Sebagai orang Indonesia yang lahir dan tumbuh besar di negara sendiri, saya sering sekali menemukan pola pikir dan kebiasaan orang-orang disini yang bertentangan dengan hati nurani saya pribadi. Entah apakah orang lain juga mempunyai perasaan yang sama ataukah tidak. Yang jelas, kalau menurut saya… beberapa mindset di bawah ini harus diubah.
“Kan tempat umum!”
Sangat gampang menemukan orang yang sedang merokok dimanapun di Indonesia. Tak hanya di teras rumah mereka sendiri. Bahkan di dalam angkutan umum, taman kota sampai di tempat-tempat kondangan pun selalu ada yang merokok. Dan seringkali orang-orang yang merokok di tempat umum tersebut nampak santai saja.
Tidak ada rasa bersalah nampak pada raut wajah mereka. Malah kebanyakan justru punya mindset, “Kan tempat umum!” jadi sah-sah saja merokok. Padahal mindset seperti itu keliru. Justru karena di tempat umumlah maka kita tidak boleh merokok. Percuma dong pemerintah menyediakan ruangan khusus untuk merokok. Kalau masih merokok di tempat umum.
Banyak orang yang mendatangi tempat umum. Dari mulai orang tua, bayi, anak-anak bahkan ibu hamil. Bayangkan kalau kita merokok di tempat umum. Selain akan menganggu kenyamanan orang lain, asap rokok yang dihembuskan orang-orang yang merokok tentunya mengandung penyakit jika sampai terhirup. Maka dari itulah, kegiatan merokok di tempat umum sebaiknya tidak dilakukan. Lagian, racun kok dibagi-bagi. Heran deh.
Tapi, alih-alih mengakui dan meminta maaf karena kekeliruannya, kebanyakan orang-orang Indonesia seringnya malah bersikap bebal dengan mencari-cari pembenaran dibalik kata-kata, “Terserah gue dong! Rokok-rokok gue. Yang beli gue. Hak-hak gue dong mau ngerokok dimana juga!” Tak heran jika Indonesia masih jadi negara berkembang. Bisa jadi orang-orang seperti itu mungkin sedang lupa. Lupa bahwa meskipun dia punya hak (untuk merokok), orang lain juga punya hak yang sama (untuk mendapatkan udara tanpa polusi asap rokok).
“Harga temen dong!”
Salah satu kebiasaan orang Indonesia ketika punya kenalan yang punya bisnis adalah tak malu-malu meminta harga temen. Padahal seringnya harga temen ini malah berubah jadi eksploitasi karena justru jadi seenaknya, jauh lebih murah dan terkesan nggak menghargai perjuangan teman kita yang merintis usaha. Meskipun di-iya-kan bisa saja permintaan kita ini malah membuat teman kita rugi, kecewa bahkan gulung tikar.
Menurut saya pribadi, harga temen itu harusnya lebih mahal dari harga standar karena sebagai temen dia semestinya lebih mengerti betapa lelah dan susah payahnya temannya itu bekerja. Bukannya malah menawar harga jauh di bawah harga standar plus ngotot minta diskonan. Yang berpotensi membuat bangkrut usaha temannya. Bayangkan jika 7 orang dari 8 orang sahabatnya minta harga temen.
Kebayang dong bakalan kayak gimana? Bisa-bisa usaha yang baru dirintis harus gulung tikar karena terlalu banyak ngasih harga temen.
Kalaupun kita mau minta harga temen setidaknya kita juga harus ada timbal balik untuk teman kita. Misalnya kita bantu promosikan usahanya, mengenalkannya dengan networking baru dan menawar sewajarnya. Tidak memaksa apalagi bersikap sadis seenaknya minta banyak diskonan padahal kita mampu membayar dengan harga standar.
Jangan biarkan harga temen membuat usaha teman-teman kita mencari nafkah jadi bagai bersedekah pada kita. Friend is friend. Bussiness is bussiness.
“Ngamplopnya segini ajalah…”
Di Indonesia adalah hal yang lumrah jika diundang ke acara pernikahan, tamu yang datang pasti akan menyelipkan amplop yang berisi uang ke dalam kotak yang sudah disiapkan oleh pihak penyelenggara acara. Semakin mewah pesta pernikahan yang dihadiri, orang biasanya semakin gengsi jika memberikan amplop dengan isi yang sedikit atau standar.
Berbanding terbalik jika kita menghadiri pesta undangan dari orang yang biasa-biasa saja. Atau orang-orang dengan ekonomi menengah ke bawah. Isi amplop yang diberikan pun biasanya jauh lebih sedikit bahkan di bawah standar jika dibandingkan ketika kita menghadiri pesta pernikahan yang mewah.
