Rahasia Doa Istirja' di Balik Seleksi CPNS 2019

Sunday, December 27, 2020

Tahun 2020 akan segera berakhir. Dan sebelum mengawali tahun yang baru, melakukan introspeksi diri atas apa yang sudah saya lewati sepanjang tahun ini menjadi penting. Terlebih, sebagai rasa syukur. Karena selama pandemi Covid-19 ini saya masih bisa bertahan hidup. Tidak terkena PHK di saat banyak orang diluaran sana yang menjadi pengangguran. Bahkan tak hanya itu. Saya juga dinyatakan lolos seleksi CPNS 2019. Sesuatu yang diidam-idamkan oleh banyak orang. 

Karena saya sudah pernah mengikuti seleksi CPNS di tahun sebelumnya dan gagal, saya sejujurnya tidak terlalu berharap saat ikut seleksi kali ini. Namun, bukan berarti saya tidak melakukan persiapan sama sekali.

Ketika saya memilih lokasi penempatan, tanpa pikir panjang, saya langsung memutuskan untuk memilih lokasi penempatan di sebuah SMK di daerah Cirebon. Ketika salah seorang rekan kerja di kantor bertanya kenapa saya memilih penempatan di sekolah tersebut, dengan entengnya saya hanya menjawab, “Pengen aja. Nama sekolahnya unik.”

Kegagalan untuk lolos CPNS di tahun 2018 membuat saya lebih banyak mengevaluasi diri. Melihat ke dalam diri saya sendiri. Kalimat yang mengatakan doa dan usaha tidak akan mengkhianati hasil rasanya terlalu sombong dan takabur jika diucapkan oleh kita sebagai makhluk. Terutama jika di yakini secara berlebihan. Apalagi, jika saya berkaca pada pengalaman diri saya sendiri. Mungkin, saya terlalu yakin dan berbangga hati dengan doa-doa dan usaha saya di tahun 2018, sehingga Allah tangguhkan kelulusan saya di waktu itu.

Dari situ, mulailah saya berpikir untuk lebih rendah hati. Alih-alih menyebutkan betapa susah payahnya diri ini untuk lebih dekat kepada Allah saat berdoa, kalimat itu saya ganti dengan, “Ya Allah kabulkanlah doaku dengan rahmat dan kasih sayang-Mu.” Doa itu terus saya ulang-ulang. Bahkan ketika saya sedang berjalan, makan ataupun berbaring. Tentu saja tanpa menyebutkan kebaikan manapun yang sudah dilakukan.

Setidaknya, ketika pikiran untuk berbangga diri dan terlampau yakin atas segala usaha-usaha dan doa itu muncul, lisan saya mengingkarinya. Seperti yang selalu diajarkan oleh orang tua saya untuk jangan terlalu berbangga diri dan ambisius mengejar sesuatu.

Jadilah, selanjutnya saya membayangkan sebuah skenario yang jauh ke depan. Dan bahwa skenario ini harus melibatkan Tuhan. Sekaligus menjaga diri saya agar tetap berbaik sangka ketika gagal dan tidak sombong saat berhasil.

Akhirnya saya teringat suatu doa. Doa ini diambil dari kisah Ummu Salamah yang mengucapkannya saat suaminya meninggal dunia. Dia teringat Rasulullah yang bersabda barang siapa membaca doa ini ketika tertimpa musibah. Maka, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan benar saja, ketika habis masa iddah-nya, Ummu Salamah dilamar oleh Rasulullah. Manusia terbaik di muka bumi. Bahkan, beliau adalah utusan Allah.

Doa yang dibacanya adalah sebagai berikut:

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Allahumma ajjurni fi mushibati wakhlif li khairan minha.”

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini. Dan, gantilah ia dengan yang lebih baik.

Doa itu pun akhirnya saya hapalkan. Jauh sebelum mengikuti tes seleksi tahap pertama. Sembari saya mengingat-ingat kembali perkataan indah yang dituturkan oleh Sayyidina Ali radiyallahu anha. 

