Akhir-akhir ini setiap aku memejamkan mata, aku melihat adegan dengan latar langit malam yang muram. Lalu berangsur-angsur berganti menjadi langit yang dipenuhi percik bunga kembang api. Setelah percik bunga kembang api itu pudar, langit kembali sepi. Sementara dirimu, melebihi metafora manapun. Mungkin kamu adalah
infinity yang tak terhingga. Tak bisa didefinisikan.
"Kata "bahagia" tidak ditemukan di surat manapun di dalam Quran. Kecuali hanya satu kata saja di Surat Hud ayat 108: "Adapun orang-orang yang berbahagia tempatnya di dalam surga..."
"Artinya?" tanyaku padanya.
"Agar kita tahu bahwa kebahagiaan hakiki itu tempatnya hanya di surga."
Lalu kita berdua tenggelam dalam diskusi filosofis yang panjang dan mendalam. Namun agak sedikit ajaib karena untuk bahasan seserius itu kita berdua masih bisa tertawa santai sembari merangkai-rangkai asumsi. Lain kesempatan kita terlibat lagi dalam perbincangan yang menarik; tentang hobi kita masing-masing.
"Aku suka lari pagi, menulis dan membaca," katamu.
Mengapa membaca? Membaca tidak keren sama sekali. Batinku saat itu.
"Sesekali kau harus berpetualang, update Instagram story seperti orang-orang," nada suaraku berubah menghakimi. Seolah-olah dia jadi membosankan hanya karena hobinya bukan jalan-jalan dan jarang update Instagram.
"Kamu tahu tidak?" sambungnya tanpa menyinggung komentarku sedikitpun. "Menurutku, masing-masing orang setidaknya wajib memiliki tiga jenis hobi yang berbeda."
"Apa saja?" tanyaku menerka-nerka kemana arah pembicaraan ini akan bermuara.
"Tiga jenis hobi itu adalah hobi yang bisa menjadi tempat menyalurkan emosi, hobi yang membuat sehat, dan hobi yang menghasilkan uang. Dan ngomong-ngomong apa hobimu?" tanyanya antusias.
"Main sepak bola dan traveling," jawabku bangga.
Alih-alih mencela hobiku, perempuan itu tidak melakukannya. Dia malah bertanya tempat paling jauh manakah yang pernah aku datangi. Dan apakah aku menikmati setiap perjalanannya.
Ketika tiba giliranku bertanya balik mengenai tempat manakah yang paling jauh menurutnya, perempuan itu hanya menjawab, "Bagiku tempat yang paling jauh adalah masa lalu," ujarnya singkat diliputi misteri.
Saat aku membayangkan hal-hal random mengenai percakapan kami tersebut sesungguhnya aku sedang berada di masa kini. Dan sesungguhnya sudah tidak ada lagi kami di saat ini. Tidak juga sebuah kencan yang baik.
Dia mengirimkan sebuah gambar lewat chat disertai kata-kata: "Menurutmu awan ini mirip apa?" Yang langsung ku jawab dengan koala.
Dan lima detik kemudian balasan dari dia masuk hanya untuk membantah isi pesanku dengan mengatakan bahwa ada hewan yang lebih mirip dengan awan di gambar tadi yang bagiku tidak ada bedanya.
"Menurutku ini lebih mirip beruang, deh."
Dan percakapan konyol itu pun berujung pada betapa panasnya hari ini. Dan panas-panas begini, paling enak makan es campur.
"Nanti pulangnya ku jemput ya. Kita makan es campur bareng," kataku pada akhirnya.
Hari berikutnya, dia mengajakku main tagar-tagaran. Permainan apa ini? Aku jarang sekali berhasil menebak pikirannya dan apa yang akan dia lakukan.
"Jadi kamu tinggal meneruskan kata-kata yang pakai tagar, 'Jangan lebay, sakit hatimu, titik... titik... titik...' begitu. Tapi harus lucu ya," katanya dengan antusias. Aku berpikir keras kira-kira kata-kata apa yang menurutku lucu.
"Jangan lebay, sakit hatimu nggak sepedih narik bulu ketiak pakai lakban," ucapku asal yang disambutnya dengan derai tawa. Rupanya sangat mudah membuat dia bahagia.
"Jangan lebay, sakit hatimu nggak seperih abis sunatan langsung panjat pinang," balasnya sadis. Aku tertawa ngakak. Dia ternyata lebih savage.
Walau begitu, mungkin hanya aku yang pernah tahu bahwa dia selucu itu. Karena di depan orang lain dia tidak seperti itu.
Dia lebih sering terlihat diam dan sibuk dengan dunianya sendiri. Mengetik sesuatu di laptop atau membaca buku. Bukan tipikal perempuan yang over-sharing mengenai kehidupan pribadinya.
Bergaul dengannya membuatku bisa berpikir out of the box. Diam-diam aku bertumbuh menjadi orang yang lebih baik. Aku tak lagi memulai percakapan dengan kalimat-kalimat basi semacam pertanyaan: 'Lagi ngapain?' atau 'Udah makan belum?'
