Sebuah Surat Bisu

Saturday, December 14, 2019


Ranting pohon apel menggores kaca jendela di belakangku. Gemuruh angin dan hujan lebat yang mengguyur Inggris kali ini membuat Yorkshire dilanda badai. Aku bisa mendengar papan pelapis pintu yang diterpa angin terbanting berkali-kali ke dinding. Membuatku tak bisa tidur. 

Jika cuaca sedang buruk seperti ini biasanya pikiranku akan mengembara jauh sekali ke belakang. Pada masa-masa saat Frederick masih tinggal disini. Aku menghela napas panjang, berjalan menuju perapian. Setelah sesaat memandangi api di depan tembok perapian dan menambahkan kayu bakar ke dalamnya, kupikir menulis surat akan membuatku merasa jauh lebih baik. 

Yorkshire, 15 Desember 1924

Dear, Frederick…

Aku memang bukan orang yang mudah melupakan sesuatu dalam hidupku. Tak terkecuali; Kau. Dan demi melegakan perasaanku, izinkanlah aku menulis surat ini untukmu. Meskipun saat nanti kau membacanya, aku pastilah sudah sangat jauh terkubur dalam ingatanmu.

Malam ini, Yorkshire dilanda badai salju yang ganas ― yang setiap jamnya terasa bagai bencana. Aku pikir badai yang melanda Bath delapan tahun silam adalah yang terburuk. Karena saat itu aku terperangkap dalam salju ganas yang tiba-tiba turun di tengah-tengah perjalanan pulang menuju Paddington. 

Aku masih ingat betapa ketakutannya diriku saat itu. Tatkala berjalan seorang diri menyusuri hamparan salju yang menutupi jalanan yang kujejaki. Semuanya dingin, gelap dan muram. Dan kukira aku akan mati membeku di sana seorang diri. Tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal kepada siapapun ― jika saja kau tak berbaik hati menyelamatkanku yang sedang kebingungan mencari jalan pulang diantara pohon-pohon pinus yang berkelindan di hutan pada waktu itu ― karena sebagai anak gadis paling badung di seantero Camden saat itu, aku tersesat akibat kabur diam-diam dari pesta dansa yang diadakan oleh Mrs. Monroe.

Pada kenyataannya, sekarang aku merasa bahwa badai salju bukanlah hal paling buruk yang pernah kualami. Tapi, kehilangan orang yang jelas-jelas masih hidup adalah hal yang menurutku paling buruk. Terutama jika orang tersebut adalah seseorang yang kau cintai. Dan semakin bertambah buruk tatkala orang yang kau cintai ternyata jenis manusia yang tak punya hati. 

Malangnya, aku bukanlah orang yang gampang melupakan. Bukan pula orang yang bisa mencintai orang lain hanya separuh hati. Dalam kurun-kurun waktu berkabung yang begitu panjang dan menyakitkan, tak jarang aku menyalahkan dan merutuki diriku tanpa belas kasih.

Selama dua puluh lima tahun usiaku, aku tak pernah merasa dipermainkan oleh siapapun hingga terluka separah ini. Perlu waktu berminggu-minggu untuk reda dari tangisku sendiri, dan berbulan-bulan kemudian untuk pulih dan mencintai diriku kembali, serta bertahun-tahun setelahnya untuk bisa mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. 

Terkadang aku ingin sekali meyakini bahwa masih ada bagian terkecil dari hatimu yang manusiawi dan berfungsi. Namun, sekarang aku memilih untuk menjauh dan tak lagi peduli. Bukan karena aku tak bisa memaafkanmu. 

Tapi terutama sebagai cara untuk memaafkan diriku. Sebab apabila bertemu dan berbicara kembali; pada akhirnya akulah yang tak akan sanggup memaafkan diriku sendiri sebab telah terjatuh dan mencintaimu sekali lagi. 


Kini aku tak lagi menyebut namamu dalam doa-doaku. Meskipun sesekali kau masih datang dalam mimpi. 

Tertanda

Anne Wordsworth 
Yang memikirkanmu

Aku mengakhiri tulisanku. Rasanya lega sekali meskipun surat tersebut tidak akan pernah kukirimkan pada Frederick.

Ironi Dalam Sebuah Kencan Yang Baik

Wednesday, December 11, 2019


Akhir-akhir ini setiap aku memejamkan mata, aku melihat adegan dengan latar langit malam yang muram. Lalu berangsur-angsur berganti menjadi langit yang dipenuhi percik bunga kembang api. Setelah percik bunga kembang api itu pudar, langit kembali sepi. Sementara dirimu, melebihi metafora manapun. Mungkin kamu adalah infinity yang tak terhingga. Tak bisa didefinisikan.

"Kata "bahagia" tidak ditemukan di surat manapun di dalam Quran. Kecuali hanya satu kata saja di Surat Hud ayat 108: "Adapun orang-orang yang berbahagia tempatnya di dalam surga..."
"Artinya?" tanyaku padanya.
"Agar kita tahu bahwa kebahagiaan hakiki itu tempatnya hanya di surga."

Lalu kita berdua tenggelam dalam diskusi filosofis yang panjang dan mendalam. Namun agak sedikit ajaib karena untuk bahasan seserius itu kita berdua masih bisa tertawa santai sembari merangkai-rangkai asumsi. Lain kesempatan kita terlibat lagi dalam perbincangan yang menarik; tentang hobi kita masing-masing.

"Aku suka lari pagi, menulis dan membaca," katamu.

