Toxic Positivity: Niat Baik Yang Tak Berujung Baik

Monday, October 28, 2019



Mari kita akui bahwa tidak semua hari berjalan seperti yang diinginkan. Ada kalanya manusia menjalani hari–hari yang sangat berat dan menyedihkan. Manusia tidak bisa selalu berada dalam kondisi puas dan bahagia. Oleh karena itu,  kita pun pasti pernah mendapati seseorang yang bercerita mencurahkan perasaan sedihnya kepada kita.

Namun alih-alih berempati pada perasaannya, kita seringnya malah langsung menasehati perilaku orang yang bercerita tersebut. Membanding-bandingkan masalahnya dengan masalah kita yang menurut ukuran kita jauh lebih besar. Dan menyemangati mereka untuk segera melupakan masalahnya tersebut. Padahal yang benar-benar dibutuhkan oleh orang-orang dengan beban emosional adalah rasa empati.

Beban emosional adalah sesuatu yang menyakitkan. Tidak semua orang dianugerahi mental yang kuat dan hati yang sabar. Masalah yang dipandang sepele bagi orang lain belum tentu juga sepele bagi dirinya. Langsung memberikan nasehat tanpa proses validasi emosi pada orang-orang dengan beban emosional, ibarat kita sedang  memaksa mereka untuk menimbun perasaan negatifnya. Yang lama kelamaan bisa membesar dan mengakibatkan dampak buruk pada kejiwaan dan raga.

Memberikan nasehat semacam, “Udahlah move on aja!” atau “Nggak ada orang yang diuji lewat batas kemampuannya kok. Yang ada itu cuman orang yang nggak mau bersabar!” bisa jadi bagi sebagian orang terdengar menyakitkan. Alih-alih diterima sebagai niat yang baik, kata-kata penyemangat semacam itu justru bisa membuat orang-orang dengan beban emosional merasa tidak berarti. 

Mereka bisa saja malah semakin tidak percaya diri untuk mencurahkan perasaannya karena khawatir dihakimi lemah atau pengecut karena terkesan mengeluh.

Maka jangan heran, jika banyak orang yang meskipun dari luar tertawa riang dan bahagia namun pada akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Karena mereka tidak kuat lagi memendam perasaannya sendiri.

Barangkali kitalah sebagai masyarakat yang menjadi pemicunya. Kita gagal berempati pada perasaan orang lain. Kita memaksa mereka untuk mengabaikan perasaan-perasaan negatifnya dengan menyuruh untuk selalu bersikap positif. Padahal tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang bisa terus-menerus merasa positif dan bahagia seumur hidupnya.

Coba bayangkan skenario ini:

Kamu mengalami hari yang buruk. Tidak sengaja bertemu dengan mantan yang baru saja putus seminggu yang lalu karena dia selingkuh. Padahal kamu sedang mencoba move on. Lantas, kamu pun bercerita kepada temanmu. Bahwa meskipun kalian sudah putus kenyataannya kamu masih sangat mencintai mantanmu itu. Kira-kira mana respon di bawah ini yang menurutmu terdengar lebih empati?

Respon pertama:

“Udahlah move on aja! Nggak pantas tahu mengharapkan dia. Lagian emang kamu mau diselingkuhin lagi kalau balikan?"

Respon kedua:

“Pasti dilema banget ya kalo jadi kamu. Aku juga nggak kebayang. Apalagi kamu baru aja putus. Yang sabar ya..."

Dari dua respon di atas, respon kedua terdengar lebih empati dan tidak menghakimi, bukan? Karena si pendengar pertama-tama memvalidasi emosi orang yang curhat kepadanya sebelum memberikan nasehat. Inilah hal penting yang hilang dari kebanyakan orang-orang di masa kini ketika berhadapan dengan orang yang sedang curhat.

Jika kamu berempati tunjukan bahwa kamu mendukung mereka dengan memvalidasi emosinya terlebih dahulu. Kamu bisa mengatakan, “Wajar kok kalau kamu kecewa,” atau “Iya ya dia memang menyebalkan,” atau bisa juga “Duh pasti nggak enak banget ya.” 

Dibandingkan jika kamu malah langsung memberikan kata-kata nasehat atau penyemangat, semisal: “Udahlah lupain aja!” atau “Ngapain sih dipikirin mulu!” yang justru malah membuat mereka menjadi semakin sedih dan patah semangat karena perasaannya nampak tidak penting dan diabaikan.

Ketika orang yang curhat dengan kita tersebut sudah tuntas dengan apa yang ingin dia ceritakan, barulah kita bisa memberikan semangat positif di tahap akhir. Ini jauh akan lebih baik karena mereka sudah melepaskan emosinya sehingga bisa diajak berpikir secara sadar untuk menerima kesedihannya.