5 Mindset Orang Indonesia Yang Perlu Diubah

Wednesday, September 25, 2019


Sebagai orang Indonesia yang lahir dan tumbuh besar di negara sendiri, saya sering sekali menemukan pola pikir dan kebiasaan orang-orang disini yang bertentangan dengan hati nurani saya pribadi. Entah apakah orang lain juga mempunyai perasaan yang sama ataukah tidak. Yang jelas, kalau menurut saya… beberapa mindset di bawah ini harus diubah. 

“Kan tempat umum!”

Sangat gampang menemukan orang yang sedang merokok dimanapun di Indonesia. Tak hanya di teras rumah mereka sendiri. Bahkan di dalam angkutan umum, taman kota sampai di tempat-tempat kondangan pun selalu ada yang merokok. Dan seringkali orang-orang yang merokok di tempat umum tersebut nampak santai saja. 

Tidak ada rasa bersalah nampak pada raut wajah mereka. Malah kebanyakan justru punya mindset, “Kan tempat umum!” jadi sah-sah saja merokok. Padahal mindset seperti itu keliru. Justru karena di tempat umumlah maka kita tidak boleh merokok. Percuma dong pemerintah menyediakan ruangan khusus untuk merokok. Kalau masih merokok di tempat umum.

Banyak orang yang mendatangi tempat umum. Dari mulai orang tua, bayi, anak-anak bahkan ibu hamil. Bayangkan kalau kita merokok di tempat umum. Selain akan menganggu kenyamanan orang lain, asap rokok yang dihembuskan orang-orang yang merokok tentunya mengandung penyakit jika sampai terhirup. Maka dari itulah, kegiatan merokok di tempat umum sebaiknya tidak dilakukan. Lagian, racun kok dibagi-bagi. Heran deh. 

Tapi, alih-alih mengakui dan meminta maaf karena kekeliruannya, kebanyakan orang-orang Indonesia seringnya malah bersikap bebal dengan mencari-cari pembenaran dibalik kata-kata, “Terserah gue dong! Rokok-rokok gue. Yang beli gue. Hak-hak gue dong mau ngerokok dimana juga!” Tak heran jika Indonesia masih jadi negara berkembang. Bisa jadi orang-orang seperti itu mungkin sedang lupa. Lupa bahwa meskipun dia punya hak (untuk merokok), orang lain juga punya hak yang sama (untuk mendapatkan udara tanpa polusi asap rokok).

“Harga temen dong!”

Salah satu kebiasaan orang Indonesia ketika punya kenalan yang punya bisnis adalah tak malu-malu meminta harga temen. Padahal seringnya harga temen ini malah berubah jadi eksploitasi karena justru jadi seenaknya, jauh lebih murah dan terkesan nggak menghargai perjuangan teman kita yang merintis usaha. Meskipun di-iya-kan bisa saja permintaan kita ini malah membuat teman kita rugi, kecewa bahkan gulung tikar. 

Menurut saya pribadi, harga temen itu harusnya lebih mahal dari harga standar karena sebagai temen dia semestinya lebih mengerti betapa lelah dan susah payahnya temannya itu bekerja. Bukannya malah menawar harga jauh di bawah harga standar plus ngotot minta diskonan. Yang berpotensi membuat bangkrut usaha temannya. Bayangkan jika 7 orang dari 8 orang sahabatnya minta harga temen. 

Kebayang dong bakalan kayak gimana? Bisa-bisa usaha yang baru dirintis harus gulung tikar karena terlalu banyak ngasih harga temen. 

Kalaupun kita mau minta harga temen setidaknya kita juga harus ada timbal balik untuk teman kita. Misalnya kita bantu promosikan usahanya, mengenalkannya dengan networking baru dan menawar sewajarnya. Tidak memaksa apalagi bersikap sadis seenaknya minta banyak diskonan padahal kita mampu membayar dengan harga standar. 

Jangan biarkan harga temen membuat usaha teman-teman kita mencari nafkah jadi bagai bersedekah pada kita. Friend is friend. Bussiness is bussiness.