Mengapa membaca? Membaca tidak keren sama sekali. Batinku saat itu.

"Sesekali kau harus berpetualang, update Instagram story seperti orang-orang," nada suaraku berubah menghakimi. Seolah-olah dia jadi membosankan hanya karena hobinya bukan jalan-jalan dan jarang update Instagram.

"Kamu tahu tidak?" sambungnya tanpa menyinggung komentarku sedikitpun. "Menurutku, masing-masing orang setidaknya wajib memiliki tiga jenis hobi yang berbeda."
"Apa saja?" tanyaku menerka-nerka kemana arah pembicaraan ini akan bermuara.

"Tiga jenis hobi itu adalah hobi yang bisa menjadi tempat menyalurkan emosi, hobi yang membuat sehat, dan hobi yang menghasilkan uang. Dan ngomong-ngomong apa hobimu?" tanyanya antusias.
"Main sepak bola dan traveling," jawabku bangga.

Alih-alih mencela hobiku, perempuan itu tidak melakukannya. Dia malah bertanya tempat paling jauh manakah yang pernah aku datangi. Dan apakah aku menikmati setiap perjalanannya.

Ketika tiba giliranku bertanya balik mengenai tempat manakah yang paling jauh menurutnya, perempuan itu hanya menjawab, "Bagiku tempat yang paling jauh adalah masa lalu," ujarnya singkat diliputi misteri.

Saat aku membayangkan hal-hal random mengenai percakapan kami tersebut sesungguhnya aku sedang berada di masa kini. Dan sesungguhnya sudah tidak ada lagi kami di saat ini. Tidak juga sebuah kencan yang baik. 

*****

Dia mengirimkan sebuah gambar lewat chat disertai kata-kata: "Menurutmu awan ini mirip apa?" Yang langsung ku jawab dengan koala.

Dan lima detik kemudian balasan dari dia masuk hanya untuk membantah isi pesanku dengan mengatakan bahwa ada hewan yang lebih mirip dengan awan di gambar tadi yang bagiku tidak ada bedanya. 

"Menurutku ini lebih mirip beruang, deh." 

Dan percakapan konyol itu pun berujung pada betapa panasnya hari ini. Dan panas-panas begini, paling enak makan es campur. 

"Nanti pulangnya ku jemput ya. Kita makan es campur bareng," kataku pada akhirnya.

Hari berikutnya, dia mengajakku main tagar-tagaran. Permainan apa ini? Aku jarang sekali berhasil menebak pikirannya dan apa yang akan dia lakukan. 

"Jadi kamu tinggal meneruskan kata-kata yang pakai tagar, 'Jangan lebay, sakit hatimu, titik... titik... titik...' begitu. Tapi harus lucu ya," katanya dengan antusias. Aku berpikir keras kira-kira kata-kata apa yang menurutku lucu. 

"Jangan lebay, sakit hatimu nggak sepedih narik bulu ketiak pakai lakban," ucapku asal yang disambutnya dengan derai tawa. Rupanya sangat mudah membuat dia bahagia.

"Jangan lebay, sakit hatimu nggak seperih abis sunatan langsung panjat pinang," balasnya sadis. Aku tertawa ngakak. Dia ternyata lebih savage. 

Walau begitu, mungkin hanya aku yang pernah tahu bahwa dia selucu itu. Karena di depan orang lain dia tidak seperti itu. 

Dia lebih sering terlihat diam dan sibuk dengan dunianya sendiri. Mengetik sesuatu di laptop atau membaca buku. Bukan tipikal perempuan yang over-sharing mengenai kehidupan pribadinya. 

Bergaul dengannya membuatku bisa berpikir out of the box. Diam-diam aku bertumbuh menjadi orang yang lebih baik. Aku tak lagi memulai percakapan dengan kalimat-kalimat basi semacam pertanyaan: 'Lagi ngapain?' atau 'Udah makan belum?'

*****

"Kamu tahu tidak? Aku barusan liat fotomu. Dan aku jadi teringat sesuatu," kataku mengawali percakapan. 
"Teringat apa?"
"Teringat... jika ternyata kamu mirip bintang film favoritku."
"Siapa?" tanyanya penasaran.
"Doraemon," jawabku usil. Disertai dengan emoticon jahil yang banyak. 
"Awas ya," katanya sewot. Aku senang dengan responnya yang ketus itu.

*****

Walaupun begitu, aku masih  mempertimbangkan dengan sangat hati-hati untuk mengikatkan diriku padanya yang setelah kupikir-pikir dia kurang begitu eksis dalam lingkup sosial yang bisa saja malah mengancam reputasiku yang cemerlang. Meskipun harus kuakui bahwa dia sudah cukup cantik dan menyenangkan. Terutama jika dilihat dari cara berpikirnya.

Apalagi sekarang karierku sedang menanjak naik dan aku butuh perempuan yang sedikit populer untuk mengangkat kehidupanku.

Maka sebab itulah aku putuskan bersikap jahat padanya dengan memilih perempuan lain tepat disaat dia mulai terbuka padaku. Aku mengkhianati kepercayaannya yang sulit itu.

"Maaf," kataku pada akhirnya.

Dan aku pergi, melenggang bebas bersama perempuan lain yang kupikir bisa mengangkat harkat-derajat-martabatku.

*****

Wanitaku yang baru ini berbeda sekali dengan dia; tidak hobi lari pagi, tidak hobi membaca apalagi menulis. Hobinya cuma dua: jalan-jalan dan berorganisasi. Dan ini sesuai dengan ambisi pribadiku. Dan tentu saja dia sangat update di media sosial. Apalagi dia dikenal banyak orang. Dan aku sangat suka dengan perhatian. Aku seperti memenangkan piala yang setiap orang berusaha ingin mendapatkannya.

