Cerita Tentang Sepatu Boots

Thursday, February 27, 2020


Seberapa penting arti sepatu bagi wanita? Yang jelas sih kalau bagi saya; penting banget. Karena saya paling tidak tahan jika harus pakai sepatu yang bikin kaki saya lecet. Oleh karena itu, saya lebih baik sabar menabung untuk beli sepatu yang agak pricey tapi kualitasnya bagus dan nyaman dipakai; dibandingkan terpaksa menghamburkan uang untuk terus-terusan beli sepatu yang hanya tahan dipakai selama 3 bulan. Dengan alasan biar sepatunya banyak dan bisa diganti-ganti kalau sedang bosan. Lagipula, saya itu termasuk tipe orang yang agak malas untuk berbelanja jika tidak terlalu penting dan mendesak. Dan beli sepatu 3 bulan sekali menurut saya akan sangat merepotkan. 

Setiap wanita di dunia ini pasti punya model sepatu favoritnya masing-masing. Dan terlepas dari situasi apapun dan aturan apapun; sepatu favorit saya dari dulu sampai sekarang adalah boots. Lebih tepatnya ankle boots. Itu, lho, sepatu boots yang tingginya hanya semata kaki. Meskipun pada kenyataannya saya lebih sering pakai sepatu jenis lain, sih. Karena memang pakai sepatu boots itu sedikit ribet. Apalagi kalau saya sedang buru-buru. Dan memang untuk orang-orang yang hidup di negara tropis kayak saya; pakai sepatu boots itu akan bikin penampilan terlihat lebih stand-out dikeramaian. 

Entah kapan pertama kali saya jatuh cinta dengan sepatu boots ini. Yang pasti saya merasa sepatu boots mencerminkan jiwa saya banget. Disaat teman-teman perempuan saya keranjingan memakai flat-shoes; saya justru lebih suka dengan sepatu boots yang lebih sering dipakai oleh laki-laki. Tapi apakah saya perempuan tomboy? Sama sekali bukan. Lalu kalau begitu apakah saya perempuan feminim? Bisa jadi bukan juga. Karena saya lebih suka pakai baju warna gelap dan tidak begitu suka penampilan yang terlalu feminim seperti shabby-chic yang motifnya dipenuhi warna-warna pink-pastel dan bunga-bunga. Saya lebih suka penampilan yang mengkombinasikan keduanya. Dulu saya pernah nulis di postingan ini.

Ada dua alasan kenapa saya menyukai sepatu boots:

Pertama; kenyamanan 

Dibanding pakai high-heels yang beresiko membuat kaki pegal-pegal jujur saja saya lebih suka pakai sepatu boots karena alasan kenyamanan. Apalagi ketika saya naik motor. Hanya sepatu boots yang menurut saya tingkat safety-nya paling aman dibandingkan kalau saya pakai sepatu-sepatu jenis lainnya. Alas kaki yang menurut saya paling berbahaya untuk naik motor adalah model mules (yang bentuknya setengah sandal setengah sepatu) karena mudah sekali untuk terlepas. Saya sudah lama mencoret mules dari daftar alas kaki favorit saya. 

Kedua; fashionable

Tampilan boots yang edgy kelihatan keren banget di mata saya. Apalagi kalau dipadu-padankan dengan rok dan atasan bertema bohemian yang menjadi fashion statement favorit saya. Sepatu boots bikin orang yang pakainya kayak punya punya jiwa seni dan gaya sendiri. Kalau dia laki-laki, pakai sepatu boots bisa bikin auranya keliatan macho banget. Sementara kalau dia perempuan dan pakai sepatu boots entah kenapa kesannya keren aja. Bisa dipastikan perempuan yang suka pakai sepatu boots bukanlah tipikal perempuan pasif-agresif yang ngomongnya nggak apa-apa padahal kenyataannya sedang menghukum kamu dengan silent treatment. 

