Ada bermacam-macam genre buku di dunia ini. Dari
mulai petualangan hingga misteri. Setiap genre tersebut memiliki penggemarnya masing-masing. Sebutlah genre historical romance yang sebagian besar
penggemarnya adalah kaum perempuan. Sebenarnya, jika kita berbicara tentang
genre romance, tidak melulu bahwa itu selalu tentang historical
romance. Ada juga genre-genre romance yang lain. Seperti: horror-romance, drama
romance bahkan religious romance.
Historical romance misalnya adalah genre buku yang settingnya banyak mengambil latar di negara-negara Eropa. Terutama Inggris pada era Regency sekitar tahun 1400-an. Tidak selamanya mutlak, sih. Ada juga yang berlatar di Amerika ketika masa-masa bajak laut.
Namun, saya pribadi lebih menyukai historical romance berlatar Inggris. Selain karena penggambaran tempatnya yang indah, pemaparan tokoh-tokohnya juga menarik. Penuh dengan istilah-istilah kerajaan, bangsawan atau ksatria.
Historical romance mungkin tidak menjadi genre
buku favorit masyarakat Indonesia. Sama halnya seperti filsafat. Namun
biasanya, penggemar historical romance punya sifat yang militan, karena bisa sangat sabar mengoleksi series hisrom favoritnya hingga lengkap.
Sekilas, tema-tema dalam historical romance
mengingatkan kita pada buku-buku Jane Austen yang manis menggemaskan dengan
ending bahagia meskipun keduanya bisa dipastikan berbeda. Karya-karya Jane
Austen, sekalipun mengusung tema romance di era Georgian sekitar tahun 1800-an,
namun karena ditulis saat penulisnya juga hidup di era yang sama dengan
latar ceritanya, termasuk ke dalam karya kontemporer. Sementara, historical
romance sendiri haruslah karya yang ditulis di waktu lampau yang berlainan
dengan masa hidup penulisnya.
Cerita dalam historical romance memang kebanyakan
tidak membuat kita penasaran atau terkejut. Alih-alih, temanya justru sangat
umum dan familiar. Semisal: love-hate relationship dan
perjodohan. Memang terdengar kurang menantang, sih. Akan tetapi, justru
disitulah tantangannya: Bagaimana si penulis mampu mengolah tema yang
itu-itu saja, tanpa kehilangan kreatifitasnya untuk tetap menarik.
Bagi orang-orang yang kurang suka dengan kejutan
dan membenci cerita cinta yang tak berakhir bahagia, historical romance adalah
jawabannya. Menurut saya, historical romance itu adalah genre buku
yang paling kaya akan pembelajaran jika dibandingkan dengan genre novel romance
lainnya. Bukan hanya dari sisi sejarah. Tapi juga dari pemaparan suasana dan
karakter penokohannya yang kuat. Untuk menjaga isi cerita di genre tersebut
tetap wajar. Tidak terasa dangkal ataupun berlebihan.
Jujur saja, meskipun temanya biasa, menulis novel
historical-romance itu tidaklah mudah. Jika kurang piawai merangkai kata, terutama saat adegan flirting, hal tersebut bisa berakibat fatal. Entah kalimatnya
jadi murahan dan berlebihan atau terkesan mengada-ada seperti dalam novel
remaja.
Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila masih
ada orang-orang yang memandang sebelah mata genre buku ini hanya karena temanya
nampak biasa-biasa saja. Tidak spektakuler dan mengguncang dunia seperti genre
sci-fiction atau konspirasi. Terkadang, saya penasaran apakah orang-orang yang
mengaku tidak suka baca buku romance itu pernah membaca historical-romance dulu
di masa lalunya sebelum menghakimi buku-buku romance itu tidak bagus?
Saya rasa jawabannya tidak. Barangkali, komentar
mereka pun sebenarnya hanya ikutan-ikutan saja. Seperti halnya komentar
orang-orang ceroboh yang mengatakan bahwa novel Sitti Nurbaya itu adalah
tentang perjodohan. Seolah-olah si gadis dipaksa bapaknya yang kejam untuk
menikahi Datuk Maringgih. Padahalkan, ceritanya tidak seperti itu.
