidak juga dengan Museum Hermitage yang menyimpan ribuan koleksi karya seni patung dan lukisan para seniman terkenal seperti Rembrant atau Van Gogh, ada yang lebih menarik minat dan perhatianku di sini; gadis Rusia yang angkuh itu. 

Aku sudah sering kali mendengar bahwa rata-rata orang Rusia memang jarang tersenyum terutama kepada orang asing yang belum dikenal. Kehidupan masa lalu negara komunis yang sekarang telah merubah sistem pemerintahannya menjadi federal yang di penuhi dengan perang dan pertumpahan darah di masa lalunya itu, mungkin telah mempengaruhi sisi psikologis masyarakatnya menjadi lebih muram dan mudah curiga sehingga mereka menjadi seperti itu

Tapi, itu semua seharusnya hanya berlaku untuk orang asing. Sementara kami bukanlah orang asing. Apalagi di negeri kami sendiri. Dia sudah mengenalku semenjak tiga tahun belakangan ini. Bahkan aku sendiri saja tahu nama lengkapnya, aku kenal kedua orangtuanya dan aku pernah datang ke rumahnya untuk makan vatrushka, sejenis kue bolu berbentuk bulat yang berisi keju, gula, dan selai buah khas negeri kami, Rusia.

Ketika di suatu sore kami berpapasan di tangga kwartira (flat) yang kami tinggali, ekspresi wajah gadis itu datar dan tanpa senyuman. Misterius tak terbaca seperti biasanya. Mungkin karena itu juga aku jadi ragu-ragu untuk menyapanya. Dia terlihat muram. Namun, tanpa ku sangka-sangka, ternyata semua orang di kwartira telah memaklumi ekspresi hampanya itu, yang secara jujur ku akui memang terlihat cukup menjengkelkan.

Kata orang-orang, dia memang sudah seperti itu dari awal kedatangannya ke kwartira. Terlebih lagi dia seorang gadis Rusia. Peraturannya memang demikian; Gadis Rusia memang jarang tersenyum. Tapi aku tidak bisa menerima peraturan yang aneh itu karena orang-orang di kwartira tidak tahu tentang kami sebelumnya. Seperti mata yang hanya melihat luarnya saja, seperti itulah mata orang-orang di kwartira melihat kami; dua orang asing yang tidak saling mengenal.

Menyesal adalah ketika kau tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk hal yang sama dalam hidupmu. Selama kurang lebih dua tahun sejak kami tinggal di kwartira yang sama, rupanya aku tidak hanya diliputi oleh rasa penyesalanku yang mendalam atas apa yang telah kulakukan padanya di masa lalu tetapi juga sejuta rasa penasaran yang selalu saja menghantuiku di setiap aku melihat gadis Rusia itu melintas di hadapanku. 

Dia berubah.

Dia tidak lagi seperti gadis Rusia yang dulu aku kenal dengan senyumnya yang selalu mengembang, kesukaannya yang berlebihan pada boneka matryoshka, bunga-bunga atau Beruang Siberia. Atau mungkin inilah dia yang sebenarnya? Dingin dan beku - seperti St. Petersburg yang pertengahan September ini baru memasuki musim penggugur. Cuaca berada di kisaran 3 derajat celcius dan mungkin akan semakin turun mengingat musim dingin tinggal beberapa minggu lagi. 

Aku berjalan di atas jembatan yang membentang di sepanjang aliran Sungai Neva, mengenakan topi dan sarung tanganku yang tebal dan kulihat gadis Rusia itu ada di sana, sedang menggambar sesuatu di buku sketsanya.

“Apa yang kau gambar?” tanyaku; seolah-olah aku lupa dengan sikapnya yang seperti es batu; dingin dan beku. Dia menoleh sekedarnya dan ekspresi muram itu tetap ada disana; tercetak di wajahnya yang pilu.

“Jejak kaki,” jawabnya sambil meneruskan lagi menggambar sketsa. Lama aku berdiri di sampingnya dia tetap membisu. Kebekuannya membunuhku.

“Kenapa?” Aku mengalah dan dia baru menanggapi pertanyaanku ketika sebuah tour boat lewat di bawah jembatan sekitar dua menit kemudian.

“Semacam renungan yang seharusnya dipikirkan oleh sebagian orang.” Kata gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Sungai Neva. 

“Aku tak mengerti.” 

Gadis Rusia itu lantas menghela nafas; satu-satunya bagian dari dalam dirinya yang masih aku kenali setelah hampir dua tahun belakangan ini dia seperti orang asing bagiku.

“Ada orang-orang yang ketika dia pergi meninggalkan jejak yang begitu berkesan di hati kita. Dan ada pula orang-orang yang ketika dia pergi, membuat kita begitu ingin meninggalkan jejak kaki kita di muka mereka. Itu untuk yang kedua.”

Aku tercengang tak percaya. Gadis Rusiaku yang dulu manis dan polos, kecil dan rapuh - ternyata sinis dan sarkastik. Aku tertawa; campuran antara penyesalan dan rasa bersalah. Namun, gadis itu masih bertahan dengan ekspresi muramnya menatap Sungai Neva.

“Oke. Apakah itu tandanya kau masih membenciku?'' tanyaku mulai khawatir karena dia rupanya tidak sedikit pun tertawa seperti aku.

“Tidak,” jawabnya datar. 

Ekpresi wajahnya lagi-lagi tak terbaca. Matanya gelap dan dalam seperti malam pekat yang panjang.

Diam-diam aku berharap itulah jawaban jujur darinya. Bahwa dia benar-benar sudah memaafkanku. Lalu tiba-tiba gadis itu beranjak pergi dan mulai menjauh meninggalkan aku yang masih terpaku di atas jembatan dengan membawa buku sketsanya yang belum selesai.

“Irina!” panggilku ditengah-tengah suaraku yang parau akibat udara dingin St. Petersburg. 