Tapi pernahkah kita berpikir? Jika orang-orang dengan ekonomi pas-pasan yang menggelar pesta pernikahan tersebut justru jauh lebih membutuhkan uang pemberian dari kita. Karena kenyataannya tak sedikit orang-orang seperti mereka itu berhutang terlebih dahulu ketika akan menggelar sebuah pesta. Maka dari itu, baiknya sih kita lebihkan isi amplopnya.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah kaya. Bagi orang kaya mungkin uang puluhan juta tersebut cuman dipake buat beli tas branded atau sepatu baru. Beda banget dengan orang-orang yang ekonominya pas-pasan yang kemungkinan besar justru dipakai untuk bayar utang pasca resepsi atau memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
“Masih mahal ah!
Sebagai orang Indonesia yang digadang-gadang punya sifat ketimuran dan senantiasa bersikap ramah, kenyataannya kita seringkali bersikap tega. Terutama kepada para pedagang kecil yang hasil usahanya tidak seberapa. Sebutlah para pedagang kelilling dari mulai para pedagang sayur sampai mainan anak-anak.
Kita seringnya tidak segan-segan menawar harga barang yang mereka jual dengan semena-mena. Tapi, ketika kita berada di toko yang lebih besar atau menemukan penjual yang berasal dari negara lain kita gengsi untuk menawar. Kita menindas, memandang rendah dan tidak menghargai usaha bangsa sendiri dibandingkan dengan bangsa lain.
Saya seringkali menemukan orang-orang yang menawar harga barang dari para pedagang kecil ini dengan sangat murah dan tidak masuk akal.
Terbayang dalam benak saya betapa para pedagang kecil itu mungkin telah berjalan berpuluh-puluh kilometer menanggung barang dagangannya atau mendorong gerobak tua dan hanya punya keuntungan kurang lebih seribu hingga dua ribu dari setiap barang yang berhasil mereka jajakan. Itu pun kalau barangnya laku. Dan sedihnya, masih ada yang menawar dengan harga sangat murah dan tidak masuk akal.
Bahkan ada juga orang-orang yang tak segan-segan bersikap judes tatkala keinginannya untuk minta diskonan tak dipenuhi. Seharusnya kalau kita membayangkan ada di posisi mereka, alih-alih menawar harga barang dagangannya dengan sadis pasti kita akan lebihkan bayarannya.
“Kan anak kecil!”
Orang yang sudah dewasa setidaknya bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri. Sementara anak yang masih kecil adalah tanggung jawab orang dewasa alias orangtua mereka masing-masing. Tak sedikit anak-anak kecil yang dimaklumi perilaku nakalnya hanya karena mereka adalah anak-anak. Tanpa diberi pemahaman oleh orangtuanya yang menjadi penanggung jawab perilaku mereka.
Saya pernah melihat seorang anak yang berdiri di kursi bus sedang bergerak-gerak lincah melihat ke arah jendela ketika saya naik transportasi umum tersebut. Padahal saat itu ada seorang nenek-nenek yang tidak kebagian kursi untuk duduk. Alih-alih, menggendong anaknya agar nenek tersebut bisa duduk, ibu si anak malah bersikap acuh tak acuh. Dan membiarkan anaknya tetap berdiri di kursi bus.
Bahkan ketika si nenek akhirnya meminta space untuk duduk di sebelahnya, ibu itu hanya sedikit menggeser badannya. Sehingga posisi duduk si nenek terlihat sangat tidak nyaman. Sementara anaknya yang masih kecil tersebut dibiarkan tetap berdiri di atas kursi bus yang bisa diduduki oleh penumpang lain.
Selama ini perilaku anak yang kurang baik tersebut seolah dimaklumi oleh orangtua mereka sendiri. Bahkan seringkali orangtua menganggap perilaku anak-anaknya yang kurang baik tersebut sebagai perilaku yang lucu dan menggemaskan.
Semisal ketika bertamu ke rumah orang lain dan anaknya memonopoli makanan dalam toples hingga hampir habis. Alih-alih diberikan penjelasan bahwa makan dengan rakus itu perilaku yang tidak baik. Apalagi di rumah orang lain, kebanyakan orang tua malah hanya memandang anaknya sambil berkata, “Dede suka ya? Kuenya enak?” tanpa berpikir bahwa barangkali si pemilik rumah meskipun nampak tersenyum, diam-diam merasa kesal melihat kelakuan anak dari tamunya. Boleh jadi kue itu hanya tinggal setoples dan untuk menjamu tamu yang lain.
Harusnya sebagai orangtua, merekalah yang semestinya lebih peka. Bukannya hanya diam saja sambil memaklumi perilaku anaknya yang kurang baik. Dengan selalu mencari-cari alasan dan ngomong seenak mulutnya, “Maklumin dong… namanya juga anak-anak!”