“Ketika aku berdoa dan Allah mengabulkan doaku. Maka aku berbahagia karena itu keinginanku. Tapi, ketika aku berdoa dan Allah tidak mengabulkan doaku. Maka aku lebih berbahagia karena itu kehendak Allah. Dan, kehendak Allah pastilah yang terbaik.”

Itulah dua hal dasar yang saya yakini sembari di satu sisi tetap melaksanakan usaha dan ikhtiar untuk bisa lolos seleksi. Namun dalam ritme yang santai. Tidak sampai menyengsarakan diri sendiri.

PS: Saya tidak pernah belajar ketika saya lapar. Atau belajar sambil menahan lapar. Tidak juga dalam kondisi badmood dan sedang sedih. Ketika saya lelah, saya lebih memilih untuk tidur terlebih dahulu daripada belajar. Tidak pula seharian saya belajar hingga melupakan waktu bersenang-senang. Saya belajar SKD dengan santai. Namun, sebisa mungkin saya tidak pernah membantah kata-kata orang tua saya atau menolak permintaan mereka. Terutama, ketika mereka sedang menyuruh atau  menasehati saya.

Tanggal 30 Januari 2020

Seleksi tahap pertama di Gedung Arcamanik. Saya datang kesana diantar oleh Bapak. Waktu itu, siang hari dan sedang panas-panasnya. Bersama seorang teman saya mengantri untuk masuk ke dalam gedung. Di sela-sela mengantri, saya haus sekali karena kepanasan dan tidak sempat minum. Bapak yang menunggu tidak jauh dari antrian dan tahu anaknya kehausan menghampiri saya. Lalu menyodorkan sebotol minuman dingin sembari menenteng tas ransel dan berlari kecil di tengah-tengah cuaca panas mengikuti antrian saya yang terus maju ke depan. Saya melihat ke sekeliling antrian dan tidak menemukan satu pun orang tua lain yang sebegitu perhatian pada anaknya seperti yang dilakukan oleh Bapak saya.

Di dalam gedung kami diminta menunggu. Saya duduk di baris kedua dari depan. Dari sekian banyak peserta seleksi di hari itu, tidak satu pun saya menemukan wajah teman satu angkatan saya ketika kuliah dulu. Kebanyakan pendaftar adalah fresh graduate yang baru saja lulus. Omg, berasa tua banget deh saya waktu itu.  

Bahkan, saya juga tidak menemukan satu orang lain pun yang berasal dari jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Semuanya berasal dari jurusan lain. Salah jadwal gitu? Batin saya curiga.

Karena kami menunggu cukup lama, akhirnya saya dan teman saya izin ke toilet. Sembari berjalan melewati barisan kursi yang panjang, saya iseng memerhatikan raut wajah para peserta seleksi. Ada yang ekspresinya tegang, bengong, melamun, stress dan bodo amat. Benar ternyata yang dikatakan oleh teman saya. Kami pun berjalan melewati mereka. Tak kuasa menahan tawa. *Astaghfirullah*

Tak lama kemudian, kami masuk ke dalam ruangan seleksi. Saya mendapat kursi paling depan. Dekat dengan kipas angin. Thank God. Walaupun saya nanti masuk angin, setidaknya, fokus saya tidak terganggu. Dan saya tidak akan terintimidasi oleh peserta lain yang lebih dulu selesai daripada saya. *semangat!!!*

Singkat cerita saya mendapat nilai SKD 375.

Waktu itu saya belum yakin bahwa saya akan lolos seleksi  karena melihat nilai peserta lain yang juga tinggi-tinggi. Apalagi, sekolah yang saya pilih tersebut nyatanya adalah sekolah dengan pelamar terbanyak lebih dari 200 orang. Qadarullah, beberapa minggu kemudian saya dinyatakan lolos seleksi tahap pertama. Dari 6 orang yang lulus ke tahap SKB, saya menduduki peringkat kedua. Seharusnya, jika tidak ada seleksi lanjutan saya sudah otomatis lolos dan mengajar di Cirebon.

