Ada dua alasan mengapa seseorang tidak ingin membicarakan sesuatu. Pertama, ketika sesuatu itu tidak berarti apa-apa. Dan yang kedua, ketika sesuatu itu berarti segalanya. Kamu lantas menghela napas sejenak kemudian memikirkan kira-kira opsi mana yang sebenarnya melatarbelakangi perilaku saya padamu.
Sore itu, langit Jakarta mulai gelap berawan dan kita masih berada di sebuah restoran siap saji menunggu pesanan. Saya menghadapi segelas milkshake dan sepiring risoles keju sambil diam-diam merangkai percakapan imajiner denganmu.
Jadi orang-orang bilang mereka lebih suka segalanya seperti air. Biarkan saja mengalir dan go with the flow. Tapi, saya bukan dari jenis yang seperti itu. Saya punya pemikiran saya sendiri. Saya tidak suka moto hidup seperti air yang sudah sangat mainstream dan menyesatkan.
“Kenapa?” tanyamu dalam sesi percakapan imajiner kita.
“Karena air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.” jawab saya padamu.
Kamu lantas merenung lalu kemudian bertanya kembali, “Apakah dalam semua hal?”
Kamu lantas merenung lalu kemudian bertanya kembali, “Apakah dalam semua hal?”
“Tentu saja. Saya tidak suka main-main dengan kehidupan saya.” Kamu langsung tertawa mendengar pengakuan saya. Di telingamu itu terdengar palsu dan caramu tertawa terasa seperti menyinggung. “Kamu terlalu serius,” komentarmu sok tahu.
Di sela-sela percakapan imajiner kita, waktu kembali berputar ke beberapa bulan yang lalu saat kamu menuduh saya membosankan karena tidak punya akun Instagram. Lagi-lagi, kamu menghakimi hidup saya padahal kita baru dua belas kali bertemu. Bahkan makanan favorit saya saja kamu tidak tahu, meskipun, saya berulang kali memesan ayam goreng sambal ijo sama denganmu!
Kamu bersikeras menganggap saya tidak punya nafsu makan apalagi makanan kesukaan. Saya tidak tahu apakah kamu sedang bercanda atau menyindir saya saat itu. Yang jelas, apapun jawabannya, pada akhirnya kamu tetap keras kepala dan tidak pernah meminta maaf kepada saya sekalipun.
Oleh karena itu, saya berniat membalasmu. Hari-hari berlalu dan saya tidak pernah berbicara kepadamu tanpa terbebas dari niat untuk menyakitimu; andai saya bisa. Dan bodohnya, kamu menerjemahkan sikap saya apa adanya tanpa menyadari awal kejadiannya.
Sebenarnya saya ingin sekali agar semua laki-laki di dunia ini, termasuk dirimu, untuk membaca 16 Teori Kepribadian Carl Jung atau Pride and Prejudice karya Jane Austen agar bisa memahami perbedaan-perbedaan karakter manusia. Introvert-Extrovert, Sensory-Intuitive, Thinking-Feeling serta Judging-Perceiving. Dan menyadari bahwa bersikap close-minded itu sangat menyebalkan. Akan tetapi, ketika saya berpikir lebih dalam, seharusnya saya tidak perlu heran atau tersinggung dengan pemikiran bodohmu mengingat hasil tes psikologi kita yang berbeda.
Kamu tradisionalis dan saya seorang realis.
Sebaris kata-kata itu sudah jelas menggambarkan perbedaan sudut pandang kehidupan dua anak manusia; yang pada akhirnya menyebabkan kamu tidak bisa percaya bahwa di dunia ini ada perempuan yang lebih sering menggunakan logika alih-alih perasaannya. Kamu tidak siap menerima ada perempuan yang tidak suka basa-basi. Kamu tidak bisa memahami itu sehingga kamu menganggap saya dingin dan tidak peka seperti ibu-ibu tiri dalam sinteron. Dan itu terjadi bahkan sebelum genap bilangan hari dalam seminggu kita berkenalan.
Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi jendela restoran siap saji tempat kita bertemu. Saya melihat meja nomor 21 masih terisi. Tidak banyak orang-orang yang mendatangi tempat itu sore ini, sehingga saya bisa kembali fokus merangkai cerita percakapan imajiner kita yang sempat terputus dering telepon beberapa waktu lalu.
Perkataan seorang teman memenuhi benak saya. Dia berkata bahwa pemikiran laki-laki dan perempuan satu sama lain bertentangan. Mereka tidak akan pernah bisa cocok sampai akhir zaman. Kalaupun mereka terlihat cocok, sebenarnya mereka berdua hanya sedang berusaha saling memahami.
Mungkin saja, selama ini kamu memang belum bisa memahami saya sehingga bersikap begitu menyebalkan. Dan saya pun demikian, belum bisa memahami kamu. Tapi pikiran itu tidak bisa bertahan lama mengingat kamu begitu mudahnya menghilang dari kehidupan saya tepat disaat saya menurunkan kewaspadaan diri saya padamu.
Hal itu tentunya menjadi tanda tanya besar yang menghantui pikiran saya selama berminggu-minggu. Atau barangkali selama ini saya telah salah menilai dan dibutakan persepsi diri saya sendiri?
Lalu, entah setelah sekian hari yang terasa lama, sayup-sayup saya mendengar nyanyian dari balik jendela kamar rumah saya. Saya mengira itu pasti kamu yang akan muncul di bawah sinar lampu yang berpendar merah jambu. Jadi saya melompat hendak menyongsong malam untuk melupakanmu. Tapi, dalam kelam saya malah menemukan dirimu. Dalam kerumunan dan kesunyian, seperti selalu…….
Mengapa kamu tersenyum seperti itu?
Sejujurnya, saya ingin berubah jadi kupu-kupu kalau begini, hinggap di pundakmu. Saya ingin menjadi secangkir kopi di atas meja kerjamu. Saya ingin menjadi sepiring nasi goreng diantara makan malammu. Saya ingin menjadi huruf-huruf dan jalin kelindan kalimat dalam ungkapan-ungkapan rindumu. Saya ingin berhenti disini, menyalakan lilin sekali lagi dan terbakar sekali lagi. Tapi, saya khawatir bertemu lagi denganmu.
Saya memesan segelas milkshake kedua. Risoles di piring masih utuh tak tersentuh. Saya menatap jendela restoran siap saji tempat kami bertemu. Langit sudah berubah hitam. Dan lampu-lampu kendaraan di jalan bagaikan kunang-kunang yang kuning keemasan. Lantas dari meja nomor 21, kamu berjalan menghampiri saya di meja nomor 7. Kamu menawarkan diri untuk menemani saya agar tidak kesepian. Tapi, setelah semua yang terjadi, segala kebodohan dan permainan ini, sejujurnya saya lebih sering merasa sepi justru saat bersamamu.
Jadi, saya katakan tidak. Dan kamu mempertanyakan alasannya. Sesungguhnya, saya hanya tidak ingin lagi membicarakannya.
(Kembali ke awal)