Sedikit tips buat kalian yang ingin bergaya dengan sepatu boots; jika tubuh kalian tidak terlalu tinggi pilihlah boots dengan model ankle boots yang tingginya hanya semata kaki. Sehingga jika dipakai tidak akan membuat badan tenggelam. 

Membaca Tanda-tanda Alam

Monday, February 24, 2020


Dulu saat SD saya banyak menghabiskan masa-masa kecil saya bermain bebas di alam. Sesederhana berlarian di lapangan tempat kami bermain layang-layang, memetiki daun-daun dan bunga-bungaan, bergelantungan di pohon pisang, bermain lumpur, serta sesekali ikut memanen jagung di kebun kakek atau membuat perangkap belut di sawah bersama para anak laki-laki. Pernah juga saya terjun ke kolam ikan tetangga yang dipenuhi puluhan lele tanpa takut tersengat hanya untuk menolong kucing yang awalnya saya dan teman saya ceburkan kedalamnya hanya karena ingin memberinya makan dengan ikan-ikan segar di kolam. 

Masih terekam jelas juga di ingatan ketika pada suatu hari saya dan teman-teman saya yang badung itu sengaja mencabut paksa pohon tebu yang banyak tumbuh di pinggir kolam pemancingan karena penasaran. Lalu ibu salah seorang teman kami berbaik hati mengupaskan kulit batang tanaman itu hingga bersih lantas membagi tebu itu menjadi banyak potongan kecil. Jangan bayangkan cara memakan potongan tebu itu adalah dengan menghisapnya. Karena tentu saja airnya tidak akan keluar. Kau harus mengunyahnya.

Berada di alam bebas membuat saya yang masih kecil tertarik dengan pembahasan mengenai alam liar berikut rahasianya. Sehingga saya begitu takjub ketika mendengar nenek saya yang dulu tinggal di kampung bercerita bahwa tanaman singkong yang tumbuh di dekat pohon besar; rasanya tidak akan enak. 

Selain bisa memprediksi rasa singkong yang enak dan tidak enak, beliau juga pandai membaca tanda-tanda alam. Seperti misalnya perilaku binatang dan cuaca berdasarkan arah angin. Atau bahkan tanda-tanda ketika akan turun hujan. Bagi saya yang awam, tanda-tanda akan turun hujan apalagi kalau bukan mendung. Padahal berapa kali kita pernah merasakan cuaca sudah lembab dan langit juga mendung tapi tetap tidak turun hujan. 

Berhubung hari ini di tempat saya tidak turun hujan setelah beberapa hari terakhir dilanda hujan. Saya jadi mau membagikan beberapa ciri pertanda alam jika akan diguyur hujan.

Embun menghilang

Dulu ketika masih kecil, saya paling hobi bangun pagi-pagi. Apalagi jika menginap di rumah nenek saya. Karena saya dan saudara-saudara saya selalu punya misi untuk pergi menangkap capung-capung yang masih tidur di dedaunan untuk dimasukan ke dalam toples yang tutupnya dilubangi kecil-kecil.

Kebetulan kebun itu adalah sepetak tanah yang ditumbuhi sejenis tanaman untuk pakan sapi. Dan ketika masih pagi, capung-capung yang belum terbang itu akan hinggap di dedaunan tersebut sehingga memudahkan kami untuk menangkapnya. Ketika kami menyibak masuk ke dalam kebun, tak jarang baju kami yang awalnya kering akan basah terkena percikan air embun. Dan hari itu biasanya akan cerah hingga sore. Tapi jika hari itu akan hujan, embun pagi yang biasanya banyak terdapat di dedaunan justru menghilang. Hal ini disebabkan karena angin bertiup kencang dan suhu udara rendah. Tapi, hal ini tidak berlaku jika di malam sebelumnya telah terjadi hujan.

Perilaku binatang berubah

Kalau kalian cukup beruntung menemukan sarang laba-laba yang baru, maka perhatikan apakah si laba-laba masih bertengger disitu? Karena jika beberapa jam lagi akan turun hujan, laba-laba tersebut akan meninggalkan sarangnya mencari tempat persembunyian yang aman. Begitu juga burung-burung dan hewan-hewan terbang lainnya. Jika beberapa jam akan turun hujan maka burung-burung itu akan terbang lebih rendah dari biasanya karena tekanan udara yang tinggi menyulitkan mereka.