Gadis itu tetap pada pendiriannya. Sekeras apapun aku memanggilnya, gadis itu tetap berjalan dan tidak menoleh atau berhenti sedetik pun untuk melihatku. Aku tidak mengerti apa yang ada dipikirkannya saat itu. 

Keesokan harinya saat aku terbangun di kwartiraku, aku masih teringat kata-kata Irina yang sepanjang malam terus menerus menghantui pikiranku: “Ada orang-orang yang ketika dia pergi meninggalkan jejak yang begitu berkesan di hati kita. Dan ada pula orang-orang yang ketika dia pergi, membuat kita begitu ingin meninggalkan jejak kaki kita di muka mereka. Itu untuk yang kedua.”

Itu untuk yang kedua. Itu untuk aku.

Montana

Thursday, March 16, 2017


Montana, 2011 

Tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyukai Montana. Sebuah negara bagian di utara Amerika yang terkenal dengan peternakan kudanya. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hidupku tumbuh dan besar disana, menghirup udaranya yang bebas, menapaki setiap jengkal padang rumput tempat kami menggembalakan kuda-kuda dan bahkan mendaki gunung-gunungnya yang kaya akan mineral. Tentu saja tanpa sepengetahuan ayahku. 

Hampir semua orang di Montana adalah para petani atau peternak kuda yang mempunyai peternakan dan ladang-ladang gandum (winter wheat) yang luasnya mencapai puluhan hektar. Selain itu, Montana juga memiliki Yellowstone National Park; Taman Nasional tertua di dunia yang telah disinggahi oleh jutaan pengunjung semenjak pertama kali di buka pada tahun 1872. Yang tak hanya menawarkan keindahan pemandangan alami tetapi juga tempat-tempat eksotis, suasana romantis sekaligus kesempatan penuh untuk berpetualang di alam bebas pada satu tempat sekaligus. 

Namun meskipun Montana begitu indah dan terkenal dengan Yellowstone National Park-nya yang mendunia, ternyata tanpa sepengetahuanku, Montana diam-diam menyimpan sebuah kutukan yang selama ini selalu disembunyikan oleh kedua orangtuaku, yang baru saja terungkap akhir-akhir ini ketika keinginanku untuk memberontak sedang bergejolak.

Selama aku hidup dan tumbuh di Montana, aku baru menyadari bahwa ternyata semua aspek kehidupanku di sini hanya berputar diantara orang-orang yang sama, gunung-gunung yang tinggi menjulang dan peternakan-peternakan kuda serta ladang-ladang gandum warisan keluarga. Seperti orang-orang yang mungkin juga terkena kutukan tempat tinggal kami, ayahku yang paradoks suatu hari mengatakan padaku dengan cukup jelas bahwa sebagai anak pertama, akulah yang harus mengelola peternakan kuda milik keluarga kami meskipun aku tidak menyukainya. Saat itu, aku ingin sekali pergi meninggalkan Montana, tanah kelahiranku. Kalau bisa dalam waktu yang sangat lama. 

Sebenarnya, aku sudah mengetahui dari ibuku bahwa alasan utama dibalik itu semua adalah karena ayahku yang super protektif itu tidak ingin aku yang merupakan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Jennings dan tidak mahir bela diri ini terpisah jauh dari mereka. Menurut ayahku, menjadi peternak kuda tidak akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga seperti menjadi pekerja kantoran yang harus lembur atau pulang malam. 

Sejujurnya aku sangat kecewa dan ingin melancarkan protes keras atas keputusan ayahku yang semena-mena itu. Meskipun jauh dilubuk hatiku, aku sendiri sebenarnya menyadari sekali bahwa apa yang mereka lakukan kepadaku adalah bentuk kasih sayangnya yang teramat dalam agar aku hidup senang dan nyaman. Tapi, tetap saja aku mempunyai keinginan yang menurutku lebih besar dan lebih mulia dibandingkan dengan hanya mengurusi kuda-kuda di Montana. Aku ingin menjadi pekerja kantoran atau dokter atau apapun - asalkan tidak menjadi peternak kuda seperti kedua orangtuaku. 

Lalu, tanpa terasa tahun-tahun berganti dan takdir pada akhirnya membawaku pada titik ini; titik dimana aku tidak lagi memikirkan untuk pergi dari Montana karena aku sibuk mengurusi peternakan dan hobi berkudaku.

Pagi itu aku mencoba pergi berkuda ke sebuah padang rumput terbuka yang agak jauh dari tempat aku biasa berkuda. Ketika satu jam kemudian kuda Amerika berwarna hitam yang kubawa dan belum kuberi nama itu tiba-tiba menjadi sulit dikendalikan sehingga aku terpaksa turun dari pelana dan menautkan tali kekangnya pada sebuah pohon dengan susah payah. Aku tak mungkin membawa kudaku kembali ke peternakan dalam keadaan mengamuk seperti itu. Maka, aku pun berjalan menyusuri jalanan yang sebelumnya aku susuri untuk mencari pertolongan. Tetapi rupanya kudaku sudah membawaku berlari begitu jauh dari rumahku.

Ketika aku mulai kelelahan berjalan di tengah-tengah terik matahari yang mulai mengganas, tiba-tiba dari jarak yang tidak terlalu jauh aku mendengar suara langkah kaki kuda di belakangku. “Apakah ada yang bisa ku bantu, Nona?” tanya si penunggang kuda yang memakai topi laken berwarna coklat dan rompi dari kulit rusa saat jaraknya cukup dekat denganku. Aku menoleh ke arahnya. Seorang koboi yang sedang menggenggam tali kekang kudanya yang hitam menawariku bantuan. 

Hari-hari berikutnya dia muncul begitu saja di peternakanku dengan kuda jenis thoroughbred dan senyum Amerikanya yang entah bagaimana terlihat sempurna di mataku. Dan juga masih dengan topi laken dan rompi kulit rusanya yang meskipun sederhana namun terlihat sesuai di badannya. Hari-hari berikutnya dia datang lagi ke peternakan dan mulai mengajakku pergi berkuda ke sebuah padang tandus di kaki perbukitan Montana. 

