The Most Gothic Novel I've Ever Read

Saturday, April 23, 2022


“Sisa-sisa mayat manusia sangatlah berharga, bila ia bersikap mulia ketika masih hidup.”

Begitulah yang di tulis Emily Bronte dalam kalimat pembuka di novelnya yang berjudul Wuthering Heights. Dan meskipun novel ini pernah muncul dalam Twilight sebagai novel yang di favoritkan oleh Bella Swan, perkenalan saya dengan Wuthering Heights tidak berkaitan dengan film itu sama sekali.

Saat itu beberapa tahun yang lalu, saya baru saja selesai membaca dua novel klasik. Yang berjudul Persuasion dan Pride & Prejudice karangan Jane Austen. Dan saya tidak menyesal. Alih-alih menyesal karena menamatkan dua novel yang cukup tebal tersebut, saya malah penasaran untuk mencari novel-novel klasik lainnya.

Sampai pada akhirnya, saya kembali lagi ke sebuah toko buku. Dan menyusuri rak-rak yang berisi kumpulan novel-novel klasik. Saat itulah saya menemukan Wuthering Heights dengan sampul abu-abu. Dan di covernya tertulis: “Kisah Cinta Paling Tragis Sepanjang Masa.” 

Saya langsung suka dengan tagline-nya yang muram. Apalagi saat membaca blurb atau rangkuman cerita di cover belakangnya yang tertulis seperti ini:

Wuthering Heights, satu-satunya novel yang di tulis Emily Bronte, merupakan salah satu permata dalam literatur Inggris abad ke-19 dan abadi sepanjang masa.

Bercerita tentang Heathcliff, yatim piatu yang jatuh cinta kepada Catherine, gadis yang kelasnya lebih tinggi. Perbedaan sosial membuat Heathcliff tidak bisa memilikinya.

Kebencian membuat Heathcliff mengabadikan seluruh hidupnya untuk membalas dendam dan menghancurkan kehidupan keluarga Catherine.”

Singkat cerita saya membaca novel itu di rumah. Lembar demi lembar hingga akhirnya tamat. Novel yang sungguh mengherankan sekaligus berkesan. Mengherankan karena struktur penulisannya yang tidak lazim. Alur ceritanya berganti-ganti sudut pandang orang yang menceritakan kisah-kisah di dalamnya. Di mulai dari Ellen Dean dan Mr. Lockwood dan banyak karakter lain yang bermunculan.

Berkesan karena sepanjang saya baca novel, saya belum pernah menemukan novel yang dari awal hingga akhir terasa seperti campuran kemarahan, lagu-lagu sendu dan kehilangan. Kombinasi antara rasa sepi dan muram. Seperti saat kita sedang berada sendirian di tengah-tengah padang rumput yang luas dan langit mendung disertai angin musim dingin yang berhembus dengan kencang.

Beberapa kalimat dalam novel Wuthering Heights masih saya ingat hingga kini. Seperti kalimat yang diucapkan Heathcliff saat Catherine meninggal:

“Catherine Earnshaw semoga jiwamu mengembara sepanjang hidupku. Kau bilang aku yang membunuh dirimu. Kalau begitu, hantuilah diriku! Setahuku, si mati biasanya akan menghantui si pembunuh. Aku tahu hantu-hantu akan selalu bergentayangan di muka bumi. Mudah-mudahan rohmu akan selalu bersamaku. Berubahlah dalam bentuk apapun yang kau sukai lalu rasukilah diriku. Biarkan aku jadi gila karenanya! Tetapi, jangan tinggalkan diriku di lembah penderitaan ini. Karena aku tak dapat menemukanmu di sini. Oh Tuhan, sungguh tak tertanggungkan penderitaanku ini! Aku sungguh tak sanggup hidup tanpa kehidupanku. Aku tak sanggup hidup tanpa jiwaku!” Heathcliff lalu membenturkan kepalanya ke batang pohon yang saling berbelitan; dengan mata terbelalak dia meraung, suaranya tidak lagi seperti manusia, melainkan hewan liar yang terluka.

Ketika kita berbicara tentang cinta tidak selalu merupakan sesuatu yang indah. Bahkan, bisa saja cinta itu berubah dan mengarahkan pemiliknya pada sesuatu yang jahat dan kejam. Seperti Heathcliff yang mendendam kepada semua orang di Wuthering Heights dan berniat membalasnya.

Saat membaca novelnya saya sendiri pun takjub. Bagaimana novel yang isinya kekejaman ini bisa di tulis dengan begitu elegan dan puitis oleh Emily Bronte. Dari semua Bronte bersaudara, menurut saya, tulisan Emily adalah yang paling cerdas. Seolah-olah lewat Wuthering Heights dia mencurahkan jiwanya yang gelap dan tertekan. Membaca Wuthering Heights seperti kembali menyusuri masa lalu dan tertinggal di sana. Perasaan yang timbul saat selesai membaca novelnya pun cukup intens. Saya jadi ikut-ikutan merasa hampa dan melankolis lalu marah pada Catherine yang egois. Saya bersyukur bahwa dia mati lebih cepat.

Heathcliff sendiri mengingatkan saya pada seseorang di dunia ini yang tidak perlu untuk disebutkan namanya. Ha! Sungguh mengerikan jika kita bergaul dengan orang yang memiliki perilaku seperti Heathcliff apalagi sampai menjadikannya pasangan.  

Tidak ada novel lain yang memberikan perasaan muram sepekat itu pada diri saya kecuali Wuthering Heights. Saya sampai bela-belain beli novelnya dalam dua versi bahasa Inggris dan Indonesia untuk di baca. Karena suka sekali dengan isinya.

Novel itu kemudian di tutup dengan kematian Heathcliff. Penulis lalu menambahkan sebuah cerita yang mengubah atmosfer muram di novel itu menjadi seram. Atmosfer yang sama seperti saat cerita ini di mulai. Yaitu ketika Mr. Lockwood, sang penyewa Thrusscross grange, terbangun karena mendengar suara ketukan di jendela. Mengira suara ketukan itu berasal dari ranting pohon, ia bermaksud menyingkirkan ranting pohon yang membuat suara berisik itu.

Namun, alangkah terkejutnya Mr. Lockwood saat sebuah tangan yang dingin terulur dari balik kegelapan dan menggenggam erat tangannya seraya mengaku bahwa ia adalah Catherine yang sudah tersesat selama dua puluh tahun di hutan dan kini sudah kembali. 

Begitulah cara Emily Bronte membuat pembacanya merasa seram kemudian berubah muram untuk selanjutnya merasakan perasaan-perasaan kelam lainnya. Two thumbs up untuk novel ini. My all time favorite book!