Selain itu, nyamuk-nyamuk pun akan lebih aktif untuk menggigit di pagi hari. Sementara lalat akan cenderung hinggap diam di tembok atau dinding. Tidak berseliweran seperti biasa. Bahkan, beberapa hewan yang baunya khas seperti kambing; akan mengeluarkan bau yang lebih pekat dari biasanya jika sebentar lagi akan turun hujan. Saya tahu ini; karena dulu kakek teman saya memelihara kambing tak jauh dari kediaman rumah teman saya tersebut. Sementara saya seringkali main di rumahnya.

Bunga-bunga lebih wangi

Percaya atau tidak bunga-bunga justru akan menjadi lebih wangi jika sebentar lagi akan turun hujan. Sama halnya seperti bau kambing yang juga demikian. Bagi orang-orang yang tinggal di desa dan menghabiskan banyak waktu bermain-main di kebun seperti saya, mungkin hal ini bukan rahasia lagi.

Awan di puncak gunung

Jika, kebetulan rumah kalian dekat dengan gunung atau akan mendaki gunung dan melihat awan melingkupi puncak gunung maka kemungkinan besar sebentar lagi akan turun hujan. Namun, jika yang kalian lihat adalah awan di lembah atau kabut tipis maka kemungkinan besar hari itu akan cerah.

Sebenarnya masih banyak lagi tanda-tanda alam lain yang ingin saya ceritakan. Tapi, untuk kali ini segitu saja dulu tulisan saya. Happy traveling dan selamat membaca tanda-tanda alam!

Dialog dengan Diri Sendiri

Thursday, February 20, 2020



Jika kamu jeli mengamati sebenarnya kebanyakan manusia itu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berbicara dengan orang lain. Tapi apakah kamu ingat kapan terakhir kali kamu berbicara dengan dirimu sendiri? Atau justru kamu merasa orang-orang yang berbicara dengan diri mereka sendiri itu gila? 

Bagi saya pribadi berbicara dengan diri sendiri itu normal. Bahkan merupakan sebuah kebutuhan. Seperti saat saya menulis ini pun sebenarnya saya sedang berimajinasi dan berbicara dengan diri saya sendiri. Dan pembicaraan saya dengan diri sendiri bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan dipicu oleh berbagai macam hal di dunia ini. Tidak harus selalu peristiwa besar dan spekatakuler. Bahkan pemicunya seringkali merupakan hal-hal kecil dan dangkal seperti sesederhana mendengarkan lagu “You’re not from here-nya” Lara Fabian. 

I don’t know what is going on. You turn around and touch my heart. A silent moment speaks the truth. Something has happened all at once…. ¯¯¯

Dalam bayangan kali ini aku melihatmu (diriku yang dulu) mengatakannya. Sejujurnya aku menyayangimu dari semenjak dulu, sekarang, di masa depan dan bahkan untuk selamanya. Tapi biarkanlah aku mengomelimu terlebih dahulu. Kau pasti ingat apa yang kumaksudkan. Dan perasaanmu bahkan bercampur aduk ketika mengingatnya. Kau kebingungan antara ingin meledak atau berpura-pura tegar seolah semuanya baik-baik saja, bukan? Tapi bagaimanapun itu semua sudah berlalu. Seperti membuka buku catatan amal di Hari Pembalasan. Sia-sia saja jika kau ingin memperbaikinya.

It should have scared me in advance…. ¯¯¯

Bagaimanapun di masa depan kau harus punya batasan. Dunia ini luas dan beragam. Tak hanya dihuni makhluk-mahkhluk berhati malaikat sebagaimana orang-orang ditempatmu dibesarkan. Tak sedikit di dalamnya banyak jiwa-jiwa setan bersemayam. 