Dia mengatakan padaku bahwa dia sering pergi berkuda ke tempat tersebut setidaknya tiga kali dalam seminggu untuk latihan memanah atau menembak. Ketika kami pulang di sore hari, dia lalu menyempatkan diri turun dari kudanya dan mengantarkanku sampai ke gerbang pintu meski aku tidak meminta. Dan baru pergi ketika aku sudah tidak terlihat lagi olehnya. Tapi kemudian timbul pertanyaanku. Dan kebingunganku yang mendalam tak bisa ku terjemahkan ke dalam puisi manapun. 

Aku seperti menentang diriku sendiri. Seperti ada yang salah. Atau apakah ini terlalu cepat? 

Yang mudah datang akan mudah pergi. Begitulah yang ku dengar dari orang-orang saat mereka melihat laki-laki bertopi koboi dan berompikan baju dari kulit rusa itu datang kembali beberapa hari kemudian setelah hampir beberapa bulan ini dia selalu menemaniku untuk latihan berkuda. Hari itu dia menjanjikan akan mengajakku ke perbatasan Montana. Tempat yang paling jauh dari tempat-tempat yang sudah pernah kami jelajahi. Namun setelah satu hari perjalanan yang ditempuh tak juga membuat kami sampai di tempat yang kami tuju, aku memberanikan diri bertanya,

“Menurutmu, kapan kita akan sampai?” Dan kenyataan yang ku terima adalah kami tidak akan pernah bisa sampai di perbatasan Montana; yang kata orang-orang adalah ujung dari segalanya. 

Yang mudah datang akan mudah pergi. Persis seperti yang dikatakan orang-orang sebelum aku menyangkal kata-kata mereka dengan segala keyakinanku yang keras seperti batu.

Aku masih mengikutinya yang tiba-tiba mulai berlari memacu kudanya. Aku menarik tali kekangku dan mulai melakukan hal yang serupa. Tetapi lama kami berlari, dia tidak sedikit pun berhenti bahkan ketika aku memohon. Lalu kemudian waktu seolah-olah membeku dan aku melihat diriku sedang berbicara di depan cermin, “Kenapa aku harus berlari?” Dan pertanyaan itu menarikku kembali ke dunia nyata - di sebuah tanah tandus di suatu tempat yang asing bagiku. Saat itu aku dapat merasakan hatiku yang letih mulai berdarah. Aku memutuskan untuk berbalik dan pergi berlari dengan kudaku – menjauh dari orang yang menjanjikan aku tiba di perbatasan Montana. 

Aku ingin segera sampai di rumah untuk mengobati hatiku yang sakit dan terluka. Angin kering yang bercampur dengan emosiku mengibarkan rambutku yang terurai ke belakang. Aku bisa merasakan dia melihatku dan mulai berbalik untuk mengejar. Tapi kemudian aku merasa tidak ingin sedikit pun untuk berhenti atau melihatnya yang sedang memanggil-manggil namaku. Dan ternyata memaafkan manusia tidak semudah jika mengucapkannya. Aku semakin cepat memacu kudaku, meninggalkan semua kesedihanku yang tak ingin lagi aku ingat. Saat itu aku berjanji bahwa aku tidak akan pernah lagi pergi meninggalkan Montana.

Tembok yang Akhirnya Runtuh

Wednesday, December 28, 2016

Aku sengaja menulis kisah ini dari sudut pandang seseorang yang tidak mirip dengan sudut pandang siapapun kecuali diriku sendiri.


Dua minggu telah berlalu semenjak pertama kali rombongan kami menginjakan kaki di Desa Awan. Meskipun lokasi desa tersebut tidak tercantum di peta dan terletak jauh di puncak bukit, aku mendapati diriku diliputi rasa senang, alih-alih perasaan khawatir terpisah dari peradaban modern. Dilihat dari lokasi alamnya yang indah dan damai, aku sudah memperkirakan bahwa aku akan cukup senang tinggal disana. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa aku datang ke Desa Awan tidak sendiri melainkan bersama serombongan teman-teman baru, yang pasti akan menimbulkan suasana berisik alih-alih perasaan tentram.

Rombongan kami berjumlah lima belas orang yang terdiri dari lima orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan. Aku belum begitu mengenal mereka kecuali hanya beberapa orang saja. Lagipula aku bukan jenis perempuan yang senang berbasa-basi. Aku bisa saja berbasa-basi jika aku mau. Tapi aku jarang repot-repot untuk melakukannya. Itu bukan sifatku.

Maka, siang itu pun berjalan seperti biasa. Aku duduk di pojok ruangan tamu menghadap layar laptop dan tenggelam dalam kesibukanku sendiri, sebelum akhirnya, konsentrasiku pecah berkeping-keping dikarenakan suara ribut orang-orang disampingku yang tertawa-tawa. 

“Apa mereka tidak punya rasa tanggung jawab?” batinku murka. Mengingat program-program kerja kelompok kami yang belum selesai. Aku berusaha menghilangkan kedongkolanku dengan mengabaikan keseruan teman-teman baruku yang gila itu. Namun aku bisa melihat dengan jelas, bahwa teman-teman wanitaku kentara sekali, pada saat itu, sedang mencari perhatian seseorang yang juga ada di situ. Nada suara yang lebih tinggi dari biasanya adalah salah satu pertanda.

Dan siapa lagi kalau bukan dia yang menjadi target incaran teman-temanku; Si Tuan Tebar Pesona itu. Yang duduk terentang jarak lima meter dariku. Yang diam-diam menjadi idola baru kaum hawa penghuni posko. Aku bersyukur aku tidak ngefans padanya. Dan bersyukur bahwa aku tidak konyol seperti teman-temanku yang haus perhatian.

Dari tempat dudukku, aku bisa mendengar Si Tuan Tebar Pesona merangkai kata-katanya. Dia memuji salah seorang temanku yang hari itu rambutnya diurai alih-alih diikat seperti biasa.