“Ngamplopnya segini ajalah…”

Di Indonesia adalah hal yang lumrah jika diundang ke acara pernikahan, tamu yang datang pasti akan menyelipkan amplop yang berisi uang ke dalam kotak yang sudah disiapkan oleh pihak penyelenggara acara. Semakin mewah pesta pernikahan yang dihadiri, orang biasanya semakin gengsi jika memberikan amplop dengan isi yang sedikit atau standar. 

Berbanding terbalik jika kita menghadiri pesta undangan dari orang yang biasa-biasa saja. Atau orang-orang dengan ekonomi menengah ke bawah. Isi amplop yang diberikan pun biasanya jauh lebih sedikit bahkan di bawah standar jika dibandingkan ketika kita menghadiri pesta pernikahan yang mewah. 

Tapi pernahkah kita berpikir? Jika orang-orang dengan ekonomi pas-pasan yang menggelar pesta pernikahan tersebut justru jauh lebih membutuhkan uang pemberian dari kita. Karena kenyataannya tak sedikit orang-orang seperti mereka itu berhutang terlebih dahulu ketika akan menggelar sebuah pesta. Maka dari itu, baiknya sih kita lebihkan isi amplopnya. 

Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah kaya. Bagi orang kaya mungkin uang puluhan juta tersebut cuman dipake buat beli tas branded atau sepatu baru. Beda banget dengan orang-orang yang ekonominya pas-pasan yang kemungkinan besar justru dipakai untuk bayar utang pasca resepsi atau memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

“Masih mahal ah!

Sebagai orang Indonesia yang digadang-gadang punya sifat ketimuran dan senantiasa bersikap ramah, kenyataannya kita seringkali bersikap tega. Terutama kepada para pedagang kecil yang hasil usahanya tidak seberapa. Sebutlah para pedagang kelilling dari mulai para pedagang sayur sampai mainan anak-anak. 

Kita seringnya tidak segan-segan menawar harga barang yang mereka jual dengan semena-mena. Tapi, ketika kita berada di toko yang lebih besar atau menemukan penjual yang berasal dari negara lain kita gengsi untuk menawar. Kita menindas, memandang rendah dan tidak menghargai usaha bangsa sendiri dibandingkan dengan bangsa lain.

Saya seringkali menemukan orang-orang yang menawar harga barang dari para pedagang kecil ini dengan sangat murah dan tidak masuk akal.

Terbayang dalam benak saya betapa para pedagang kecil itu mungkin telah berjalan berpuluh-puluh kilometer menanggung barang dagangannya atau mendorong gerobak tua dan hanya punya keuntungan kurang lebih seribu hingga dua ribu dari setiap barang yang berhasil mereka jajakan. Itu pun kalau barangnya laku. Dan sedihnya, masih ada yang menawar dengan harga sangat murah dan tidak masuk akal. 

Bahkan ada juga orang-orang yang tak segan-segan bersikap judes tatkala keinginannya untuk minta diskonan tak dipenuhi. Seharusnya kalau kita membayangkan ada di posisi mereka, alih-alih menawar harga barang dagangannya dengan sadis pasti kita akan lebihkan bayarannya. 

“Kan anak kecil!”

Orang yang sudah dewasa setidaknya bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri. Sementara anak yang masih kecil adalah tanggung jawab orang dewasa alias orangtua mereka masing-masing. Tak sedikit anak-anak kecil yang dimaklumi perilaku nakalnya hanya karena mereka adalah anak-anak. Tanpa diberi pemahaman oleh orangtuanya yang menjadi penanggung jawab perilaku mereka. 

Saya pernah melihat seorang anak yang berdiri di kursi bus sedang bergerak-gerak lincah melihat ke arah jendela ketika saya naik transportasi umum tersebut. Padahal saat itu ada seorang nenek-nenek yang tidak kebagian kursi untuk duduk. Alih-alih, menggendong anaknya agar nenek tersebut bisa duduk, ibu si anak malah bersikap acuh tak acuh. Dan membiarkan anaknya tetap berdiri di kursi bus. 