Maret – Oktober

Karena pandemi Covid-19, tes SKB ditunda. Masa-masa yang panjang ini saya gunakan untuk belajar materi Bahasa Inggris dan pedagogik. Tidak ada trik khusus untuk yang satu ini. Saran saya sederhana: konsistenlah membaca dan perbanyak berdoa. Hindari berdebat walaupun berada di pihak yang benar. Apalagi jika berada di pihak yang salah.

Kenapa berdebat? Karena sepanjang Maret sampai Oktober, di akun resmi BKN sedang ribut memperdebatkan antara serdik versus non-serdik.

Sebagai guru honorer yang belum mempunyai serdik padahal sudah mengajar bertahun-tahun lamanya, tentu saja rasa untuk menumpahkan kekecewaan pada pemerintah dan ikut berdebat itu pastilah ada. Apalagi jika mengingat akses dan biaya untuk ikut PPG mandiri tidaklah murah. Hati rasanya panas bergejolak. Tapi, kembali lagi pada diri sendiri. Saya tidak mau sibuk berdebat sementara saingan saya justru sedang sibuk belajar. Utamakan prioritas!

Meskipun saya mengetahui salah seorang saingan saya mempunyai sertifikat pendidik yang otomatis akan membantunya untuk mendapat nilai sempurna di tes SKB, saya berusaha untuk tetap semangat dan berpikir positif bahwa rezeki itu Allah yang atur. Manusia hanya dituntut untuk berusaha dan berdoa secara maksimal. Selebihnya urusan Allah. Lagipula, saya sudah menghapal doa istirja.’ Saya tidak cemas akan rezeki saya.

Semangat saya justru agak memudar bukan karena tahu jika salah seorang saingan saya punya serdik. Akan tetapi, karena di suatu siang Mama tiba-tiba datang menghampiri saya yang sedang berada di dalam kamar.

Mama yang saat itu terlihat khawatir lalu bercerita mengenai tetangga lama kami yang baru saja bertemu dan sekarang tinggal di Cirebon. Berdasarkan penuturannya, Mama jadi tahu jika daerah yang saya pilih sebagai lokasi penempatan tersebut adalah daerah yang rawan tindak kejahatan! Seketika saya penasaran dan mencoba googling mengenai kriminalitas di daerah tersebut. Dan ternyata memang benar seperti yang dikatakan Mama. Daerah itu rawan begal dan perampokan! Sungguh, saya tidak takut saingan saya punya serdik. Saya justru lebih takut jika saya lolos seleksi lalu bertemu begal dan menjadi korban perampokan. *hiks*

Selama beberapa hari setelah mendengar penuturan Mama, saya mimpi buruk. Saya bingung antara ingin lolos CPNS tapi enggan pindah ke daerah sana. Apalagi, di sana tidak ada satu orang pun keluarga, kenalan atau sanak saudara. Setiap kali saya galau, saya perbanyak istighfar dan berdoa. Seringkali hanya dalam hati. Semua kegelisahan itu saya pendam sendiri. Lagipula, akan tambah tidak enak jika membuat orang tua saya khawatir. Akhirnya saya pasrah namun tetap sambil belajar.

Seleksi SKB

Sambil menenteng surat rapid tes, saya diarahkan oleh panitia menuju tempat penyimpanan barang. Lalu diminta mengantri dan menunggu dengan masker, face shield dan sarung tangan sudah terpasang rapi di wajah dan kedua tangan. Tak lama kemudian, kami di panggil ke ruangan tes. Saat itu, tidak teringat sama sekali kegelisahan saya sebelumnya jika lolos CPNS dan di tempatkan di daerah yang rawan tindak kejahatan. 

Thank God. Karena akibatnya, saya jadi bisa fokus berusaha maksimal. Dan, lagi-lagi saya dapat kursi paling depan. Entahlah harus mengeluh atau bersyukur karena saya jadi dekat dengan kipas angin yang ukurannya besar-besar! Hembusan anginnya itu, lho! Hehehe….