*****

Terbiasa keliling dunia ketika muda nyatanya berdampak buruk di masa tua jika kemampuan finansial sangat terbatas atau bahkan tidak ada uang sama sekali. Seperti kehidupan yang kini sedang aku jalani.

Aku tak bisa terus menerus memenuhi keinginannya untuk jalan-jalan. Apalagi ketika kami sudah punya tanggung jawab bersama. Dan terlebih ketika semua teman-teman kami yang dulu selalu bersama-sama mengagumi kami mulai menjalani hidupnya sendiri-sendiri. Jauh tersebar di berbagai pelosok kota se-Indonesia.

"Aku stress diam di rumah!" ucapnya frustasi lalu membanting pintu kamar ketika aku pulang bekerja.

Setelah itu dia menghukumku dengan silent treatment. Menyebalkan. Sangat-sangat menyebalkan. Waktu satu tahun nyatanya sanggup menghapus seluruh rasa cinta dan pola pikirku di masa lalu. Sesingkat itu. Dan secepat itu.

Aku tak lagi merasa jika hobi jalan-jalan atau kegemaran kumpul-kumpul komunitas yang diikuti oleh istriku adalah sesuatu yang keren.

Alih-alih, hobinya itu terasa seperti neraka. Apalagi jika keuangan kami bermasalah. Belum lagi dengan kebiasaannya update di media sosial. Keluhan dan curhat-curhatan terselubungnya di caption Instagram menambah runyam permasalahan. 

*****

Ingatanku kembali pada dia yang dulu ku pandang sebelah mata. Hobinya membaca buku ternyata bisa menghasilkan uang karena dia juga suka menulis sekaligus merangkap menjadi transcriber, penerjemah dan editor sebuah majalah.

Kebiasannya jarang update Instagram yang dulu kuanggap sebagai "kekurangan karena tidak eksis dalam lingkup sosial" nyatanya adalah softskill yang langka karena sebagai gantinya dia jadi lebih baik dalam berkomunikasi langsung secara asertif.

Tidak ada dalam kamusnya mendiamkanku berhari-hari tanpa komunikasi. Apalagi curhat galau di media sosial tentang permasalahan kami. Dia juga tidak gampang stress jika aku malas mengajaknya jalan-jalan dalam waktu yang cukup lama. Karena dia memang lebih suka di rumah. Mengurus bunga-bunga atau kucing peliharaannya.

*****

"Aku merindukanmu yang dulu," ujarku sembari mereka-reka skenario percakapan fiktif kami di alam pikiranku sendiri.

"Bukankah kau lah yang telah membunuhku di masa lalu?" 

Tidak. Tidak. Dia tidak mungkin membalas kalimatku seperti itu. Barangkali dia berubah. Dan barangkali pula dia sudah tidak ingin lagi berurusan denganku. Dia pasti hanya akan mengacuhkan diriku. Menganggapku tiada atau mati di telan gempa bumi.

Tapi entah mengapa ada satu kalimat yang terakhir kali kuingat diucapkannya, berputar-putar terus di otakku, "Tak perlu pergi menjauh. Tanpa pergi sekalipun diammu telah menjadi jarak paling jauh yang tak mungkin aku tempuh."

Now, I know what was really like to live in her shoes

Toxic Positivity: Niat Baik Yang Tak Berujung Baik

Monday, October 28, 2019



Mari kita akui bahwa tidak semua hari berjalan seperti yang diinginkan. Ada kalanya manusia menjalani hari–hari yang sangat berat dan menyedihkan. Manusia tidak bisa selalu berada dalam kondisi puas dan bahagia. Oleh karena itu,  kita pun pasti pernah mendapati seseorang yang bercerita mencurahkan perasaan sedihnya kepada kita.

Namun alih-alih berempati pada perasaannya, kita seringnya malah langsung menasehati perilaku orang yang bercerita tersebut. Membanding-bandingkan masalahnya dengan masalah kita yang menurut ukuran kita jauh lebih besar. Dan menyemangati mereka untuk segera melupakan masalahnya tersebut. Padahal yang benar-benar dibutuhkan oleh orang-orang dengan beban emosional adalah rasa empati.

Beban emosional adalah sesuatu yang menyakitkan. Tidak semua orang dianugerahi mental yang kuat dan hati yang sabar. Masalah yang dipandang sepele bagi orang lain belum tentu juga sepele bagi dirinya. Langsung memberikan nasehat tanpa proses validasi emosi pada orang-orang dengan beban emosional, ibarat kita sedang  memaksa mereka untuk menimbun perasaan negatifnya. Yang lama kelamaan bisa membesar dan mengakibatkan dampak buruk pada kejiwaan dan raga.

Memberikan nasehat semacam, “Udahlah move on aja!” atau “Nggak ada orang yang diuji lewat batas kemampuannya kok. Yang ada itu cuman orang yang nggak mau bersabar!” bisa jadi bagi sebagian orang terdengar menyakitkan. Alih-alih diterima sebagai niat yang baik, kata-kata penyemangat semacam itu justru bisa membuat orang-orang dengan beban emosional merasa tidak berarti. 

Mereka bisa saja malah semakin tidak percaya diri untuk mencurahkan perasaannya karena khawatir dihakimi lemah atau pengecut karena terkesan mengeluh.