But I was falling in those eyes of yours and so fear was gone. I knew there was nothing else I’d ever want…. ¯¯¯

Begitulah dirimu yang dulu. Dan terkadang di beberapa waktu di masa sekarang kau masih seperti itu. Memandang semua orang dengan tatapan bahagia tanpa peduli ada pisau dibalik tangan mereka. Tapi tak mengapa; aku tak berhak menghakimimu lebih jauh. Bagaimanapun dari awal aku sudah menyatakan bahwa aku akan menyayangimu untuk selamanya. Utuh dan apa adanya. Aku kagum padamu yang selalu yakin akan perlindungan-Nya. 

I know you. You’re not from here…. ¯¯¯

“Kampung halaman kita memang bukan di sini. Bukan di dunia ini. Ada masanya aku akan kembali. Dan semua penderitaan ini akan berakhir. Ini hanya sementara,” katamu pada suatu hari yang hujan. Tepat ketika kita sama-sama terdiam. Entah karena dada terlalu sesak oleh berbagai pertanyaan atau begitu kosong tanpa menyisakan satupun pertanyaan. 

I’ve waited you to appear to take my breath away. And make me weep. Just a touch of yours and I fly, and I fly, and I fly…. ¯¯¯

“Karena aku meyakininya maka aku harus mengusahakannya. Agar kepulanganku nanti tidak percuma,” tekadmu. Maka alih-alih terpuruk-meratapi kau justru bekerja keras untuk mewujudkannya. Kau berubah. Sikapmu tak lagi seegois dulu. Kau lebih banyak melihat ke dalam dirimu. Mengurangi sedikit demi sedikit kebiasaan menghakimi perilaku orang lain hanya dari sudut pandang dirimu sendiri. Dan menolak peran sebagai korban sesakit apapun cobaan yang kau hadapi.

Dan kini, setiap hari yang berlalu hanya menjadi penambah rindu untukmu. Menjadi tanda yang kerap kau syukuri bahwa semakin dekatlah waktu kepulanganmu itu. Orang-orang di luar dirimu tentu saja tidak mengerti. Hanya aku saja yang mengerti pikiran rahasiamu itu. 

I can’t get used to missing You. If this is how it’s gotta be. I need an angel to watch over me. No one can hold the hands of time. But I can hold You in my mind. Over and over like a melody…. ¯¯¯

Betapa mengherankannya bahwa kini dirimu menjadi begitu merindukan sesuatu justru tepat di saat kau tengah kehilangan sesuatu yang lain. Sesuatu yang kau rindukan kali ini berbeda. Tidak membuatmu cemas dan bertanya-tanya seperti ketika dulu kau memilikinya. Alih-alih, justru menimbulkan rasa tenang. Mungkinkah ini rahmat-Nya yang disamarkan? 

Tuhan terlalu pemurah untuk mempermainkanmu. 

Sudut Pandang Catherine Heywood

Tuesday, February 4, 2020



Hallstatt, Austria 1821
Untuk Saudariku tersayang;
Anna Heywood

Sambil menulis ini aku berada di depan Danau Hallstattersee pada penghujung musim gugur yang sepi. Dimana air danau yang dingin dan bening tak hanya memantulkan jajaran pegunungan Dachstein yang kokoh berdiri tenang disekelilingnya. Namun juga warna langit sore yang muram keunguan. Menguarkan wangi pinus ke udara. Bercampur dengan aroma mawar merah yang menjalari setiap dinding rumah-rumah tradisional penduduknya di Pedesaan Hallstatt. Membuatku merindukan hangatnya perapian, selimut tebal dan buku-buku bacaan di perpustakaan rumah kita di Inggris.

Sembari duduk menatap Danau Hallstattersee aku menulis untuk merefleksikan jalan yang sudah kutempuh selama dua puluh lima tahun usiaku. Kau tentu tidak akan menyangka jika jalan hidupku disini nyatanya mengalir mengikuti alur dalam novel klasik yang sempat kau gemari. Kini aku merasa seperti Anne Elliot dalam Persuasion yang ditulis oleh Jane Austen.