Bahkan ketika si nenek akhirnya meminta space untuk duduk di sebelahnya, ibu itu hanya sedikit menggeser badannya. Sehingga posisi duduk si nenek terlihat sangat tidak nyaman. Sementara anaknya yang masih kecil tersebut dibiarkan tetap berdiri di atas kursi bus yang bisa diduduki oleh penumpang lain. 

Selama ini perilaku anak yang kurang baik tersebut seolah dimaklumi oleh orangtua mereka sendiri. Bahkan seringkali orangtua menganggap perilaku anak-anaknya yang kurang baik tersebut sebagai perilaku yang lucu dan menggemaskan. 

Semisal ketika bertamu ke rumah orang lain dan anaknya memonopoli makanan dalam toples hingga hampir habis. Alih-alih diberikan penjelasan bahwa makan dengan rakus itu perilaku yang tidak baik. Apalagi di rumah orang lain, kebanyakan orang tua malah hanya memandang anaknya sambil berkata, “Dede suka ya? Kuenya enak?” tanpa berpikir bahwa barangkali si pemilik rumah meskipun nampak tersenyum, diam-diam merasa kesal melihat kelakuan anak dari tamunya. Boleh jadi kue itu hanya tinggal setoples dan untuk menjamu tamu yang lain. 

Harusnya sebagai orangtua, merekalah yang semestinya lebih peka. Bukannya hanya diam saja sambil memaklumi perilaku anaknya yang kurang baik. Dengan selalu mencari-cari alasan dan ngomong seenak mulutnya, “Maklumin dong… namanya juga anak-anak!”

The Poor Villains

Monday, September 9, 2019

Adalah Davy Jones yang menjadi Kapten Kapal The Flying Dutchman dalam film Pirates of the Caribbean. Sebelum pria itu dikutuk menjadi monster berwajah gurita yang bengis dan ditakuti; Davy Jones di masa lalu adalah seorang bajak laut muda yang jatuh cinta pada Calypso. Dalam mitologi Yunani, Calypso sendiri adalah Dewi Penguasa lautan. Dia merupakan anak dari Dewa Atlas dengan seorang perempuan di bumi. Tak heran, Calypso yang setengah manusia itu masih mewarisi darah immortal dan gen egois dari bapaknya. Seperti halnya ciri khas dewa-dewa Yunani yang cenderung keras kepala dan semaunya sendiri.

Cinta Davy Jones yang teramat dalam pada Calypso membuatnya menyanggupi sebuah tugas berat yang diberikan oleh perempuan itu kepadanya. Dimana Davy Jones hanya akan bisa menginjakan kaki satu kali di daratan setelah sepuluh tahun berlayar di lautan.

Tugas yang disanggupi oleh Davy Jones itu adalah demi mengumpulkan jiwa orang-orang yang mati di sana untuk dikirimkan ke dunia bawah. Dan, jika tugas itu telah terpenuhi maka Calypso menjanjikan dirinya untuk bertemu dengan Davy Jones dan menjadi miliknya.

Davy Jones yang dipenuhi perasaan cinta yang mendalam pada Calypso, tekun mengerjakan tugas yang berat tersebut; mengumpulkan jiwa orang-orang yang mati di lautan dan mengirimkannya ke dunia bawah. Hingga akhirnya, sepuluh tahun berlalu dan tibalah hari dimana Davy Jones bisa kembali ke daratan dan bertemu dengan cintanya. Namun, ketika pria itu kembali Calypso tidak ada disana.

Dengan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam karena merasa dipermainkan oleh orang yang dicintainya, Davy Jones merencanakan aksi balas dendam untuk mengunci tubuh Calypso ke dalam bentuk manusia mortal.