Dan seperti kebanyakan wanita yang mendapat pujian, temanku yang sebenarnya ngefans berat padanya itu pura-pura menanggapi pujiannya dengan sikap jual mahal yang dipikirnya sempurna. Tapi karena senyum di wajahnya yang tak juga hilang, aktingnya jadi sia-sia.

“Palingan sama perempuan lain ngomongnya juga begitu.” ucap temanku masih pura-pura jual mahal, cuek dan tidak peka alih-alih mengucapkan terimakasih.

“Tapi semua perempuan memang cantik.” balas si Tuan Tebar Pesona dengan percaya diri. Pasti zodiaknya Leo. Kecil kemungkinan kalau dia single, batinku curiga. 

“Termasuk nenek-nenek yang sudah tua dan keriput?” Tanya perempuan lain yang juga ngefans sekaligus cemburu pada waktu yang bersamaan.

“Oh tentu saja. Asal yang lihatnya kakek-kakek.”

Persaingan memperebutkan Tuan Tebar Pesona semakin sengit setiap harinya di kalangan perempuan penghuni posko. Dari mulai modus minta tolong sampai menawari bantuan dan memasak makanan semuanya lengkap. Mungkin, satu-satunya perempuan single yang tidak tertarik untuk ikut terlibat di dalamnya hanyalah diriku. Dari lima orang laki-laki yang ada di posko, fans terbanyak dimiliki oleh Tuan Tebar Pesona meskipun dia biasa saja. Tidak ganteng seperti Theo James atau keren seperti Channing Tatum.

Setelah mengamati laki-laki itu beberapa hari, terlepas dari statusnya yang masih misteri, kepribadiannya ternyata cukup menarik, karena dia ceria, ramah dan humoris. Pantas saja fans-nya banyak. Aku suka laki-laki humoris tapi bukan laki-laki genit dan iseng seperti dia. 

Akhirnya beberapa hari kemudian, misteri tentang status Tuan Tebar Pesona terkuak secara tidak sengaja. Ketika aku hendak mengambil dompetku yang tertinggal di dalam kamar, aku mendengar suara laki-laki itu dari balik jendela kayu yang ditutup rapat. Rupanya dia sedang mengobrol di telepon dengan pacarnya. Tidak perlu kujelaskan lebih lanjut bagaimana kata-katanya karena ternyata kecurigaanku selama ini terbukti benar. Bahwa dia itu seratus persen laki-laki iseng. Kelakuannya tidak perlu untuk ditanggapi dengan serius.

Aku tidak tahu apakah para fans beratnya sudah mengetahui rahasia ini ataukah belum. Atau jangan-jangan mereka tidak peduli? Apapun jawabannya itu bukan urusanku. Jadi, hari-hari berikutnya aku menjalani kehidupanku seperti biasa. Duduk di pojok ruangan tamu, mengotak-atik laptopku, sibuk dengan duniaku sendiri atau sesekali mengobrol dengan beberapa orang jika aku mau. Bisa dibilang sikapku ini minimalis sekali. Tapi aku tidak peduli.

Setelah menghabiskan lebih dari dua minggu berada di dalam satu atap dengan anggota rombongan, aku berani mengatakan bahwa meskipun aku ini perempuan sejati, tapi jiwaku cenderung maskulin alih-alih feminin. Bukan dalam artian tomboy atau hobi berkelahi dengan preman dan mafia. Bukan. Bukan jenis maskulin yang seperti itu. 

Tapi, bisa dibilang aku adalah tipe perempuan yang jarang merepotkan orang lain, tidak suka jadi pusat perhatian, cenderung serius dan mungkin agak sedikit misterius karena jarang sekali butuh bantuan siapapun, seperti pagi ini, ketika aku mengajak temanku untuk berbelanja makanan di warung dekat sekolah. Kebetulan saat itu, Tuan Tebar Pesona sedang duduk berdua dengan dia. Dari mimik mukanya, temanku itu sepertinya enggan. Padahal biasanya dia semangat sekali kalau kuajak belanja. Jadi, dia malah melontarkan alasan yang ditelingaku terdengar palsu alih-alih mengiyakan ajakanku. Dia bilang sedang tidak enak badan. Tapi tentu saja aku tidak percaya. Begitupun ketika aku mengajak teman-temanku yang lain yang sedang berkumpul di dekat Tuan Tebar Pesona, semuanya menolak. Akhirnya, aku pergi sendiri sambil menenteng tas belanjaan. Tidak masalah jika tak ada yang mau ikut denganku. Aku bisa pergi sendiri.

Ketika aku pulang berbelanja dan hendak menyimpan kantong belanjaanku di dapur, Tuan Tebar Pesona memanggilku. Aku tidak khawatir dia bakal menunjukan kelakuan isengnya lalu membuatku grogi atau salah tingkah, karena aku tidak naksir padanya.

“Kamu meninggalkan sesuatu ketika tadi pergi ke warung.” 

“Meninggalkan apa?”

“Hatiku.” Jawabnya iseng. 

Masih dengan senyum jahil yang menggemaskan terlepas dari statusnya yang disayangkan. Tapi, memang sudah pembawaanku yang cenderung serius dan waspada, alih-alih terpesona atau pura-pura tidak peka, aku malah menanggapinya dengan dingin “Oh, pantas saja kantongku berat. Ini ku kembalikan padamu.” Jawabku sambil menyerahkan kantong belanjaan padanya. Alih-alih langsung membalas perkataanku dia malah terpana. Dia pasti speechless. Sepanjang sisa hari itu, kapanpun kami berpapasan dia pastilah akan tersenyum padaku yang dimataku terlihat seperti menyeringai.

Tapi, tentu saja aku tidak bodoh. Senyumnya itu, selain dikarenakan mengingat kekonyolannya sendiri, pastilah karena sudah tidak sabar ingin membalas perlakuanku yang tadi sudah membuatnya terlihat bodoh.