Membaca kembali novel tersebut dengan pemahaman yang lebih bijaksana, membuatku semakin mengagumi ketabahan Anne; ditengah orang-orang yang tak sengaja melukai hatinya. Apalagi disaat Kapten Wentworth datang ke Kellynch lalu tinggal tak jauh dari kediaman Anne. 


Meskipun menanggung derita akibat kedatangan Sang Kapten, perilaku Anne yang begitu lembut dan santun membuat orang-orang disekelilingnya tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Anne adalah tipikal perempuan yang sangat kuat. 


Mungkin aku tidak seutuhnya sama seperti Anne Elliot yang begitu anggun dan dewasa dalam menghadapi segala sesuatu. Karena aku masih belum bisa memandang Frederick dengan perasaan yang sama ketika aku memandang teman-temanku di Hallstatt. Frederick bukanlah Kapten Wentworth. Dan seringkali kenyataan berbanding terbalik dengan akhir cerita di dalam novel roman yang kita baca.

Meskipun begitu aku selalu merasa ada sesuatu yang familiar mengenai Frederick yang mengingatkanku pada Sang Kapten dan diriku sendiri. Bahkan ketika kami pertama kali bertemu. Meskipun pada awalnya aku tidak bisa menjelaskannya, namun seiring berjalannya waktu aku menemukan sebuah teori mengenai kembar-jiwa yang tak sengaja kubaca di salah satu halaman buku tua. Yang sepertinya bisa menggambarkan mengenai keadaan jiwa kami berdua. Seolah-olah aku merasa ditarik kembali pada waktu-waktu tertentu dalam hidupku setiap kali aku mengingatnya.

Frederick ternyata pernah tinggal di Yorkshire saat Ia berumur lima tahun. Dan aku bahkan tidak  menyadari bahwa dulu aku juga pernah pergi kesana. Kesadaran ini muncul begitu saja di masa-masa saat aku masih bersama dengan Frederick; bahwa padang rumput luas yang sewaktu kecil pernah keluarga kita datangi selama beberapa minggu itu adalah Yorkshire yang muram; yang jarang sekali menjadi tempat favorit orang-orang untuk berwisata. Mungkin saja sebenarnya aku dan Frederick pernah berpapasan saat itu karena dia juga bersekolah disana.

Dan yang tak kalah mengejutkannya adalah tatkala selang dua puluh tahun kemudian pria itulah yang justru mendapat giliran untuk datang ke Hallstatt. Yang letaknya ribuan mill jauhnya dari Kota London. Bahkan tak hanya sekedar datang tapi dia juga menemuiku.

Di lain kesempatan, aku pernah tak sengaja melihat nomor seri kereta kuda miliknya yang terasa begitu familiar. Sampai akhirnya aku menyadari jika nomor seri keretanya tersebut sama persis dengan nomor seri kereta kuda milikku di Inggris yang masih dirawat hingga kini. Kau tentu saja masih ingat sejarah dibalik nomor seri tersebut. Dan mengapa aku bersikeras mencantumkan nomor tersebut di keretaku.

Dan masih banyak lagi hal-hal yang kualami yang entah mengapa sebagian besarnya bersinggungan dengan diri Frederick. Tapi, meskipun kehidupan kami pada akhirnya tidak berujung seperti dalam novel Persuasion; aku justru belajar banyak hal dari laki-laki tersebut. Dan bahwa aku kini telah menjadi sosok yang berbeda. Sosok yang mampu untuk menertawakan dirinya sendiri.

Setiap kali aku mengingat masa-masa dengan Frederick, alih-alih menggerutu, aku akan selalu ingat lelucon ini bahwa meskipun dulu aku pernah merasa jatuh cinta pada seorang pria; namun kenyataannya aku malah melampaui tahapan tersebut dan langsung jatuh, terjun-meluncur bebas, sehingga karam dan tenggelam.

Namun untungnya aku masih bisa berenang!


Saudarimu yang tegar,



Catherine Heywood