"Kamu tahu tidak? Aku barusan liat fotomu. Dan aku jadi teringat sesuatu," kataku mengawali percakapan.
"Teringat apa?"
"Teringat... jika ternyata kamu mirip bintang film favoritku."
"Siapa?" tanyanya penasaran.
"Doraemon," jawabku usil. Disertai dengan emoticon jahil yang banyak.
"Awas ya," katanya sewot. Aku senang dengan responnya yang ketus itu.
Walaupun begitu, aku masih mempertimbangkan dengan sangat hati-hati untuk mengikatkan diriku padanya yang setelah kupikir-pikir dia kurang begitu eksis dalam lingkup sosial yang bisa saja malah mengancam reputasiku yang cemerlang. Meskipun harus kuakui bahwa dia sudah cukup cantik dan menyenangkan. Terutama jika dilihat dari cara berpikirnya.
Apalagi sekarang karierku sedang menanjak naik dan aku butuh perempuan yang sedikit populer untuk mengangkat kehidupanku.
Maka sebab itulah aku putuskan bersikap jahat padanya dengan memilih perempuan lain tepat disaat dia mulai terbuka padaku. Aku mengkhianati kepercayaannya yang sulit itu.
"Maaf," kataku pada akhirnya.
Dan aku pergi, melenggang bebas bersama perempuan lain yang kupikir bisa mengangkat harkat-derajat-martabatku.
Wanitaku yang baru ini berbeda sekali dengan dia; tidak hobi lari pagi, tidak hobi membaca apalagi menulis. Hobinya cuma dua: jalan-jalan dan berorganisasi. Dan ini sesuai dengan ambisi pribadiku. Dan tentu saja dia sangat update di media sosial. Apalagi dia dikenal banyak orang. Dan aku sangat suka dengan perhatian. Aku seperti memenangkan piala yang setiap orang berusaha ingin mendapatkannya.
Terbiasa keliling dunia ketika muda nyatanya berdampak buruk di masa tua jika kemampuan finansial sangat terbatas atau bahkan tidak ada uang sama sekali. Seperti kehidupan yang kini sedang aku jalani.
Aku tak bisa terus menerus memenuhi keinginannya untuk jalan-jalan. Apalagi ketika kami sudah punya tanggung jawab bersama. Dan terlebih ketika semua teman-teman kami yang dulu selalu bersama-sama mengagumi kami mulai menjalani hidupnya sendiri-sendiri. Jauh tersebar di berbagai pelosok kota se-Indonesia.
"Aku stress diam di rumah!" ucapnya frustasi lalu membanting pintu kamar ketika aku pulang bekerja.
Setelah itu dia menghukumku dengan silent treatment. Menyebalkan. Sangat-sangat menyebalkan. Waktu satu tahun nyatanya sanggup menghapus seluruh rasa cinta dan pola pikirku di masa lalu. Sesingkat itu. Dan secepat itu.
Aku tak lagi merasa jika hobi jalan-jalan atau kegemaran kumpul-kumpul komunitas yang diikuti oleh istriku adalah sesuatu yang keren.
Alih-alih, hobinya itu terasa seperti neraka. Apalagi jika keuangan kami bermasalah. Belum lagi dengan kebiasaannya update di media sosial. Keluhan dan curhat-curhatan terselubungnya di caption Instagram menambah runyam permasalahan.
Ingatanku kembali pada dia yang dulu ku pandang sebelah mata. Hobinya membaca buku ternyata bisa menghasilkan uang karena dia juga suka menulis sekaligus merangkap menjadi transcriber, penerjemah dan editor sebuah majalah.
Kebiasannya jarang update Instagram yang dulu kuanggap sebagai "kekurangan karena tidak eksis dalam lingkup sosial" nyatanya adalah softskill yang langka karena sebagai gantinya dia jadi lebih baik dalam berkomunikasi langsung secara asertif.
Tidak ada dalam kamusnya mendiamkanku berhari-hari tanpa komunikasi. Apalagi curhat galau di media sosial tentang permasalahan kami. Dia juga tidak gampang stress jika aku malas mengajaknya jalan-jalan dalam waktu yang cukup lama. Karena dia memang lebih suka di rumah. Mengurus bunga-bunga atau kucing peliharaannya.
"Aku merindukanmu yang dulu," ujarku sembari mereka-reka skenario percakapan fiktif kami di alam pikiranku sendiri.
"Bukankah kau lah yang telah membunuhku di masa lalu?"
Tidak. Tidak. Dia tidak mungkin membalas kalimatku seperti itu. Barangkali dia berubah. Dan barangkali pula dia sudah tidak ingin lagi berurusan denganku. Dia pasti hanya akan mengacuhkan diriku. Menganggapku tiada atau mati di telan gempa bumi.
Tapi entah mengapa ada satu kalimat yang terakhir kali kuingat diucapkannya, berputar-putar terus di otakku, "Tak perlu pergi menjauh. Tanpa pergi sekalipun diammu telah menjadi jarak paling jauh yang tak mungkin aku tempuh."
Now, I know what was really like to live in her shoes.