Hari-hari berikutnya, dia berubah menjadi laki-laki iseng yang menyebalkan sekaligus sangat perhatian. Terlepas dari statusnya yang sudah punya pacar, perhatiannya padaku memang menjerumuskan. Dia bisa tiba-tiba datang ke tempatku melaksanakan praktek meskipun jaraknya cukup jauh, hanya untuk sekedar menjemputku pulang naik motornya. Atau sekedar iseng menengok keadaanku disana. Dia benar-benar menyebalkan. Apalagi kedatangannya selalu membuatku jadi pusat perhatian dan sumber rasa sirik anggota rombongan yang lain yang ngefans padanya.

“Ngapain datang?” tanyaku judes dan terkejut ketika melihatnya muncul di tempat praktekku. Dia menyeringai.

“Nengokin kamu.” Jawabnya asal sambil mengikutiku.

“Siapa juga yang sakit,” balasku masih dengan sikap judes. Tapi laki-laki menyebalkan itu hanya tertawa.

“Pulangnya aku jemput, ya,” ucapnya. Tak peduli bahwa kata-katanya barusan membuat sejumlah fans beratnya patah hati. Begitulah selama berminggu-minggu. Dia tak henti-hentinya mengganggu kehidupanku. Meskipun sejujurnya dia lebih banyak terlihat menggemaskan alih-alih menyebalkan, aku mengingatkan pada diriku sendiri bahwa dia hanya teman. Dia sudah punya pacar dan aku tidak berminat untuk merusak hubungannya. Jadi, meskipun dia sangat perhatian, aku tak perlu menanggapinya dengan serius.

Rupanya sikapku yang demikian diterjemahkannya sebagai tantangan alih-alih kedewasaan, karena ternyata, dia tidak menyerah dengan mudah. Ketika semua perhatian-perhatiannya kutanggapi dengan biasa, disitulah dia mulai berbagi cerita tentang kehidupannya denganku. Karena dia tahu aku mementingkan kejujuran dan menyukai pria yang jujur, dia mengatakan padaku bahwa dia sebenarnya sudah memiliki pacar yang tinggal di luar kota dan jarang bertemu. Intinya, hubungan mereka sudah renggang. Dan tinggal menghitung hari.

Sebagai seorang perempuan yang mempunyai akal sehat, tentu saja aku tidak boleh langsung percaya dengan kata-katanya. Lagipula, dia itu laki-laki. Dan bisa saja bersikap licik. Jadi akhirnya, percakapan tersebut berakhir dengan dia yang berulang kali meyakinkanku bahwa pacarnya memang benar-benar jauh dan hubungannya tinggal menghitung hari yang kutanggapi dengan tawa skeptis.

Jika melihat kelakuannya, sulit untuk percaya bahwa dia menjalani hubungan jarak jauh dengan pacarnya, kecuali, jika hubungan mereka sudah mencapai kurun waktu bertahun-tahun. Jika hubungan mereka sudah mencapai kurun waktu bertahun-tahun, sangat kecil kemungkinan baginya untuk meninggalkan pasangannya. Kalaupun dia mengatakan hubungannya tinggal menghitung hari, itu semua bisa saja dusta. Atau mungkin dia hanya bosan. Tapi tidak berniat putus. Dan akan kembali jatuh cinta ketika bertemu lagi dengan pasangannya di kemudian hari.

Aku ngeri membayangkan masa depan diriku jika sampai jatuh ke dalam perangkapnya. Meskipun dia baik dan hubungannya tinggal menghitung hari, itu bukanlah alasan yang pantas untuk menyuruh atau menunggu dia putus dari pacarnya. Laki-laki haruslah bertanggung jawab atas pilihannya dan tidak sepantasnya dipengaruhi oleh siapapun dalam mengambil keputusan penting untuk hidupnya.

Meskipun aku setuju bahwa jatuh cinta itu perkara hati, tapi kenyataannya, aku tetap saja menggunakan akal sehatku saat hal tersebut terjadi. Sehingga ketika laki-laki itu berulang-kali meyakinkanku dengan segala macam cara tentang hubungannya yang akan berakhir. Serta menghujani aku dengan berbagai perhatian yang menjadi sumber kesirikan fans beratnya, aku nyatanya bisa mengabaikannya dengan mudah. Dan tetap berpegang teguh pada prinsipku: If someone makes you as a choice. Treat him the same way. 

Hari-hari berikutnya, aku tetap menjalani kehidupanku seperti biasa. Aku masih berkenalan dengan orang lain, terutama laki-laki lain. Aku tidak lantas menutup hatiku hanya karena Si Tuan Tebar Pesona itu sangat perhatian padaku dan mengatakan hubungannya akan segera berakhir. Ketika di suatu malam, seusai aku mengobrol lama di telepon dengan salah seorang teman dekat laki-laki, dia menghampiriku dan bertanya siapa yang baru saja meneleponku dengan nada penasaran. Wajahnya tersenyum saat bertanya. Tapi, aku tidak bodoh. Aku bebas dekat dengan siapapun. Lagipula, dia bukan pacarku.

Akhirnya, pada suatu hari, kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang setelah beberapa hari sebelumnya disibukan oleh berbagai macam program kerja yang harus segera diselesaikan.

“Baiklah, aku mengaku sekarang. Aku tidak menjalani hubungan jarak jauh dengan pacarku.” Katanya tiba-tiba. Lalu cerita yang berbeda mengalir dan bermuara pada ending yang sama seperti kemarin; bahwa hubungannya akan segera berakhir alih-alih sudah resmi berakhir.

Mungkin dia pikir, setelah mendengar ceritanya, aku akan terharu dan berubah jadi pahlawan yang menyelamatkannya dari hubungannya yang buruk itu. Entah dengan menyemangati atau menunggunya jadi pacarku suatu saat nanti. Tapi, tentu saja itu tidak akan pernah terjadi. Aku tetap bersikeras pada pendirianku bahwa dia hanya teman. Dan bahwa inilah yang kuinginkan.