Sampai kapanpun, historical romance akan selalu
menjadi salah satu genre buku favorit saya. Membaca novel historical-romance
rasa-rasanya setara dengan menonton film komedi romantis yang membuat kita
tertawa; terbebas dari stress. Jangan selalu mengasosiasikan apapun yang berbau
historis dengan hal-hal yang membosankan. Karena setiap orang itu mempunyai selera
humor yang berbeda.
Ketika dulu pertama kali saya membaca novel
historical-romance yang berjudul Kingdom of Dreams karangan Judith McNaught,
saat adegan Jennifer Merrick mengobrol dengan penculiknya, saya tertawa bahagia
karena obrolannya begitu lucu dan menghibur.
Bagi saya, terkadang bukan karena tema spektakuler
atau ketenaran bukunya yang membuat saya tamat membaca. Tapi, lebih kepada cara
penulisnya bercerita, menggambarkan karakter tokoh-tokohnya seolah-olah mereka
itu benar-benar hiduplah yang paling penting. Dan itu, tentu saja tidak mudah.
Apalagi jika cerita tersebut dituliskan dalam novel bertema historical-romance.
Di bawah ini saya akan membagikan 3 tips dasar
untuk orang-orang yang tertarik menulis novel historical romance:
Pertama: Riset
Sebelum menulis hisrom, kamu terlebih dahulu harus menentukan era mana
atau peristiwa apa yang akan kamu jadikan latar cerita. Kalau latarnya di Eropa, kamu bisa memilih peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi disana pada masa lalu. Peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di Eropa,
contohnya: Black death, Akuisisi di Spanyol, Perang Salib, dll. Atau bisa juga,
jika kamu ingin menuliskan historical-romance dengan nuansa kearifan lokal,
kamu bisa mendata terlebih dahulu peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah
terjadi di Indonesia pada masa lalu. Misalnya: Perang Bubat, penjajahan Belanda di Pulau Jawa, runtuhnya Kerajaan Majapahit, dll. Lalu pilih salah satu latarnya dan
lakukan riset secara mendalam.
Kedua: Tentukan Alur Cerita
Jika kamu sudah memilih era mana yang akan kamu
jadikan latar, maka tentukanlah alur ceritanya. Misal, jika memilih latar
belakang perang Bubat, saya bisa saja menuliskan cerita tentang seorang wanita
Kerajaan Sunda yang menyamar menjadi dayang istana di Kerajaan Majapahit untuk
membalaskan dendam atas kematian keluarganya, yang terbunuh oleh Patih Gajah Mada saat
Perang Bubat. Tapi, sebelum rencananya berhasil, Sang Patih tahu-tahu malah
naksir dirinya. Sehingga si wanita harus bersandiwara.
Ketiga: Karakterisasi yang kuat
Dalam genre historical-romance, perempuan selalu
menang. Sehingga wajib bagi kamu untuk menciptakan tokoh perempuan yang kuat,
punya prinsip dan tujuan hidup yang ingin dicapai. Bukan berarti
kepribadiannya harus maskulin. Namun, karakternya harus bisa mencerminkan
perempuan lovable yang tangguh. Dalam rumus historical
romance, man should be chaser. Meskipun tidak mutlak demikian.
Setelah itu, jangan lupa untuk menciptakan konflik yang menghalangi mereka
untuk bersama sehingga butuh usaha untuk menyelesaikan konflik tersebut. Akan tetapi, konflik tersebut haruslah bertentangan dengan prinsip atau tujuan hidup yang
ingin dicapai oleh salah satu pihak. Jika kamu sudah terbiasa menulis, bagian
ini adalah bagian yang paling menyenangkan. Ciri-ciri bahwa karakterisasi tokoh
yang kamu ciptakan sudah kuat adalah saat pembaca bisa mengetahui siapa yang
berbicara dalam dialog tanpa membaca dialogue-tagnya.
Dialogue tag itu, misalnya: ucap
Elizabeth, seru Edward, kata Henrietta, dsb.
Well, segitu saja tips menulis dari saya hari ini.
Selamat mencoba!