Singkat cerita, rencana itu pun berhasil. Dan Davy Jones menjadi penguasa lautan yang berubah kejam, bengis dan menakutkan. Karena Davy Jones enggan kembali melaksanakan tugasnya untuk mengumpulkan jiwa orang-orang yang mati di lautan, seperti janjinya dulu pada Calypso, maka kutukan pun menimpa dirinya. Wajahnya yang semula manusia berubah menjadi monster.

Akan tetapi, balas dendam tersebut diam-diam juga melukai hati Davy Jones. Laki-laki itu diliputi rasa bersalah yang mendalam karena telah menyakiti perempuan yang masih sangat dia cintai. Rasa bersalahnya pada Calypso menyebabkan rasa sakit hati yang amat sangat. Namun, rasa itu tidak cukup kuat untuk membuatnya mati. 

Sehingga akhirnya, Davy Jones yang merana pun memutuskan untuk merobek dadanya sendiri, mengeluarkan jantungnya yang sakit akibat rasa bersalah, menyimpannya ke dalam sebuah kotak dan menyembunyikan sisi rapuhnya tersebut dari dunia.

Davy Jones menutupi hatinya yang sakit dan terluka dengan menjadi jahat.

Seandainya Davy Jones cukup bahagia, pasti dia tidak akan melukai atau bersikap jahat kepada orang lain. Dan jika kita renungi, sebenarnya rasa pahit bersalah akibat luka masa lalu itu timbul karena sebagai manusia biasa, Davy Jones mengkhianati hati nuraninya sendiri.

Benar kata pepatah bahwa kecenderungan manusia itu adalah menjadi baik. Maka ketika seorang manusia menjadi jahat dan menyimpan dendam niscaya perasaannya akan berontak. Dia menjadi tidak nyaman, sedih dan gelisah. Karena tubuhnya menampung jiwa yang sudah tidak pada fitrahnya.

Mungkin inilah yang melatarbelakangi adegan dalam film The Pirattes of the Caribbean: Dead man’s chest ketika Davy Jones diam-diam menyendiri bermain piano dengan tentakelnya dan tiba-tiba saja setitik air mata kesedihan muncul dari sudut matanya.

Saya juga masih ingat adegan ketika Davy Jones dengan pilu menjawab pertanyaan Calypso sesaat sebelum mereka berpisah. “And what’s of your fate Davy Jones?” tanya Calypso yang kemudian di balas Davy Jones dengan kata-kata, “My heart will always belong to you.” Alias, “hatiku akan selalu jadi milikmu.” Padahal perempuan itu sudah memperlakukannya sedemikian rupa.

"Every man has his secret sorrows which the world knows not; and often times we call a man cold when he is only sad." 

Tokoh antagonis kedua yang saya kasihani adalah Rahwana dalam wiracarita Ramayana. Kalau disuruh memilih antara Rahwana atau Rama, kemungkinan besar saya bakalan memilih Rahwana meskipun banyak orang menjulukinya bejat dan penjahat.

Dikisahkan Rahwana menculik Dewi Sinta dan membawanya ke Kerajaan Alengka. Selama bertahun-tahun berada di Alengka, tak sekalipun Rahwana memaksa Dewi Sinta apalagi memperlakukannya dengan buruk. Padahal sebagai seorang raja, sangat mudah bagi Rahwana untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan termasuk Sinta. Alih-alih memperlakukan Dewi Sinta dengan tidak hormat, perempuan itu malah diberikannya segala fasilitas terbaik yang ada di Alengka. Sekuat tenaga Rahwana berusaha membahagiakan Dewi Sinta. 

Tak tanggung-tanggung, Rahwana juga selalu mengunjunginya setiap hari untuk mengungkapkan perasaannya berharap perempuan itu mau menerimanya. Namun, Dewi Sinta yang setia menunggu Rama tetap teguh pada pendiriannya. Dia tetap menolak Rahwana. 

Hingga akhirnya pada suatu hari, karena melihat perjuangan Rahwana yang terus-menerus dan perlakuannya yang baik kepadanya, Dewi Sinta yang hampir luluh berkata;


"Sebenarnya aku juga mulai mencintaimu. Tapi, aku tidak ingin mengkhianati suamiku. Jika kau benar-benar mencintaiku, tolong ikhlaskanlah diriku. Dan kembalikanlah aku kepada suamiku."