Kenyataan bahwa aku begitu keras kepala membuatnya merenung. Sikapnya berubah. Selama beberapa hari setelah percakapan tersebut, kami jarang sekali berbicara satu sama lain. Dan itu berlangsung hingga berminggu-minggu lamanya. Hingga akhirnya, pada suatu hari, aku mengetahui bahwa dia benar-benar sudah putus dari pacarnya. 

Saat itu aku masih dekat dengan laki-laki lain yang sering meneleponku hampir setiap malam. Dan teman-temanku mendukung kedekatan kami. Namun, dilihat dari sudut pandang manapun, aku sebenarnya tidak cinta padanya. Laki-laki itu memang baik, humoris dan selalu membuatku tertawa dengan leluconnya. Tapi, lama kelamaan aku bosan. Meskipun aku suka laki-laki yang humoris, aku lebih suka laki-laki yang serius. Dan lagi, laki-laki itu memang tidak jelas tujuannya. Sepanjang kami mengobrol, dia hanya bercanda. Tidak lebih. Dan akhirnya, hubungan kami kandas bahkan sebelum di mulai.

Di tengah kebosanan yang melanda, hubunganku dengan Tuan Tebar Pesona membaik. Dilihat dari sikapnya yang kini lebih dewasa, dia sudah tak lagi pantas diberi julukan Tuan Tebar Pesona. Kami mulai berbincang sedikit demi sedikit meskipun masih canggung. Hari-hari berikutnya aku semakin banyak menghabiskan waktuku bersamanya. Entah itu jalan-jalan atau piket bersih-bersih.

Dan ketika suatu hari aku memerlukan bantuannya dalam menyelesaikan program kerja yang kurancang, dia mengajukan syarat yang sebenarnya gampang tapi tak bisa kupenuhi.

“Oke. Asal hari ini kamu masakin oseng-oseng tempe asem manis buatku.” pintanya.

"Oseng-oseng tempe? Aku nggak bisa,” ucapku menolak. Tapi laki-laki itu memang pintar. Dia tidak kehilangan akal.

“Kalau kamu tidak bisa, biar aku yang mengajari.” 

Dan jadilah hari itu kami memasak berdua di dapur. 

Hari-hari berikutnya, perhatiannya semakin jelas terlihat. Jadi waktu itu aku sedang memasak nasi goreng satu wajan penuh di dapur. Entah darimana datangnya, laki-laki itu sudah berdiri disampingku ketika aku sedang fokus mengaduk bumbu.

“Perlu ku bantu?” tanyanya yang langsung ku tolak. Bukan karena aku tak suka padanya. Tapi lebih dikarenakan perasaan tak enak jika sampai merepotkannya. Aku terbiasa mandiri. Namun, laki-laki itu rupanya tidak menyerah dengan mudah meskipun sudah kutolak.

“Aku tahu kamu bisa sendiri. Tapi, biar aku saja. Karena kamu spesial.” Katanya sambil mengambil alih spatula yang sedang ku genggam. Dan, seiring dengan berjalannya waktu, laki-laki itu berubah sikap menjadi lebih memahamiku. Dia tahu aku bukan tipikal wanita yang bisa dekat “hanya dengan siapapun.” Dan dia mengatakan itu padaku ketika kami sedang makan pada suatu hari. Aku mengiyakan dan merasa senang karena dia pintar. Setelahnya, tidak sulit bagi kami untuk menggolongkan status kedekatan kami. Akhirnya, meskipun aku tidak pernah tahu kapan tepatnya kami jadian tapi kami bahagia.

Surat dari Jarak

Sunday, December 25, 2016



Untukmu;
Seseorang Yang Membenci Jarak

Orang-orang bilang mereka membenciku. Sama seperti dua orang asing yang kutemui di stasiun kereta tadi malam, saat aku bersiap-siap mendatangi rumahmu demi melaksanakan misi dari Tuhan. Dua orang itu saling membisiki, “Sungguh, denganmu aku lebih memilih tidak berjarak. Jarak ini semoga Tuhan cepat menghapusnya. Aku akan segera kembali dan menggenapkan rindu kita yang separuh.” 

Kalau boleh memilih aku tidak ingin menjadi jarak. Untuk dua orang di stasiun kereta tadi dan juga untukmu; seseorang yang tadi pagi kulihat tengah duduk di jendela sambil melamun. Dari wajahmu, aku tahu jika kamu pastilah sedang menyembunyikan sesuatu. 

Sepanjang sisa pagi itu aku memperhatikanmu dari kejauhan, mengawasi semua gerak-gerikmu yang gelisah. Dan benar saja firasatku, aku segera dapat melihat apa yang sedang kamu lihat pagi itu. Seseorang yang selama ini selalu memenuhi pikiranmu. Tujuh hari dalam seminggu. Tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun.

Laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan kemeja warna birunya yang terlihat seperti langit di musim semi. Kamu memandangnya sekilas sebelum mengalihkan tatapanmu pada benda apapun yang bisa dijadikan topeng persembunyian. Aku tahu, kamu sangat khawatir jika orang-orang tiba-tiba saja bisa membaca matamu. 

Meskipun hatimu pilu karena menahan rindu, pada akhirnya kamu menyerah saat laki-laki itu mengulurkan tangannya padamu. Aku tertawa gembira melihatmu diam-diam bahagia. Dan aku enggan menjadi diriku – jarak yang hendak memisahkan antara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru.

Tapi kemudian, aku dapat merasakan hatimu kembali berubah pilu. Aku mengamatimu semakin dalam. Lantas berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan kamu ataupun laki-laki berkemeja warna biru. Kecuali bahwa, pada akhirnya, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menakdirkan laki-laki itu untuk jadi milikmu. Maaf jika aku sudah lancang menyampaikan ini padamu.

