Ada sebuah tempat rahasia di semesta ini dimana aku bisa bertemu dengan Sang Naga, meskipun sejatinya raga kami terpisahkan oleh dua dunia yang berbeda. Dia adalah Sang Naga yang ku kagumi, yang mengendalikan kehidupan dengan api dalam tubuhnya. Namun, alih-alih menjaga kawah berapi di puncak-puncak gunung tertinggi, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di lautan. Menyelam diantara bebatuan karang, menyusuri setiap jengkal samudera serta menyusup diantara gulungan ombak-ombak besar dengan merentangkan kedua sayapnya yang kuat dan lebar.
Ketika tempat rahasia itu terbuka setelah berabad-abad tertutup badai, aku melihatnya terbang menyusuri cakrawala yang terbentang di atas kedua sayapnya yang bebas. Apa itu, pikirku, sebelum akhirnya Sang Naga turun menghampiri. Dan begitulah awal perkenalanku dengan Sang Naga yang ku kagumi.
Ada sesuatu yang berbeda tentang Sang Naga. Dan itu melebihi kata-kata. Sesuatu itu seperti api yang bersemayam dalam tubuhnya. Begitu gelap, kuat dan berbahaya.
“Api tidak akan membuatmu terluka jika kau berhati-hati menggunakannya. Justru api bisa menghangatkanmu.” ujar Sang Naga padaku di suatu hari yang hujan.
“Tapi, api juga bisa menghancurkan.”
“Aku bisa menjamin keselamatanmu.”
“Bagaimana jika tidak?”
“Jika tidak, maka aku akan berhenti menjadi Sang Naga. Dan ikut bersamamu.”
Kenyataan bahwa orang-orang di bumi meyakini Sang Naga hanya ada dalam legenda, membuatku tidak pernah membicarakannya kepada siapapun. Kecuali sore itu, pada seorang perempuan yang kulitnya memancarkan rona keemasan saat terkena sinar matahari.
Kenyataan bahwa orang-orang di bumi meyakini Sang Naga hanya ada dalam legenda, membuatku tidak pernah membicarakannya kepada siapapun. Kecuali sore itu, pada seorang perempuan yang kulitnya memancarkan rona keemasan saat terkena sinar matahari.
Orang-orang bilang perempuan itu terkena kutukan karena dia selalu berbicara tentang takdirnya. Setelah ratusan hari dilaluinya dengan kata-kata yang sama tentang takdir dirinya, tentang udara dan kebebasannya, orang-orang mulai menganggapnya mengidap gangguan jiwa. Padahal perempuan itu sepuluh kali lipat lebih cantik dibandingkan perempuan lain yang ada di kota tempat tinggalnya.
“Mengapa udara?” tanyaku saat kami sedang duduk berdua menatap matahari terbenam di tepi pantai yang mengingatkanku pada sang Naga.
“Karena aku malu.”
“Kukira itu bukan jawaban. ”
Perempuan dengan rona keemasan di kulitnya lantas berkata, “Tidak. Itu memang jawaban yang sesungguhnya.” Kemudian dia termenung sebentar lalu meneruskan kembali kata-katanya. “Dan bagaimana dengan dirimu? Apa yang kau inginkan?”
“Aku ingin mengabdikan hidupku pada seekor naga.” ujarku setengah termenung karena teringat percakapan dengan sang Naga di suatu hari yang hujan.
Alih-alih menertawakan kata-kataku yang terdengar aneh, perempuan itu menyikapinya dengan wajar. Dia bertanya, “Apakah dulu kau pernah mengenal seekor Naga?”
Pertanyaannya sungguh tak disangka. Tapi, aku menjawabnya juga. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku membeberkan rahasia tentang jati diri Sang Naga pada manusia di bumi yang paling mustahil untuk dijadikan teman bercerita. Perempuan itu lantas menyimak dengan setia setiap detail cerita mengenai Sang Naga yang ku kagumi. Tak ada rona terkejut ataupun ragu tergambar di wajahnya. Hanya ekspresi yang normal dan wajar.