Maka jangan heran, jika banyak orang yang meskipun dari luar tertawa riang dan bahagia namun pada akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Karena mereka tidak kuat lagi memendam perasaannya sendiri.

Barangkali kitalah sebagai masyarakat yang menjadi pemicunya. Kita gagal berempati pada perasaan orang lain. Kita memaksa mereka untuk mengabaikan perasaan-perasaan negatifnya dengan menyuruh untuk selalu bersikap positif. Padahal tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang bisa terus-menerus merasa positif dan bahagia seumur hidupnya.

Coba bayangkan skenario ini:

Kamu mengalami hari yang buruk. Tidak sengaja bertemu dengan mantan yang baru saja putus seminggu yang lalu karena dia selingkuh. Padahal kamu sedang mencoba move on. Lantas, kamu pun bercerita kepada temanmu. Bahwa meskipun kalian sudah putus kenyataannya kamu masih sangat mencintai mantanmu itu. Kira-kira mana respon di bawah ini yang menurutmu terdengar lebih empati?

Respon pertama:

“Udahlah move on aja! Nggak pantas tahu mengharapkan dia. Lagian emang kamu mau diselingkuhin lagi kalau balikan?"

Respon kedua:

“Pasti dilema banget ya kalo jadi kamu. Aku juga nggak kebayang. Apalagi kamu baru aja putus. Yang sabar ya..."

Dari dua respon di atas, respon kedua terdengar lebih empati dan tidak menghakimi, bukan? Karena si pendengar pertama-tama memvalidasi emosi orang yang curhat kepadanya sebelum memberikan nasehat. Inilah hal penting yang hilang dari kebanyakan orang-orang di masa kini ketika berhadapan dengan orang yang sedang curhat.

Jika kamu berempati tunjukan bahwa kamu mendukung mereka dengan memvalidasi emosinya terlebih dahulu. Kamu bisa mengatakan, “Wajar kok kalau kamu kecewa,” atau “Iya ya dia memang menyebalkan,” atau bisa juga “Duh pasti nggak enak banget ya.” 

Dibandingkan jika kamu malah langsung memberikan kata-kata nasehat atau penyemangat, semisal: “Udahlah lupain aja!” atau “Ngapain sih dipikirin mulu!” yang justru malah membuat mereka menjadi semakin sedih dan patah semangat karena perasaannya nampak tidak penting dan diabaikan.

Ketika orang yang curhat dengan kita tersebut sudah tuntas dengan apa yang ingin dia ceritakan, barulah kita bisa memberikan semangat positif di tahap akhir. Ini jauh akan lebih baik karena mereka sudah melepaskan emosinya sehingga bisa diajak berpikir secara sadar untuk menerima kesedihannya.

5 Mindset Orang Indonesia Yang Perlu Diubah

Wednesday, September 25, 2019


Sebagai orang Indonesia yang lahir dan tumbuh besar di negara sendiri, saya sering sekali menemukan pola pikir dan kebiasaan orang-orang disini yang bertentangan dengan hati nurani saya pribadi. Entah apakah orang lain juga mempunyai perasaan yang sama ataukah tidak. Yang jelas, kalau menurut saya… beberapa mindset di bawah ini harus diubah. 

“Kan tempat umum!”

Sangat gampang menemukan orang yang sedang merokok dimanapun di Indonesia. Tak hanya di teras rumah mereka sendiri. Bahkan di dalam angkutan umum, taman kota sampai di tempat-tempat kondangan pun selalu ada yang merokok. Dan seringkali orang-orang yang merokok di tempat umum tersebut nampak santai saja. 

Tidak ada rasa bersalah nampak pada raut wajah mereka. Malah kebanyakan justru punya mindset, “Kan tempat umum!” jadi sah-sah saja merokok. Padahal mindset seperti itu keliru. Justru karena di tempat umumlah maka kita tidak boleh merokok. Percuma dong pemerintah menyediakan ruangan khusus untuk merokok. Kalau masih merokok di tempat umum.

Banyak orang yang mendatangi tempat umum. Dari mulai orang tua, bayi, anak-anak bahkan ibu hamil. Bayangkan kalau kita merokok di tempat umum. Selain akan menganggu kenyamanan orang lain, asap rokok yang dihembuskan orang-orang yang merokok tentunya mengandung penyakit jika sampai terhirup. Maka dari itulah, kegiatan merokok di tempat umum sebaiknya tidak dilakukan. Lagian, racun kok dibagi-bagi. Heran deh. 

Tapi, alih-alih mengakui dan meminta maaf karena kekeliruannya, kebanyakan orang-orang Indonesia seringnya malah bersikap bebal dengan mencari-cari pembenaran dibalik kata-kata, “Terserah gue dong! Rokok-rokok gue. Yang beli gue. Hak-hak gue dong mau ngerokok dimana juga!” Tak heran jika Indonesia masih jadi negara berkembang. Bisa jadi orang-orang seperti itu mungkin sedang lupa. Lupa bahwa meskipun dia punya hak (untuk merokok), orang lain juga punya hak yang sama (untuk mendapatkan udara tanpa polusi asap rokok).

“Harga temen dong!”

Salah satu kebiasaan orang Indonesia ketika punya kenalan yang punya bisnis adalah tak malu-malu meminta harga temen. Padahal seringnya harga temen ini malah berubah jadi eksploitasi karena justru jadi seenaknya, jauh lebih murah dan terkesan nggak menghargai perjuangan teman kita yang merintis usaha. Meskipun di-iya-kan bisa saja permintaan kita ini malah membuat teman kita rugi, kecewa bahkan gulung tikar. 