Akhirnya, Rahwana pun menjawab.

“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Aku akan mengembalikanmu kepada suamimu. Tapi dengan cara ksatria (berperang). Jika dia menang, kau boleh kembali kepada suamimu." 

Sementara itu, Rama yang disebut-sebut Ksatria, justru menunjukan perilaku yang tidak ksatria. Ketika Rahwana berhasil dibunuh dan Dewi Sinta kembali kepadanya, laki-laki itu malah mencurigai dan mempertanyakan kesucian istrinya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Bukannya bersyukur bahwa istrinya masih hidup dan baik-baik saja!

Bahkan ketika Dewi Sinta melakukan upacara terjun ke api untuk membuktikan pada Rama bahwa dirinya masih suci, suaminya itu tetap tidak percaya. Hingga akhirnya, Dewi Sinta pun dibuang ke hutan ketika sedang mengandung anaknya. Bahkan sampai meninggal.

Sebagai perempuan, jujur saya sangat marah dengan sikap Rama pada istrinya tersebut padahal dia sering disebut-sebut sebagai ksatria. Sosok yang seharusnya lebih baik dari Rahwana. Meskipun pada akhirnya Rama menyesali perbuatannya tapi itu sudah terlambat. Bagi saya, kesalahan Rama pada istrinya ini sangatlah fatal. Lebih fatal, daripada kesalahan Rahwana yang menculik Dewi Sinta. 

Bukan berarti, saya mendukung perbuatan Rahwana yang menculik Dewi Sinta. Tentu saja tidak sama sekali. Hanya saja, melihat perlakuan Rama pada istrinya yang kejam begitu membuat saya jadi bertanya-tanya. Apakah selama ini Rama benar-benar tulus menyayangi dan melindungi istrinya? Bagi saya rasanya sulit membayangkan Rama dengan perilaku demikian menyandang gelar ksatria. Lebih mudah membayangkan gelar ksatria itu diperoleh oleh Rahwana. Meskipun memang tidak ada kstaria yang menculik istri pria lain, sih.

Tapi, gimana ya. Menurut saya, Rama itu jahat dan egois sekali. Kepalanya hanya ada satu. Tapi fokus utama di kepalanya banyak sekali. Dari mulai kecurigaan pribadi sampai memikirkan omongan masyarakat dan juga terkesan ingin melindungi nama baiknya seorang diri dengan terus-menerus mempertanyakan kesucian istrinya.

Lantas kalaupun Dewi Sinta sudah tidak suci lagi karena diculik selama bertahun-tahun apakah akan dibuang begitu saja oleh suaminya? Apa tujuan dia bertanya seperti itu? Apalah daya seorang Dewi Sinta yang hanya seorang wanita.

Seharusnya sebagai suami Rama lah yang bertanggung jawab dan melindungi istrinya. Bukan malah memojokan. Dan lagi, mengapa sebagai seorang suami yang digambarkan ksatria dengan kekuatan besar, istrinya bisa diculik selama itu?

Bandingkan dengan Rahwana. Meskipun Rahwana digambarkan sebagai Dasamuka alias kepalanya ada sepuluh. Tapi, fokus utama isi kepalanya hanya satu yaitu Dewi Sinta. Sampai-sampai, saking cinta dan terfokusnya pada Dewi Sinta, Rahwana yang sudah berhasil menculik perempuan tersebut tetap memperlakukannya dengan sangat baik. Tidak ingin melukainya. Tidak sekalipun Dewi Sinta dipaksa apalagi dijahati selama berada di Alengka.  Rahwana yang digambarkan Dasamuka dan simbol angkara murka hanya punya satu keinginan. Yaitu agar Dewi Sinta balik mencintainya dan mau menjadi permaisuri di Kerajaan Alengka. Yang sayangnya tidak tewujud.