Seusai bercerita dia bertanya padaku apakah aku mengijinkannya berkomentar atau sebaiknya dia diam saja. Aku katakan tentu saja dia boleh berkomentar. Dan perempuan itu mulai menguraikan pendapatnya. “Aku setuju bahwa Naga adalah makhluk yang mengagumkan. Tapi, akan ada banyak hal yang harus kau korbankan jika kau ingin ikut bersamanya. Apakah kau benar-benar sudah siap dengan konsekuensinya?”
“Dia berkata bahwa dialah yang akan ikut bersamaku.”
“Bahkan jika kata-katanya benar, kau tetap akan mengorbankan banyak hal dan itu tidak sebanding. Kau tahu? Itulah sebabnya aku menyesal menjadi manusia. Betapa menyenangkannya menjadi udara. Tak pernah dilahirkan. Aku ingin menjadi udara.”
“Apa maksudmu?”
“Agar orang-orang di dunia ini tak lagi bisa melihatku. Agar tak ada yang menemukanku kecuali dalam ketiadaan.”
Apakah perempuan ini benar-benar mengidap gangguan jiwa? Apa yang sebenarnya dia maksudkan?
Teka-teki mengenai kata-katanya yang tak kumengerti, akhirnya sedikit terkuak beberapa bulan kemudian saat perempuan itu menghilang secara tiba-tiba. Desas-desus bahwa perempuan itu bersekutu dengan seekor naga menyeruak di seantero kota. Orang-orang menanggapinya dengan rasa marah, resah dan gelisah. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana bisa perempuan itu bersekutu dengan makhluk jahat di lingkungan tempat tinggal mereka dan dekat dengan anak-anak mereka. Mengancam kehidupan mereka.
Teka-teki mengenai kata-katanya yang tak kumengerti, akhirnya sedikit terkuak beberapa bulan kemudian saat perempuan itu menghilang secara tiba-tiba. Desas-desus bahwa perempuan itu bersekutu dengan seekor naga menyeruak di seantero kota. Orang-orang menanggapinya dengan rasa marah, resah dan gelisah. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana bisa perempuan itu bersekutu dengan makhluk jahat di lingkungan tempat tinggal mereka dan dekat dengan anak-anak mereka. Mengancam kehidupan mereka.
“Kulitnya yang keemasaan, kepergiannya yang tiba-tiba. Dan hidupnya.”
“Bagaimana hidupnya?”
“Orang-orang yang bersekutu dengan Naga, kehidupan mereka tidak akan pernah lagi menjadi miliknya. Ada kehidupan lain. Kau akan mengerti saat waktunya tiba,” ujar seorang perempuan tua yang duduk disampingku.
Dan benar saja, saat waktu itu tiba aku melihatnya kembali ke kota. Kulitnya semakin keemasaan dan hidupnya tak lagi sama. Saat bertemu dengannya aku tak sanggup menanyakan hal mengerikan apa yang telah menimpanya. Semua orang di kota menghakimi takdirnya. Dia kehilangan banyak hal. Orang-orang memusuhi dan menghinanya dan dia kehilangan kehidupan sosialnya. Dia hanya punya kehidupannya yang lain yang diberikan Sang Naga padanya.
“Semuanya sudah terlambat. Aku tidak lagi ingin menjadi udara. Ketika aku melihat kedua mata ini, aku tahu bahwa aku telah kehilangan hidupku. Aku hanya harus kuat sampai waktuku tiba. ” ujarnya sendu sambil memperlihatkan seorang anak laki-laki kecil yang kulitnya keemasan seperti dirinya. Saat itu aku langsung mengerti kemana arah pembicaraan ini bermuara. Kemunculannya seperti potongan puzzle yang melengkapi percakapan kami dulu. Aku takkan sanggup bersekutu dengan seekor naga. Aku tidak ingin kehilangan hidupku. Aku tidak ingin seperti dia.