Manusia tidak bisa menghindari perasaan yang mereka miliki, yang bisa mereka lakukan hanyalah mengendalikannya. Begitulah akhirnya dirimu. Aku tahu hal ini sangat sulit. Tapi, sudahlah. Biar kuceritakan padamu, bahwa tidak ada gunanya membicarakan hal-hal yang sudah terjadi. Seperti menabur garam di atas luka. Hanya akan membuatmu bertambah pedih.

Pagi itu kamu terus dihantui pertanyaan yang mengusik nuranimu sekaligus membuatmu merasa tertantang untuk melakukannya. Kamu bisa saja berbuat nekat dan egois. Dan laki-laki berkemeja warna biru yang diam-diam sering menatapmu itu lambat-laut akan mulai buta. Lalu, seseorang yang lain di luar kalian akan mengurai airmatanya karena rasa cintanya yang besar berubah menjadi rasa benci dalam seketika.

Demi hatimu yang mudah rapuh itu, kamu tentu tidak akan sanggup bersenang-senang diatas penderitaan orang lain, bukan? Kamu tidak mungkin bahagia.

Tuhan Maha Pengasih. Dia pasti sudah mempersiapkan jalan keluarnya bagimu. Dan tanpa kusadari, jalan keluar itu adalah aku – jarak yang banyak orang membencinya.

Maaf jika hari ini aku mulai merentangkan jarak diantara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru. Jika hari ini kamu tak melihatnya dimanapun, percayalah bahwa Tuhan sudah menakdirkan yang terbaik untukmu. Bahkan juga untuk perempuan lain yang saat ini sedang menemaninya yang terbaring lemah di rumah sakit; yang adalah benar-benar pasangan tulang rusuknya.

Kamu terluka, aku tahu. Tapi satu yang harus kau ingat; Bahwa tidak semua laki-laki ditakdirkan untuk menikah dengan wanita yang paling mencintainya. Oleh karena itu, hapus airmatamu. Dan tegakan kepalamu. 

Aku berdoa untukmu semoga jarak yang kurentangkan diantara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru sanggup menghapus satu demi satu rasa cintamu padanya. Semoga jarak ini mengobati luka-luka hatimu. Dan semoga kamu pun sama sepertinya, segera menemukan seseorang yang tepat di hidupmu, yang mengakuimu sebagai tulang rusuk miliknya. Dan yang akan menjadi tulang punggung keluarga kecilmu nanti. Abadi. Selamanya. Hingga suatu saat nanti, saat kalian kembali, kalian bersama menjadi tulang belulang dalam naungan kasih sayang-Nya.


Dari Jarak;


Yang Diam-Diam Mengasihimu

Kisah yang Sederhana



Senin pagi di tahun 1997

Pagi masih berkabut dan seorang ibu muda sedang menyiapkan anaknya yang berumur lima tahun untuk pergi ke sekolah. Memakaikannya seragam, mengepang rambutnya dan memasukan beberapa buku tulis serta pensil dan penghapus ke dalam ransel bergambar sinteron yang saat itu tengah hits di tahun 90an. 

Sebenarnya anak itu belum cukup umur untuk masuk sekolah dasar. Tapi anak itu selalu nampak semangat jika ibunya menanyakan apakah dia mau masuk sekolah tahun ini ataukah tidak. Yang akan langsung dijawab oleh anaknya itu dengan sorak sorai, “Aku ingin sekolah, Bu. Ingin sekolah!” Maka pagi itu adalah pagi yang bersejarah untuk mereka. 

Atmosfir tahun ajaran baru selalu seperti itu. Selalu ada seragam-seragam sekolah yang baru. Tas-tas dan sepatu baru. Dan para ibu yang sibuk mempersiapkan anak-anaknya masuk sekolah untuk yang pertama kalinya. Dan, ya, ibuku adalah salah satunya. Pagi itu, dia sudah selesai mempersiapkan segalanya untukku. Bajuku, sepatuku, tas sekolahku bahkan sarapan dan juga bekal yang nanti akan kubawa ke sekolah. 

Ibuku memang perempuan yang sempurna. Dia bisa menyelesaikan banyak hal dalam waktu singkat. Hari itu dia menawari aku membawa bekal nasi. Tapi aku lebih suka roti sehingga dia akhirnya mengganti bekal sekolahku dengan roti rasa kelapa yang dibelinya dari warung dekat rumah. Sejujurnya aku benar-benar bersemangat sekali hari itu. Dan ingin tahu seperti apa rasanya bersekolah. Apa disana banyak orang berjualan? Apa aku akan dapat teman-teman baru? Dan bagaimanakah wajah guru-guruku? Apa mereka semuanya baik? 

Bersama ibu-ibu lain yang anak-anaknya bersekolah di sekolah yang sama, aku dan ibuku pergi. Pagi yang masih berkabut dan dingin itu, kami susuri dengan berjalan kaki sejauh 2 km. Sebenarnya kami bisa saja naik angkutan umum. Tapi pada masa itu jarang sekali orang-orang di desa kami melakukannya. Lagipula, kami memang senang berjalan kaki. 

Kami berjalan menyusuri rumah-rumah penduduk, kolam-kolam pemancingan dan sungai-sungai kecil. Aku bahkan masih bisa melihat engkang-engkang (sejenis hewan air yang kini sudah langka) banyak berenang di sepanjang sungai jernih yang kami lewati. Selain melewati sungai-sungai kecil yang airnya jernih itu, kami juga melewati kebun-kebun kangkung yang tumbuh subur di sepanjang jalan dan hampir selalu di panen setiap hari oleh pemiliknya. Tahun itu di desaku masih banyak petani kangkung. 