Menurut saya pribadi, harga temen itu harusnya lebih mahal dari harga standar karena sebagai temen dia semestinya lebih mengerti betapa lelah dan susah payahnya temannya itu bekerja. Bukannya malah menawar harga jauh di bawah harga standar plus ngotot minta diskonan. Yang berpotensi membuat bangkrut usaha temannya. Bayangkan jika 7 orang dari 8 orang sahabatnya minta harga temen. 

Kebayang dong bakalan kayak gimana? Bisa-bisa usaha yang baru dirintis harus gulung tikar karena terlalu banyak ngasih harga temen. 

Kalaupun kita mau minta harga temen setidaknya kita juga harus ada timbal balik untuk teman kita. Misalnya kita bantu promosikan usahanya, mengenalkannya dengan networking baru dan menawar sewajarnya. Tidak memaksa apalagi bersikap sadis seenaknya minta banyak diskonan padahal kita mampu membayar dengan harga standar. 

Jangan biarkan harga temen membuat usaha teman-teman kita mencari nafkah jadi bagai bersedekah pada kita. Friend is friend. Bussiness is bussiness.

“Ngamplopnya segini ajalah…”

Di Indonesia adalah hal yang lumrah jika diundang ke acara pernikahan, tamu yang datang pasti akan menyelipkan amplop yang berisi uang ke dalam kotak yang sudah disiapkan oleh pihak penyelenggara acara. Semakin mewah pesta pernikahan yang dihadiri, orang biasanya semakin gengsi jika memberikan amplop dengan isi yang sedikit atau standar. 

Berbanding terbalik jika kita menghadiri pesta undangan dari orang yang biasa-biasa saja. Atau orang-orang dengan ekonomi menengah ke bawah. Isi amplop yang diberikan pun biasanya jauh lebih sedikit bahkan di bawah standar jika dibandingkan ketika kita menghadiri pesta pernikahan yang mewah. 

Tapi pernahkah kita berpikir? Jika orang-orang dengan ekonomi pas-pasan yang menggelar pesta pernikahan tersebut justru jauh lebih membutuhkan uang pemberian dari kita. Karena kenyataannya tak sedikit orang-orang seperti mereka itu berhutang terlebih dahulu ketika akan menggelar sebuah pesta. Maka dari itu, baiknya sih kita lebihkan isi amplopnya. 

Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah kaya. Bagi orang kaya mungkin uang puluhan juta tersebut cuman dipake buat beli tas branded atau sepatu baru. Beda banget dengan orang-orang yang ekonominya pas-pasan yang kemungkinan besar justru dipakai untuk bayar utang pasca resepsi atau memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

“Masih mahal ah!

Sebagai orang Indonesia yang digadang-gadang punya sifat ketimuran dan senantiasa bersikap ramah, kenyataannya kita seringkali bersikap tega. Terutama kepada para pedagang kecil yang hasil usahanya tidak seberapa. Sebutlah para pedagang kelilling dari mulai para pedagang sayur sampai mainan anak-anak. 

Kita seringnya tidak segan-segan menawar harga barang yang mereka jual dengan semena-mena. Tapi, ketika kita berada di toko yang lebih besar atau menemukan penjual yang berasal dari negara lain kita gengsi untuk menawar. Kita menindas, memandang rendah dan tidak menghargai usaha bangsa sendiri dibandingkan dengan bangsa lain.

Saya seringkali menemukan orang-orang yang menawar harga barang dari para pedagang kecil ini dengan sangat murah dan tidak masuk akal.

Terbayang dalam benak saya betapa para pedagang kecil itu mungkin telah berjalan berpuluh-puluh kilometer menanggung barang dagangannya atau mendorong gerobak tua dan hanya punya keuntungan kurang lebih seribu hingga dua ribu dari setiap barang yang berhasil mereka jajakan. Itu pun kalau barangnya laku. Dan sedihnya, masih ada yang menawar dengan harga sangat murah dan tidak masuk akal. 

Bahkan ada juga orang-orang yang tak segan-segan bersikap judes tatkala keinginannya untuk minta diskonan tak dipenuhi. Seharusnya kalau kita membayangkan ada di posisi mereka, alih-alih menawar harga barang dagangannya dengan sadis pasti kita akan lebihkan bayarannya. 

“Kan anak kecil!”

Orang yang sudah dewasa setidaknya bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri. Sementara anak yang masih kecil adalah tanggung jawab orang dewasa alias orangtua mereka masing-masing. Tak sedikit anak-anak kecil yang dimaklumi perilaku nakalnya hanya karena mereka adalah anak-anak. Tanpa diberi pemahaman oleh orangtuanya yang menjadi penanggung jawab perilaku mereka. 

Saya pernah melihat seorang anak yang berdiri di kursi bus sedang bergerak-gerak lincah melihat ke arah jendela ketika saya naik transportasi umum tersebut. Padahal saat itu ada seorang nenek-nenek yang tidak kebagian kursi untuk duduk. Alih-alih, menggendong anaknya agar nenek tersebut bisa duduk, ibu si anak malah bersikap acuh tak acuh. Dan membiarkan anaknya tetap berdiri di kursi bus. 

Bahkan ketika si nenek akhirnya meminta space untuk duduk di sebelahnya, ibu itu hanya sedikit menggeser badannya. Sehingga posisi duduk si nenek terlihat sangat tidak nyaman. Sementara anaknya yang masih kecil tersebut dibiarkan tetap berdiri di atas kursi bus yang bisa diduduki oleh penumpang lain. 

