“Sisa-sisa mayat manusia sangatlah berharga, bila ia bersikap mulia ketika masih hidup.”
Begitulah yang di tulis Emily Bronte dalam
kalimat pembuka di novelnya yang berjudul Wuthering Heights. Dan meskipun novel
ini pernah muncul dalam Twilight sebagai novel yang di favoritkan oleh
Bella Swan, perkenalan saya dengan Wuthering Heights tidak berkaitan dengan
film itu sama sekali.
Saat
itu beberapa tahun yang lalu, saya baru saja selesai membaca dua novel klasik. Yang
berjudul Persuasion dan Pride & Prejudice karangan Jane Austen. Dan saya
tidak menyesal. Alih-alih menyesal karena menamatkan dua novel yang cukup tebal
tersebut, saya malah penasaran untuk mencari novel-novel klasik lainnya.
Sampai pada akhirnya, saya kembali lagi ke sebuah toko buku. Dan menyusuri rak-rak yang berisi kumpulan novel-novel klasik. Saat itulah saya menemukan Wuthering Heights dengan sampul abu-abu. Dan di covernya tertulis: “Kisah Cinta Paling Tragis Sepanjang Masa.”
Saya langsung suka dengan tagline-nya yang muram. Apalagi saat membaca blurb atau rangkuman cerita di cover belakangnya yang tertulis seperti ini:
Wuthering
Heights, satu-satunya novel yang di tulis Emily Bronte, merupakan salah satu
permata dalam literatur Inggris abad ke-19 dan abadi sepanjang masa.
Bercerita tentang Heathcliff, yatim piatu yang
jatuh cinta kepada Catherine, gadis yang kelasnya lebih tinggi. Perbedaan
sosial membuat Heathcliff tidak bisa memilikinya.
Kebencian membuat Heathcliff mengabadikan
seluruh hidupnya untuk membalas dendam dan menghancurkan kehidupan keluarga
Catherine.”
Singkat cerita saya membaca novel itu di rumah.
Lembar demi lembar hingga akhirnya tamat. Novel yang sungguh mengherankan
sekaligus berkesan. Mengherankan karena struktur penulisannya yang tidak lazim.
Alur ceritanya berganti-ganti sudut pandang orang yang menceritakan kisah-kisah
di dalamnya. Di mulai dari Ellen Dean dan Mr. Lockwood dan banyak karakter lain
yang bermunculan.
Berkesan karena sepanjang saya baca novel, saya
belum pernah menemukan novel yang dari awal hingga akhir terasa seperti campuran
kemarahan, lagu-lagu sendu dan kehilangan. Kombinasi antara rasa sepi dan
muram. Seperti saat kita sedang berada sendirian di tengah-tengah padang rumput
yang luas dan langit mendung disertai angin musim dingin yang berhembus dengan
kencang.
Beberapa
kalimat dalam novel Wuthering Heights masih saya ingat hingga kini. Seperti
kalimat yang diucapkan Heathcliff saat Catherine meninggal:
“Catherine Earnshaw semoga jiwamu mengembara
sepanjang hidupku. Kau bilang aku yang membunuh dirimu. Kalau begitu, hantuilah
diriku! Setahuku, si mati biasanya akan menghantui si pembunuh. Aku tahu hantu-hantu
akan selalu bergentayangan di muka bumi. Mudah-mudahan rohmu akan selalu
bersamaku. Berubahlah dalam bentuk apapun yang kau sukai lalu rasukilah diriku.
Biarkan aku jadi gila karenanya! Tetapi, jangan tinggalkan diriku di lembah
penderitaan ini. Karena aku tak dapat menemukanmu di sini. Oh Tuhan, sungguh
tak tertanggungkan penderitaanku ini! Aku sungguh tak sanggup hidup tanpa kehidupanku.
Aku tak sanggup hidup tanpa jiwaku!” Heathcliff lalu membenturkan kepalanya ke
batang pohon yang saling berbelitan; dengan mata terbelalak dia meraung,
suaranya tidak lagi seperti manusia, melainkan hewan liar yang terluka.
Ketika kita berbicara tentang cinta tidak
selalu merupakan sesuatu yang indah. Bahkan, bisa saja cinta itu berubah
dan mengarahkan pemiliknya pada sesuatu yang jahat dan kejam. Seperti
Heathcliff yang mendendam kepada semua orang di Wuthering Heights dan berniat
membalasnya.
Saat membaca novelnya saya sendiri pun takjub.
Bagaimana novel yang isinya kekejaman ini bisa di tulis dengan begitu elegan
dan puitis oleh Emily Bronte. Dari semua Bronte bersaudara, menurut saya,
tulisan Emily adalah yang paling cerdas. Seolah-olah lewat Wuthering Heights dia
mencurahkan jiwanya yang gelap dan tertekan. Membaca Wuthering Heights seperti
kembali menyusuri masa lalu dan tertinggal di sana. Perasaan yang timbul saat
selesai membaca novelnya pun cukup intens. Saya jadi ikut-ikutan merasa hampa
dan melankolis lalu marah pada Catherine yang egois. Saya bersyukur bahwa dia mati
lebih cepat.
Heathcliff sendiri mengingatkan saya pada seseorang
di dunia ini yang tidak perlu untuk disebutkan namanya. Ha! Sungguh mengerikan
jika kita bergaul dengan orang yang memiliki perilaku seperti Heathcliff
apalagi sampai menjadikannya pasangan.
Tidak
ada novel lain yang memberikan perasaan muram sepekat itu pada diri saya
kecuali Wuthering Heights. Saya sampai bela-belain beli novelnya dalam dua versi
bahasa Inggris dan Indonesia untuk di baca. Karena suka sekali dengan isinya.
Novel
itu kemudian di tutup dengan kematian Heathcliff. Penulis lalu menambahkan
sebuah cerita yang mengubah atmosfer muram di novel itu menjadi seram. Atmosfer
yang sama seperti saat cerita ini di mulai. Yaitu ketika Mr. Lockwood, sang
penyewa Thrusscross grange, terbangun karena mendengar suara ketukan di
jendela. Mengira suara ketukan itu berasal dari ranting pohon, ia bermaksud
menyingkirkan ranting pohon yang membuat suara berisik itu.
Namun, alangkah terkejutnya Mr. Lockwood saat sebuah tangan yang dingin terulur dari balik kegelapan dan menggenggam erat tangannya seraya mengaku bahwa ia adalah Catherine yang sudah tersesat selama dua puluh tahun di hutan dan kini sudah kembali.
Begitulah cara Emily Bronte membuat pembacanya merasa seram kemudian berubah muram untuk selanjutnya merasakan perasaan-perasaan kelam lainnya. Two thumbs up untuk novel ini. My all time favorite book!