Waktu 90 menit ternyata lebih dari cukup untuk mengerjakan 100 soal SKB. Saya masih bisa mengecek jawaban saya dua kali. Dan itu pun masih tersisa waktu 5 menit lagi. Singkat cerita, tes pun selesai dan nilai SKB saya 365. Waktu itu, Bapak yakin saya lolos CPNS. Tapi, saya masih ragu-ragu.

Kecurigaan mulai muncul tatkala saya sudah cukup lama selesai test, namun Mama dan adik saya tidak juga menelpon padahal mereka menonton live streaming-nya di Youtube. Akhirnya, setelah selesai makan, saya menelpon Mama. Dan ternyata benar dugaan saya itu. Saya berada di peringkat kedua. Otomatis saya tergeser oleh saingan saya yang memiliki serdik meskipun dia berada di peringkat keempat.

Padahal, jika tidak ada yang memiliki serdik saya sudah bisa dipastikan lolos ke Cirebon. Karena kuota yang dibutuhkan di sekolah yang saya lamar itu 2 orang. Dari situ, saya teringat doa istirja’ yang sudah saya hapalkan. Setelah meminta maaf pada orangtua, saya melafalkan doa itu di perjalanan pulang.

Satu sisi saya lega karena tidak jadi pergi ke Cirebon. Tapi, di sisi yang lain saya sedih karena mengira diri saya tidak lulus CPNS.

Hari-hari berikutnya terasa begitu membosankan. Saya mulai jarang mengikuti perkembangan seleksi CPNS karena telah menganggap diri saya gagal. Bahkan sebelum pengumuman CPNS itu resmi diberitakan. Sampai di suatu hari, tiba-tiba saya ingin sekali untuk melihat kembali daftar peserta yang lolos seleksi tahap pertama. Di situ saya mengetikan kata kunci Bahasa Inggris. Dan menemukan SMAN 1 Cidahu kosong tanpa satu pun pelamar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lolos seleksi.

Dari situ saya teringat bahwa formasi kosong akan diprioritaskan untuk diisi. Saya mulai kembali bersemangat dan menghitung perolehan nilai seluruh peserta formasi pendidikan Bahasa Inggris Pemprov Jabar. Hasilnya, ternyata nilai integrasi SKD-SKB saya paling tinggi. Tapi, itu pun belum aman. Karena  saya tidak tahu apakah peserta lain mempunyai serdik.

Hari-hari yang  awalnya datar dan membosankan berubah menjadi hari yang penuh tanda-tanya. Dalam masa-masa menunggu itu, hanya Bapak yang berkeyakinan saya bisa lolos CPNS. Sementara, Mama dan saya lebih realistis. 

Hari yang ditunggu pun tiba. Hasil seleksi CPNS 2019 diumumkan. Dan, ternyata prediksi Bapak benar. Saya lolos CPNS ke SMAN 1 Cidahu di Kuningan. Yang mana lokasinya cukup ramai dan dekat dengan rumah saudara saya. Tidak sepi dan rawan kejahatan seperti di Cirebon. Saya tidak menemukan satu pun berita kriminalitas di lokasi di mana nanti saya akan mengajar. Rasanya seperti keajaiban. Apalagi di tengah-tengah serbuan pelamar Bahasa Inggris yang cukup banyak memiliki serdik. Doa istirja’ itu benar. Saya melafalkannya dan Allah menggantikan kegagalan saya lulus di Cirebon dengan menempatkan diri saya di tempat yang jauh lebih baik.

Begitulah teman-teman sepenggal cerita dari saya. Semoga sharing pengalaman kali ini bisa diambil hikmahnya.

2 comments:

Dea Amanda said...

Ah ms. Desi, saya nangis baca dibagian pas seleksi SKD karena waktu itu tes di hari yang sama sama ms.Desi dan aku pertama kali tes dianter orang tua dengan keadaan sakit. Jadi ikut flasback juga.

dazzlingrainbow said...

Ah, iya bener. Kita ketemu ya Bu De. Aku juga sama. Sedih banget kalo liat dan ingat perjuangan orang tua yang pada nganter anak-anaknya seleksi. Karena, jadi keingetan Bapakku. Mana waktu itu lagi panas-panasnya. *hiks*