Selama ini perilaku anak yang kurang baik tersebut seolah dimaklumi oleh orangtua mereka sendiri. Bahkan seringkali orangtua menganggap perilaku anak-anaknya yang kurang baik tersebut sebagai perilaku yang lucu dan menggemaskan. 

Semisal ketika bertamu ke rumah orang lain dan anaknya memonopoli makanan dalam toples hingga hampir habis. Alih-alih diberikan penjelasan bahwa makan dengan rakus itu perilaku yang tidak baik. Apalagi di rumah orang lain, kebanyakan orang tua malah hanya memandang anaknya sambil berkata, “Dede suka ya? Kuenya enak?” tanpa berpikir bahwa barangkali si pemilik rumah meskipun nampak tersenyum, diam-diam merasa kesal melihat kelakuan anak dari tamunya. Boleh jadi kue itu hanya tinggal setoples dan untuk menjamu tamu yang lain. 

Harusnya sebagai orangtua, merekalah yang semestinya lebih peka. Bukannya hanya diam saja sambil memaklumi perilaku anaknya yang kurang baik. Dengan selalu mencari-cari alasan dan ngomong seenak mulutnya, “Maklumin dong… namanya juga anak-anak!”

The Poor Villains

Monday, September 9, 2019

Adalah Davy Jones yang menjadi Kapten Kapal The Flying Dutchman dalam film Pirates of the Caribbean. Sebelum pria itu dikutuk menjadi monster berwajah gurita yang bengis dan ditakuti; Davy Jones di masa lalu adalah seorang bajak laut muda yang jatuh cinta pada Calypso. Dalam mitologi Yunani, Calypso sendiri adalah Dewi Penguasa lautan. Dia merupakan anak dari Dewa Atlas dengan seorang perempuan di bumi. Tak heran, Calypso yang setengah manusia itu masih mewarisi darah immortal dan gen egois dari bapaknya. Seperti halnya ciri khas dewa-dewa Yunani yang cenderung keras kepala dan semaunya sendiri.

Cinta Davy Jones yang teramat dalam pada Calypso membuatnya menyanggupi sebuah tugas berat yang diberikan oleh perempuan itu kepadanya. Dimana Davy Jones hanya akan bisa menginjakan kaki satu kali di daratan setelah sepuluh tahun berlayar di lautan.

Tugas yang disanggupi oleh Davy Jones itu adalah demi mengumpulkan jiwa orang-orang yang mati di sana untuk dikirimkan ke dunia bawah. Dan, jika tugas itu telah terpenuhi maka Calypso menjanjikan dirinya untuk bertemu dengan Davy Jones dan menjadi miliknya.

Davy Jones yang dipenuhi perasaan cinta yang mendalam pada Calypso, tekun mengerjakan tugas yang berat tersebut; mengumpulkan jiwa orang-orang yang mati di lautan dan mengirimkannya ke dunia bawah. Hingga akhirnya, sepuluh tahun berlalu dan tibalah hari dimana Davy Jones bisa kembali ke daratan dan bertemu dengan cintanya. Namun, ketika pria itu kembali Calypso tidak ada disana.

Dengan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam karena merasa dipermainkan oleh orang yang dicintainya, Davy Jones merencanakan aksi balas dendam untuk mengunci tubuh Calypso ke dalam bentuk manusia mortal.

Singkat cerita, rencana itu pun berhasil. Dan Davy Jones menjadi penguasa lautan yang berubah kejam, bengis dan menakutkan. Karena Davy Jones enggan kembali melaksanakan tugasnya untuk mengumpulkan jiwa orang-orang yang mati di lautan, seperti janjinya dulu pada Calypso, maka kutukan pun menimpa dirinya. Wajahnya yang semula manusia berubah menjadi monster.

Akan tetapi, balas dendam tersebut diam-diam juga melukai hati Davy Jones. Laki-laki itu diliputi rasa bersalah yang mendalam karena telah menyakiti perempuan yang masih sangat dia cintai. Rasa bersalahnya pada Calypso menyebabkan rasa sakit hati yang amat sangat. Namun, rasa itu tidak cukup kuat untuk membuatnya mati. 

Sehingga akhirnya, Davy Jones yang merana pun memutuskan untuk merobek dadanya sendiri, mengeluarkan jantungnya yang sakit akibat rasa bersalah, menyimpannya ke dalam sebuah kotak dan menyembunyikan sisi rapuhnya tersebut dari dunia.

Davy Jones menutupi hatinya yang sakit dan terluka dengan menjadi jahat.

Seandainya Davy Jones cukup bahagia, pasti dia tidak akan melukai atau bersikap jahat kepada orang lain. Dan jika kita renungi, sebenarnya rasa pahit bersalah akibat luka masa lalu itu timbul karena sebagai manusia biasa, Davy Jones mengkhianati hati nuraninya sendiri.

Benar kata pepatah bahwa kecenderungan manusia itu adalah menjadi baik. Maka ketika seorang manusia menjadi jahat dan menyimpan dendam niscaya perasaannya akan berontak. Dia menjadi tidak nyaman, sedih dan gelisah. Karena tubuhnya menampung jiwa yang sudah tidak pada fitrahnya.

Mungkin inilah yang melatarbelakangi adegan dalam film The Pirattes of the Caribbean: Dead man’s chest ketika Davy Jones diam-diam menyendiri bermain piano dengan tentakelnya dan tiba-tiba saja setitik air mata kesedihan muncul dari sudut matanya.

Saya juga masih ingat adegan ketika Davy Jones dengan pilu menjawab pertanyaan Calypso sesaat sebelum mereka berpisah. “And what’s of your fate Davy Jones?” tanya Calypso yang kemudian di balas Davy Jones dengan kata-kata, “My heart will always belong to you.” Alias, “hatiku akan selalu jadi milikmu.” Padahal perempuan itu sudah memperlakukannya sedemikian rupa.

"Every man has his secret sorrows which the world knows not; and often times we call a man cold when he is only sad." 

Tokoh antagonis kedua yang saya kasihani adalah Rahwana dalam wiracarita Ramayana. Kalau disuruh memilih antara Rahwana atau Rama, kemungkinan besar saya bakalan memilih Rahwana meskipun banyak orang menjulukinya bejat dan penjahat.

Dikisahkan Rahwana menculik Dewi Sinta dan membawanya ke Kerajaan Alengka. Selama bertahun-tahun berada di Alengka, tak sekalipun Rahwana memaksa Dewi Sinta apalagi memperlakukannya dengan buruk. Padahal sebagai seorang raja, sangat mudah bagi Rahwana untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan termasuk Sinta. Alih-alih memperlakukan Dewi Sinta dengan tidak hormat, perempuan itu malah diberikannya segala fasilitas terbaik yang ada di Alengka. Sekuat tenaga Rahwana berusaha membahagiakan Dewi Sinta. 

Tak tanggung-tanggung, Rahwana juga selalu mengunjunginya setiap hari untuk mengungkapkan perasaannya berharap perempuan itu mau menerimanya. Namun, Dewi Sinta yang setia menunggu Rama tetap teguh pada pendiriannya. Dia tetap menolak Rahwana. 

Hingga akhirnya pada suatu hari, karena melihat perjuangan Rahwana yang terus-menerus dan perlakuannya yang baik kepadanya, Dewi Sinta yang hampir luluh berkata;


"Sebenarnya aku juga mulai mencintaimu. Tapi, aku tidak ingin mengkhianati suamiku. Jika kau benar-benar mencintaiku, tolong ikhlaskanlah diriku. Dan kembalikanlah aku kepada suamiku."

Akhirnya, Rahwana pun menjawab.

“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Aku akan mengembalikanmu kepada suamimu. Tapi dengan cara ksatria (berperang). Jika dia menang, kau boleh kembali kepada suamimu." 

Sementara itu, Rama yang disebut-sebut Ksatria, justru menunjukan perilaku yang tidak ksatria. Ketika Rahwana berhasil dibunuh dan Dewi Sinta kembali kepadanya, laki-laki itu malah mencurigai dan mempertanyakan kesucian istrinya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Bukannya bersyukur bahwa istrinya masih hidup dan baik-baik saja!

Bahkan ketika Dewi Sinta melakukan upacara terjun ke api untuk membuktikan pada Rama bahwa dirinya masih suci, suaminya itu tetap tidak percaya. Hingga akhirnya, Dewi Sinta pun dibuang ke hutan ketika sedang mengandung anaknya. Bahkan sampai meninggal.

Sebagai perempuan, jujur saya sangat marah dengan sikap Rama pada istrinya tersebut padahal dia sering disebut-sebut sebagai ksatria. Sosok yang seharusnya lebih baik dari Rahwana. Meskipun pada akhirnya Rama menyesali perbuatannya tapi itu sudah terlambat. Bagi saya, kesalahan Rama pada istrinya ini sangatlah fatal. Lebih fatal, daripada kesalahan Rahwana yang menculik Dewi Sinta. 

Bukan berarti, saya mendukung perbuatan Rahwana yang menculik Dewi Sinta. Tentu saja tidak sama sekali. Hanya saja, melihat perlakuan Rama pada istrinya yang kejam begitu membuat saya jadi bertanya-tanya. Apakah selama ini Rama benar-benar tulus menyayangi dan melindungi istrinya? Bagi saya rasanya sulit membayangkan Rama dengan perilaku demikian menyandang gelar ksatria. Lebih mudah membayangkan gelar ksatria itu diperoleh oleh Rahwana. Meskipun memang tidak ada kstaria yang menculik istri pria lain, sih.

Tapi, gimana ya. Menurut saya, Rama itu jahat dan egois sekali. Kepalanya hanya ada satu. Tapi fokus utama di kepalanya banyak sekali. Dari mulai kecurigaan pribadi sampai memikirkan omongan masyarakat dan juga terkesan ingin melindungi nama baiknya seorang diri dengan terus-menerus mempertanyakan kesucian istrinya.

Lantas kalaupun Dewi Sinta sudah tidak suci lagi karena diculik selama bertahun-tahun apakah akan dibuang begitu saja oleh suaminya? Apa tujuan dia bertanya seperti itu? Apalah daya seorang Dewi Sinta yang hanya seorang wanita.

Seharusnya sebagai suami Rama lah yang bertanggung jawab dan melindungi istrinya. Bukan malah memojokan. Dan lagi, mengapa sebagai seorang suami yang digambarkan ksatria dengan kekuatan besar, istrinya bisa diculik selama itu?

Bandingkan dengan Rahwana. Meskipun Rahwana digambarkan sebagai Dasamuka alias kepalanya ada sepuluh. Tapi, fokus utama isi kepalanya hanya satu yaitu Dewi Sinta. Sampai-sampai, saking cinta dan terfokusnya pada Dewi Sinta, Rahwana yang sudah berhasil menculik perempuan tersebut tetap memperlakukannya dengan sangat baik. Tidak ingin melukainya. Tidak sekalipun Dewi Sinta dipaksa apalagi dijahati selama berada di Alengka.  Rahwana yang digambarkan Dasamuka dan simbol angkara murka hanya punya satu keinginan. Yaitu agar Dewi Sinta balik mencintainya dan mau menjadi permaisuri di Kerajaan Alengka. Yang sayangnya tidak tewujud. 

Escape From Reality

Friday, August 30, 2019


Instead of being a big fan of watching films, I’m more into listening to music. That’s why I have more than 1.200 songs on my playlist from many genres all over the world. One of my all-time favorite songs is Fall Again by Glenn Lewis, which is a soundtrack from Maid in Manhattan.

By the way, that’s not quite the story I want to share here. Just a little intermezzo, though. Here's the story: A month ago, I was killing time listening to a cover version of 'Fall Again' on YouTube. As I was scrolling through the list, I found a cover of the song I'd never seen it before. So I clicked on it and watched the video. It was a beautiful video, especially paired with that song. The way the actress and the actor in the video smiled and their gestures were full of vivre. In short, the acting was good and natural as if I could feel their emotions. Clearly, it was taken from a film, but I couldn’t identify the film or guess where the actors were from. I thought, the actress might be from Latin America or the Philippines because she looked a bit exotic. But I wasn’t sure because the actor looked Caucasian, with a hunky body and a man bun.

However, the actor reminded me of my favorite Disney Cartoon, 'Beauty and The Beast,' an everlasting story. I have been searching for a real-life figure to fit  the character of The Beast in my mind for a long time, perhaps since I first watched the film. Of course, I'm referring to The Beast after he's released from the curse and becomes a prince. I was intrigued to find out about the film. I left a comment in the chat box asking for the name of the film and read all the comments there.

Then I learned that the scenes were  taken from 'Erkenci Kus,' a Turkish drama. I'd never watched any Turkish dramas before, so I didn’t expect much. I googled the drama before watching it and found out its genre was romantic comedy. I found the drama on YouTube with English subtitles. I initially thought it must have finished a few months ago, but I was wrong. The drama was still being produced in Turkey and was around 45 episodes in when I first started watching it.

When I watched the first episode of 'Erkenci Kus,' I was surprised because it was very long - around 2 hours per episode. But I didn’t regret it; instead, I enjoyed it immensely. The film was full of laughs, thrills and silly romantic comedy parts. I couldn’t say the story was very good or bad at all. Honestly, the storyline was very common for me. But what kept me watching was the acting. Both the lead actor and actress seemed to have wonderful chemistry. 

A few weeks ago, Can Yaman won the lead actor award in an e-online voting poll, defeating American actors. It was the first time a non-American actor won the battle. He truly deserved it.

The story of 'Erkenci Kus' begins when Sanem (played by Demet Özdemir) is proposed to by Muzo, and her parents asked her to accept because she has no job and they are worried she won't find a man to marry her. Sanem refuses and decides to look for a job, eventually working at Fikri Harika with her sister, Leyla.

At Fikri Harika, Sanem's innocence lands her in a conspiracy with her boss, Emre, without her realizing it at first. Meanwhile, Emre’s brother, Jan, is asked by his father to lead Fikri Harika and find out who was involved in the conspiracy that led to Fikri Harika's ideas being stolen by competitors. When Sanem realizes her mistake, she's furious with Emre, feeling she was taken for granted. It becomes complicated when Jan, Emre’s brother, falls in love with her. Sanem wants to apologize and tell the truth but she can’t.

I'm still watching the drama. It touches my emotions deeply every time I watch it. My favorite scenes from the start are when the lead actor eats fruit in front of a shop mirror and blows a kiss to Sanem. How can a person be so attractive and manly while eating fruit? I don’t know. In earlier episodes, Jan was truly a go-getter. It was entertaining to see such a man. Another favorite scene is when Jan is amazed to see Sanem wearing a flower crown on her head. From that scene, I agreed with Jan that women are always more beautiful with accessories.

The last one is when Sanem confesses her feelings to Jan. I loved the way she spoke, her expressions, her gestures - it felt so real. When Jan told her he couldn’t figure her out and asked why she was the way she was --- Sanem told him, “Seni seviyorum.” It means 'I love you' in Turkish. Truly adorable! The relationship between a mature man and a wild girl created a quirky dynamic.

Jan still didn’t understand, so Sanem said once again, “Ban…. Seni cok seviyorum” which means “Because I love you so much.” I could understand why she said it. It was very joyous to see them as a couple, but painful knowing she was hurting because of the guilt inside her. Sanem wanted to tell the truth but she didn’t want to lose him or destroy the brotherhood between Emre and Jan.

On August 7th 2019, the series ended with 51 episodes. I have not watched the finale yet. I'm still watching episode 39 on YouTube, a bit frustrated because it's not a light-hearted episode. Instead, it is a sad one. But  I was quite happy when I saw the trailer for episode 51, where both get married and have triplets.

I usually watch the drama before I sleep. Since watching this drama, I've learned some Turkish vocabularies. The words sound beautiful and quirky. That’s why I've downloaded some Turkish songs, especially the music score of Erkenci Kus. Eventhough I can’t remember all the scenes, some beautiful lines from this series are stuck in my head. One of them is, “I was an empty book before you. You filled the page.”

Above all the reasons I've mentioned, the biggest reason why I love this drama remains a personal secret.