Akhirnya kami pun tiba di sekolah sekitar jam tujuh pagi. Tempat itu dipenuhi banyak orang, para ibu dengan anak-anak mereka yang sama seperti aku; memakai seragam yang kerahnya masih kaku, sepatu dan tas baru. Selain itu, di sekolah juga banyak pedagang yang berjualan mainan dan makanan yang aku tidak tahu apa namanya. Terakhir kali aku berkunjung ke tempat yang dipenuhi banyak orang adalah saat aku diajak ibuku berbelanja ke pasar dan terpisah. Aku hampir saja menangis putus asa kalau-kalau ibuku tidak tiba-tiba datang menghampiri aku yang tengah berdiri kebingungan di depan penjual snack-snack makanan. 

Ibuku dan beberapa ibu lainnya kemudian menuju sebuah ruangan kelas di dekat kantor. Sudah ada beberapa ibu-ibu lain yang berdiri di sana, memperhatikan anak-anaknya yang sedang duduk di dalam kelas. Ada juga sebagian anak-anak yang tidak mau ditinggal dan malah menangis sehingga membuat orangtuanya bingung karena harus terus menemani mereka di dalam kelas. 

Aku sibuk mengamati keadaan disekelilingku. Menatap orang-orang yang berlalu lalang dengan pandangan ingin tahu. Banyak bangku-bangku dan meja di dalam kelas mulai terisi. Kemudian ibuku cepat-cepat memilih bangku panjang terdepan di dekat pintu. Di situ sudah ada dua anak perempuan yang duduk disana. Aku disuruh ibuku bergabung dengan mereka. Tak lama kemudian seorang guru perempuan datang ke kelas. Pertama-tama dia memperkenalkan dirinya di depan kelas. Dan aku jadi tahu kalau namanya adalah Bu Neneng, guru kelas satu yang akan mengajarku selama tiga caturwulan ke depan. 

Tapi sejujurnya aku lebih suka memanggilnya Ibu guru kecil karena badannya kurus sekali. Kemudian kami semua digiring ke lapang untuk mengikuti upacara hari Senin. Aku belum tahu apa yang akan terjadi kecuali bahwa orang-orang sudah mulai membentuk barisan-barisan dan aku harus ikut bergabung dengan membentuk barisan yang sama. Hari itu, aku mengikuti upacara sekolah pertama di dalam hidupku. Ibuku dan beberapa ibu lainnya menunggui kami di belakang barisan sambil mengobrol. Sementara itu aku sibuk memperhatikan jalannya upacara. Ada tiga orang yang salah satunya membawa bendera dan kemudian kami harus menyanyikan salah satu lagu wajib nasional. Setelah upacara selesai yang disertai dengan kaki yang pegal-pegal karena harus berdiri cukup lama selama upacara, aku kembali masuk ke dalam kelas. Dan ibuku memperhatikan aku dari pinggir kelas yang pintunya terbuka. Ada juga beberapa orangtua yang memperhatikan anak-anaknya dari balik jendela. Tapi ada juga orangtua yang ikut menemani anaknya di dalam kelas.

Saat dimana aku masuk sekolah dasar dulu, orangtua masih ada yang menemani anak-anak mereka di dalam kelas dan diizinkan oleh gurunya sehingga suasana kelas menjadi benar-benar berisik saat kami belajar. Ibu guru kecil kemudian mengambil kapur dan mulai menulis angka satu di papan tulis. Dan kami diminta untuk menulis angka yang sama sebanyak lima baris di buku tulis kami masing-masing.

Aku membuka tas gendongku, yang waktu itu, aku masih ingat dengan sangat jelas bergambar sinetron Jin & Jun yang dibelikan oleh ibuku dari pasar. Waktu itu, tidak ada yang aneh dengan tas bergambar Jin & Jun atau sinetron yang sedang hits saat itu, karena anak-anak yang lain juga memakainya. Selain itu, tidak ada pula yang aneh dengan duduk bertiga di bangku selama guru menerangkan atau orangtua yang ikut menemani anaknya belajar sampai selesai di dalam kelas karena saat itu semuanya diperbolehkan. Aku yang memang sudah bisa membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar mengerjakan tugas tersebut dengan cepat. Dan langsung membawanya ke meja guru untuk dinilai oleh Ibu guru kecil. Dan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mendapat nilai sepuluh dari seorang guru. Nilai maksimal yang diberikan oleh Ibu guru kecil sebagai skor pertama kami. Ibuku masih memperhatikan aku dari pinggir kelas yang pintunya terbuka. Dan aku menunjukan nilai yang baru saja aku peroleh.

“Bagus!”katanya sambil mengacungkan dua jempol.

Aku senang sekali. Ternyata sekolah itu menyenangkan dan gampang. Tentu saja minus upacara yang membuat kaki pegal-pegal. Setelahnya, Ibu guru kecil, guru kelas satuku itu menyuruh kami mengeluarkan peralatan menggambar. Sejujurnya, aku tidak begitu suka menggambar. Tapi aku ikuti saja karena teman-temanku juga mengeluarkan peralatan menggambar mereka. Ada yang membawa spidol dan pensil warna. Tapi, ada juga yang membawa krayon. Setelah semua anak-anak selesai menyiapkan peralatan menggambarnya, Ibu guru kecil kemudian menyuruh kami untuk menggambar bebas. Dan tercetuslah sebuah ide di dalam otakku. Aku meraih pensilku dan mulai menggambar sesuatu. Seingatku, aku tidak pernah menggambar apapun hingga sesemangat itu. Ibuku yang penasaran melihat aku begitu fokus menggambar langsung menghampiri. Disusul dengan Bu guru kecil yang saat itu duduk tak jauh dari mejaku. 
“Cantik menggambar apa?” tanya Bu guru kecil saat dia melihat gambar yang sedang aku kerjakan. Dan seperti anak-anak yang selalu penuh kejutan, aku mendongakan kepalaku. Tersenyum malu-malu lalu kemudian menjawab dengan polosnya…… bahwa aku sedang menggambar……. benang kusut.

Ya, benang kusut! Hari itu hari Senin di bulan Juli tahun 1997. Pertama kali aku masuk sekolah. Dan gambarku sudah abstrak. 

Untuk aku yang ada dalam diriku. 

Ini sebagai pengingat.