Mengenal Masyarakat Inggris Abad Ke-18 Lewat Novel Pride & Prejudice

Wednesday, January 2, 2019


Kalau kalian penggemar berat novel roman-klasik, pastinya sudah tidak asing lagi dengan novel Pride and Prejudice karangan Jane Austen, dong ya? Atau setidaknya kalian pasti pernah dengar judulnya, berhubung novelnya udah legend banget dari semenjak dirilis tahun 1813 dan masih dicetak ulang hingga sekarang. Dari sekian banyak ulasan mengenai Pride and Prejudice, kebanyakan blogger sayangnya hanya menulis ulang sinopsisnya saja. Padahal masih banyak hal lain yang bisa kita pelajari dari Pride & Prejudice ini. Apa saja? Check it out! 

1. Orang Inggris Senang Menamai Rumah Mereka

Berawal dari kehidupan orang-orang Inggris yang membangun terlebih dahulu rumah mereka dan terciptalah jalan-jalan tanpa nama yang berkembang setelahnya. Gagasan rumah yang dibangun mengikuti perkembangan jalan sebenarnya cenderung lebih modern jika dibandingkan dengan sejarah awal masyarakat Inggris. Keadaan yang demikian membuat masyarakat Inggris sulit untuk mengorganisasi penomoran dan penyebutan lokasi rumah mereka. Apalagi, ditambah dengan jarak yang cukup jauh antara satu rumah dengan yang lainnya. Sistem penomoran seperti itu tak mungkin untuk dilakukan. Sehingga akhirnya, alih-alih diberi nomor seperti rumah-rumah di masa kini, para penduduk Inggris masa lalu lebih memilih untuk memberikan nama pada rumahnya.

Selain faktor untuk memudahkan pengidentifikasian rumah, alasan lain kenapa orang Inggris senang menamai rumah mereka adalah karena bagi sebagian besar orang Inggris, rumah yang sudah berumur cukup tua apalagi meninggalkan banyak kenangan akan terdengar lebih pantas jika diberikan nama bukannya nomor. Contohnya; Penyebutan rumah dengan nama “Kellynch Hall” bagi orang Inggris akan terdengar jauh lebih sopan, klasik dan nyaman di telinga jika dibandingkan dengan penyebutan “Rumah Nomor 40."

Sama halnya seperti di dalam Novel Pride & Prejudice yang seluruh tokoh-tokohnya juga tinggal di dalam rumah yang semuanya diberi nama. Seperti Elizabeth yang tinggal di Longbourn, Darcy yang tinggal di Pemberley dan Bingley yang menyewa sebuah rumah mewah bernama Netherfield Park tak jauh dari kediaman Lizzy di Longbourn.

2. Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Garis Paternal

Berdasarkan literatur Inggris klasik yang saya baca, sebenarnya tidak semua harta warisan akan jatuh kepada pihak laki-laki. Namun lebih tergantung pada sang pemberi mandat. Di zaman ketika Pride & Prejudice ini ditulis (Era Georgian sekitar tahun 1800an) pada umumnya masyarakat Inggris membagi harta warisan mereka secara paternal atau berdasarkan garis keturunan ayah. Yang mana ketika di dalam suatu keluaga tidak memiliki anak laki-laki dan jika sang ayah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan keluarganya (tanah dan rumah beserta isinya) akan jatuh kepada keluarga laki-laki dari pihak sang ayah. Misalnya: paman, sepupu laki-laki, keponakan laki-laki dst. Sementara istri dan anak-anak perempuan tidak mendapatkan sepeserpen pun dari harta warisan sang ayah.

Hal ini terjadi karena tujuan pewarisan itu sendiri yang adalah untuk menjaga agar harta keluarga tidak berpindah atau dikuasai orang lain. Sementara para perempuan pada masa itu cenderung dianggap sebagai bagian dari keluarga suami (keluarga orang lain). Bukan keluarga ayah. Sehingga jika harta warisan diwariskan kepada anak perempuan atau cucu laki-laki dari anak perempuan, maka hal tersebut sama halnya dengan mewariskannya kepada keluarga yang lain yang menyalahi tujuan pewarisan.

Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi mengapa Mrs. Bennet dalam Pride & Prejudice bersikeras ingin menikahkan kelima putrinya dengan pria yang kaya raya. Karena kenyataannya dia tidak punya anak lak-laki.

3. Status Sosial Adalah Harga Diri

Kehidupan masyarakat Inggris abad ke-18 yang digambarkan oleh Jane Austen seringkali menyinggung tentang pentingnya status sosial dalam kehidupan mereka. Terutama masyarakat kelas menengah atas yang seringkali mengadakan dan mengikuti pesta-pesta dansa dengan gaya hidup mewah. Hal itu dilakukan dalam rangka memperoleh kenalan yang bisa dijadikan sebagai prospek pasangan masa depan. Terutama oleh para wanita. Karena kedudukan suaminya kelak akan menentukan tingkat kesejahteraan mereka.

Kehidupan para wanita di era Georgian-Victorian tak terlepas dari sejumlah etiket yang harus mereka patuhi demi mendapatkan suami yang kaya raya, diantaranya:

Perempuan dilarang mengemukakan pendapat mereka. Selain tidak lazim pada zamannya, kepintaran tersebut boleh jadi mengintimidasi para laki-laki sehingga batal untuk menikahi mereka. Karena tidak terbiasa mengungkapkan pendapat, perempuan Inggris di zaman tersebut sangat bergantung sepenuhnya pada suami. Dan kebanyakan dari mereka menikah bukan karena dasar cinta. Tapi lebih karena status sosial dan gengsi.

Selain kurangnya inisiatif untuk berpendapat, membaca buku dan menjadi penulis juga merupakan sebuah aib bagi wanita di zaman tersebut karena hal itu membuat mereka menjadi terlihat pintar dan lebih maskulin dibandingkan para lelaki. Sehingga menghalangi prospek mereka untuk mendapatkan suami yang kaya raya.

Terlepas dari apa yang terjadi pada para wanita di zaman itu, jika menilik kembali novel Pride & Prejudice, ada satu kelebihan yang menurut saya bagus sekali untuk dipertahankan. Yang mana kehidupan masyarakat Inggris pada masa lalu jauh lebih sopan dan taat norma dibandingkan dengan kehidupan masyarakatnya di masa kini. Dimana bermesraan di depan umum, tinggal satu atap, kawin lari apalagi hamil diluar nikah masih menjadi hal-hal yang sangat tabu untuk dilakukan.

0 comments: