A Confession of INTJ

Sunday, May 21, 2017


Ada dua alasan mengapa seseorang tidak ingin membicarakan sesuatu. Pertama, ketika sesuatu itu tidak berarti apa-apa. Dan yang kedua, ketika sesuatu itu berarti segalanya. Kamu lantas menghela napas sejenak kemudian memikirkan kira-kira opsi mana yang sebenarnya melatarbelakangi perilaku saya padamu.

Sore itu, langit Jakarta mulai gelap berawan dan kita masih berada di sebuah restoran siap saji menunggu pesanan. Saya menghadapi segelas milkshake dan sepiring risoles keju sambil diam-diam merangkai percakapan imajiner denganmu. 

Jadi orang-orang bilang mereka lebih suka segalanya seperti air. Biarkan saja mengalir dan go with the flow. Tapi, saya bukan dari jenis yang seperti itu. Saya punya pemikiran saya sendiri. Saya tidak suka moto hidup seperti air yang sudah sangat mainstream dan menyesatkan.

“Kenapa?” tanyamu dalam sesi percakapan imajiner kita.
“Karena air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.” jawab saya padamu. 
Kamu lantas merenung lalu kemudian bertanya kembali, “Apakah dalam semua hal?”
“Tentu saja. Saya tidak suka main-main dengan kehidupan saya.” Kamu langsung tertawa mendengar pengakuan saya. Di telingamu itu terdengar palsu dan caramu tertawa terasa seperti menyinggung. “Kamu terlalu serius,” komentarmu sok tahu.

Di sela-sela percakapan imajiner kita, waktu kembali berputar ke beberapa bulan yang lalu saat kamu menuduh saya membosankan karena tidak punya akun Instagram. Lagi-lagi, kamu menghakimi hidup saya padahal kita baru dua belas kali bertemu. Bahkan makanan favorit saya saja kamu tidak tahu, meskipun, saya berulang kali memesan ayam goreng sambal ijo sama denganmu! 

Kamu bersikeras menganggap saya tidak punya nafsu makan apalagi makanan kesukaan. Saya tidak tahu apakah kamu sedang bercanda atau menyindir saya saat itu. Yang jelas, apapun jawabannya, pada akhirnya kamu tetap keras kepala dan tidak pernah meminta maaf kepada saya sekalipun.

Oleh karena itu, saya berniat membalasmu. Hari-hari berlalu dan saya tidak pernah berbicara kepadamu tanpa terbebas dari niat untuk menyakitimu; andai saya bisa. Dan bodohnya, kamu menerjemahkan sikap saya apa adanya tanpa menyadari awal kejadiannya. 

Sebenarnya saya ingin sekali agar semua laki-laki di dunia ini, termasuk dirimu, untuk membaca 16 Teori Kepribadian Carl Jung atau Pride and Prejudice karya Jane Austen agar bisa memahami perbedaan-perbedaan karakter manusia. Introvert-Extrovert, Sensory-Intuitive, Thinking-Feeling serta Judging-Perceiving. Dan menyadari bahwa bersikap close-minded itu sangat menyebalkan. Akan tetapi, ketika saya berpikir lebih dalam, seharusnya saya tidak perlu heran atau tersinggung dengan pemikiran bodohmu mengingat hasil tes psikologi kita yang berbeda. 

Kamu tradisionalis dan saya seorang realis.

Sebaris kata-kata itu sudah jelas menggambarkan perbedaan sudut pandang kehidupan dua anak manusia; yang pada akhirnya menyebabkan kamu tidak bisa percaya bahwa di dunia ini ada perempuan yang lebih sering menggunakan logika alih-alih perasaannya. Kamu tidak siap menerima ada perempuan yang tidak suka basa-basi. Kamu tidak bisa memahami itu sehingga kamu menganggap saya dingin dan tidak peka seperti ibu-ibu tiri dalam sinteron. Dan itu terjadi bahkan sebelum genap bilangan hari dalam seminggu kita berkenalan. 

Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi jendela restoran siap saji tempat kita bertemu. Saya melihat meja nomor 21 masih terisi. Tidak banyak orang-orang yang mendatangi tempat itu sore ini, sehingga saya bisa kembali fokus merangkai cerita percakapan imajiner kita yang sempat terputus dering telepon beberapa waktu lalu. 

Perkataan seorang teman memenuhi benak saya. Dia berkata bahwa pemikiran laki-laki dan perempuan satu sama lain bertentangan. Mereka tidak akan pernah bisa cocok sampai akhir zaman. Kalaupun mereka terlihat cocok, sebenarnya mereka berdua hanya sedang berusaha saling memahami.

Mungkin saja, selama ini kamu memang belum bisa memahami saya sehingga bersikap begitu menyebalkan. Dan saya pun demikian, belum bisa memahami kamu. Tapi pikiran itu tidak bisa bertahan lama mengingat kamu begitu mudahnya menghilang dari kehidupan saya tepat disaat saya menurunkan kewaspadaan diri saya padamu. 

Hal itu tentunya menjadi tanda tanya besar yang menghantui pikiran saya selama berminggu-minggu. Atau barangkali selama ini saya telah salah menilai dan dibutakan persepsi diri saya sendiri?

Lalu, entah setelah sekian hari yang terasa lama, sayup-sayup saya mendengar nyanyian dari balik jendela kamar rumah saya. Saya mengira itu pasti kamu yang akan muncul di bawah sinar lampu yang berpendar merah jambu. Jadi saya melompat hendak menyongsong malam untuk melupakanmu. Tapi, dalam kelam saya malah menemukan dirimu. Dalam kerumunan dan kesunyian, seperti selalu…….

Mengapa kamu tersenyum seperti itu?

Sejujurnya, saya ingin berubah jadi kupu-kupu kalau begini, hinggap di pundakmu. Saya ingin menjadi secangkir kopi di atas meja kerjamu. Saya ingin menjadi sepiring nasi goreng diantara makan malammu. Saya ingin menjadi huruf-huruf dan jalin kelindan kalimat dalam ungkapan-ungkapan rindumu. Saya ingin berhenti disini, menyalakan lilin sekali lagi dan terbakar sekali lagi. Tapi, saya khawatir bertemu lagi denganmu.

Saya memesan segelas milkshake kedua. Risoles di piring masih utuh tak tersentuh. Saya menatap jendela restoran siap saji tempat kami bertemu. Langit sudah berubah hitam. Dan lampu-lampu kendaraan di jalan bagaikan kunang-kunang yang kuning keemasan. Lantas dari meja nomor 21, kamu berjalan menghampiri saya di meja nomor 7. Kamu menawarkan diri untuk menemani saya agar tidak kesepian. Tapi, setelah semua yang terjadi, segala kebodohan dan permainan ini, sejujurnya saya lebih sering merasa sepi justru saat bersamamu.

Jadi, saya katakan tidak. Dan kamu mempertanyakan alasannya. Sesungguhnya, saya hanya tidak ingin lagi membicarakannya.

(Kembali ke awal)

Praha, Sebuah Memori

Thursday, May 4, 2017


Czech Republic, 2012

Ketika aku menjejakan lagi kakiku di Praha adalah saat-saat dimana salju sedang turun menutupi kota yang cantik itu sekitaran dua sentimeter. Aku merapatkan jaketku semakin lekat ke badan seraya berjalan di atas St. Charles Bridge, jembatan selebar sepuluh meter yang terbentang di atas Sungai Vltava yang menghubungkan antara Kota Tua dan Kastil Praha yang terkenal.

Saat itu Praha seperti kota penyihir dalam dongeng-dongeng klasik. Apalagi di tambah dengan menara-menara kastilnya yang runcing dan berwarna merah, Kota Praha benar-benar terlihat tua dan misterius dalam waktu yang bersamaan, bagaikan peradaban masa lampau yang keindahannya tersembunyi di balik tirai kabut musim dinginnya yang memukau.

Terlepas bahwa aku pernah memutuskan untuk meninggalkan kota yang cantik itu lima tahun silam, aku bahkan tak mengerti mengapa aku bisa kembali lagi ke Praha. Kota itu seperti menyimpan daya tarik tersembunyi yang selalu memaksaku untuk kembali meskipun aku sudah berlari.

Tak hanya dari bangunan-bangunannya yang sebagian besar berarsitektur gothic, baroque atau roccoco yang bisa menyihir orang yang menatapnya dalam kekaguman, tetapi juga orang-orangnya yang abadi; seolah-olah waktu terhenti saat mereka menginjak usia dua puluh lima tahun. Atau seolah-olah orang-orang di Praha tidak akan pernah mati selamanya.

Lima tahun meninggalkan Praha bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya sudah banyak hal yang berubah atau setidaknya terhapus dalam kurun waktu sepanjang itu. Tetapi, Kota Praha lagi-lagi tidak seperti kota bagi manusia, kota itu terlalu indah dan ia seakan-akan mengabadikan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya, tanpa terkecuali.

Bahkan hingga aku kembali setelah lama berlari, perasaanku lima tahun silam sebelum aku meninggalkan kota itu masih tetap sama. Yang selanjutnya menimbulkan kerisauan dalam hatiku dan membuat aku berpikir lama sekali di bawah turunnya salju musim dingin di Jembatan Charles. 

“Apakah masa depanku juga akan sama?” 

Rupanya tak hanya perasaanku di masa lalu itu yang tak berubah sedikitpun saat menjejakan kembali kedua kakiku di Praha, penyihir-penyihir tua bermantel tebal; mereka juga tetap ada disana - setia menjajakan bola-bola kristalnya di pinggiran jembatan St. Charles. 

Kemudian aku tersadar dari lamunanku sekaligus terkesima ketika salah seorang penyihir di jembatan itu menyodorkan bola kristalnya yang bening dan berkilauan ke hadapanku yang tengah memandangi mejanya.

“Kristal ini, apakah kau mau membelinya?” Tanya sang penyihir.
“Tentu saja. Kristal ini sangat indah.” Balasku tanpa berpikir panjang. Seharusnya aku tidak boleh
menerima kristal itu. Namun itulah satu-satunya kesempatan agar aku bisa menemukan sesuatu yang
sedang aku cari. Lebih tepatnya seseorang yang sedang aku cari.

Maka seperti itulah pertemuanku dengan si penyihir yang memberikan aku bola kristal di jembatan St. Charles. Dan saat itu aku belum tahu pasti apa yang selanjutnya akan terjadi dalam hidupku kecuali bahwa aku merasa jika Praha benar-benar seperti kota di Negeri Dongeng, karena keesokan harinya aku tidak hanya bertemu dengan penyihir-penyihir yang menjajakan bola kristal ajaibnya di St. Charles tetapi juga seorang malaikat dengan sayap hitam pekatnya – yang diam-diam lewat bola kristal itu aku mencarinya.

Dan hari itu… 

Aku tak sengaja melihatnya saat ia sedang termenung menatap sungai dengan sayapnya yang lebar menyentuh tanah. Aku tahu malaikat itu pasti mengenaliku jika dia melihatku. Dan benar saja yang ku takutkan pun terjadi, dia melihatku dan kemudian entah bagaimana caranya langkah kakiku akhirnya mengantarkan aku kepadanya ditengah-tengah terpaan angin musim dingin yang menghembus tubuhku, perasaan kami yang kaku dan cerita lain yang belum usai.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak menyukai malaikat. Tapi mengapa jika begitu adanya aku tetap memanggilnya malaikat? Padahal teman-temanku semuanya bersikeras memanggil dia Iblis. Namun, kemudian aku tersadar bahwa malaikat itu terus menatapku. Aku memaksakan ketenangan merasuki tubuhku saat kami akhirnya berhadapan.

Seperti air danau yang membeku, kami nampak tenang di permukaan. Namun kenyataannya saling bergejolak di dalam. Maka mungkin seperti itulah sebenarnya keadaan kita; sekarang.

Tarragona, Tentang Perjalanan

Monday, May 1, 2017



Spanyol, 2012

Akhir musim panas:

Ke Tarragona aku kembali. Kota pesisir pantai yang cantik; tanah kelahiranku. Aku menyukai segalanya tentang kota ini. Pantai-pantainya yang indah, hamparan pasir halusnya yang keemasan serta suhu airnya yang hangat. Dan kenangan-kenangan yang aku tinggalkan di sana. Dan juga rumpun bunga-bunga kecil berwarna biru yang tumbuh di halaman belakang rumah ibuku. Beberapa bulan yang lalu, aku terpaksa pergi meninggalkan kota pesisir pantaiku, untuk pergi ke Alpujarras sebuah desa di bagian selatan pegunungan Sierra Nevada yang berbeda sekali dengan tanah kelahiranku demi melaksanakan dua buah misi.

Misi yang pertama adalah misi kemanusiaan. Aku pernah mendengar seorang filusuf Yunani berkata dalam bukunya bahwa manusia itu dikatakan benar-benar menjadi manusia ketika dia menggunakan sifat-sifat kemanusiaannya yang terdalam, hati nuraninya yang murni dan jiwa sosialnya untuk menolong sesama. Diam-diam aku mengamini kata-kata sang filusuf itu, dan diam-diam pula aku menjadi sedih dalam hatiku, meskipun sejujurnya aku sendiri masih tak mengerti mengapa aku akhirnya memilih mendedikasikan diriku justru disaat aku merasa seolah-olah akulah orang yang seharusnya menjadi objek kemanusiaan yang pantas dikasihani. Oh, Tidak! Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu? Yang berhak mengasihani diriku hanyalah Tuhan. Aku tidak ingin orang-orang mengasihani aku meskipun sejujurnya saat itu aku sedang merasa hancur. Aku penguasa atas diriku sendiri. Aku yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku dan bukan orang lain.

Misi yang kedua adalah memahami apa yang disebut orang-orang bestari sebagai rahmat yang disamarkan. Sama seperti kebanyakan manusia yang penglihatannya dangkal akan hikmah dan hakikat, saat itu timbul satu pertanyaanku kepada Yang Maha Kuasa yang hampir-hampir saja mengarahkan aku dalam kemarahan, putus asa dan rasa kecewa, mengapa disaat-saat hancur yang kurasakan, justru aku harus berpisah dengan keluarga dan teman-teman dekatku, jauh dari tanah kelahiranku, jauh dari kenangan-kenanganku yang meskipun pahit tapi mampu membuat aku merasa sebagai manusia karena masih bisa merasa. Bukankah disaat-saat seperti itu teman dan keluarga adalah obat?

Tapi rupanya perjalananku ke Alpujarras tidak demikian. Bisa dibilang, itulah cara Tuhan menghalangi rencanaku yang sudah ku persiapkan sedemikian rupa. Sahabatku Minerva, seorang gadis keturunan Turki-Spanyol yang kuliah di universitas yang sama denganku bahkan sampai tak habis pikir dan berulang kali mempertanyakan rencanaku yang menurutnya sangat nekat itu. “Apakah kau yakin benar-benar akan melakukannya?” Tanya Minerva di sela-sela kami menyusuri Taman Rambla Nova. Yang diteruskannya lagi dengan nasehat seperti biasanya, “Sudahlah. Lebih baik jangan kau lakukan. Itu akan membunuhmu perlahan.” Sejujurnya Minerva benar dan aku memang tak tahu dengan keputusan yang aku ambil itu apakah akan sesuai atau tidak untukku di masa depan, tapi aku hanya tak mau merasa bodoh dan menyedihkan jika aku tidak melakukannya saat itu. Aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku akan melakukannya dan aku sudah menyiapkan segalanya meskipun itu akan sangat berpotensi melukai hatiku. Lagipula aku tidak punya alasan untuk tidak melakukannya. Dan lagi, setiap kali aku mengingat hal tersebut-- semua peristiwa itu, seolah-olah sebuah mata pisau yang tajam sedang dihujamkan ke jantungku berulang-ulang kali. Jika hal tersebut seperti mati, maka mungkin bagiku saat itu sudah tidak akan ada bedanya lagi. Aku berulangkali merasakan aku sudah mati. Jadi aku memutuskan untuk melakukannya.

Pertengahan musim panas:

Aku berada jauh dari Tarragona. Alpujarras benar-benar seperti oase di Padang pasir. Hamparan pertanian yang membentang dari timur ke barat, yang dialiri oleh air yang berasal dari salju yang meleleh di puncak gunung Sierra Nevada, terlihat kontras sekali dengan pemandangan tanah tandus di kaki pegunungannya yang dipenuhi dengan ladang-ladang pohon zaitun dan bangunan-bangunan peninggalan Bangsa Moor. Mungkin ini cara Tuhan menghiburku. Tapi meskipun aku mulai mencintai Alpujarras dan orang-orangnya yang ramah, dan udaranya yang segar kuhirup serta semua pemandangan alam menakjubkan di hadapanku, aku tetap lebih mencintai kota pesisir pantaiku; dimana aku bisa menemukan rumpun bunga biru kecil yang tidak pernah aku dapati tumbuh di Alpujarras.

Seperti lukisan-lukisan beraliran surealis yang menggambarkan simbol-simbol, bunga biru kecil itu adalah simbol bagiku. Aku suka warnanya yang biru. Seolah-olah warna bunga itu menggambarkan perasaan hatiku. Aku suka namanya yang tidak seperti nama-nama bunga pada umumnya. Dan tidak banyak orang yang tahu. Aku suka semua hal tentang bunga itu, seperti aku menyukai kenangan yang ada dibalik nama bunga itu.

Ketika masih di Tarragona, aku sesekali keluar rumah di malam hari dan berjalan di tepi Pantai Arabassada sendirian, menikmati angin pantai yang dingin atau menghabiskan waktu memandangi rumpun bunga biru kecil sambil menulis. Seperti dua sisi mata uang, aku tak hanya mengagumi bunga itu saja tapi sekaligus juga ingin menghapusnya dari penglihatanku. Bunga biru kecil itu membuat aku merasakan segalanya yang terjadi di hidupku, mengarahkan aku pada pertanyaan yang selalu sama yang terus berputar-putar di otakku, pertanyaan yang selalu buntu dan tak bisa ku jawab. Dan kalaupun aku merangkai-rangkai sendiri cerita tentang jawaban dari pertanyaanku, aku selalu merasa tidak puas karena jawaban itu selalu berujung pada satu kata yang tak akan lagi bisa disangkal. Kau tahu apa itu?

Takdir.

Ya! Kata orang-orang, jika sudah takdir maka tidak akan bisa diubah lagi.

Malam hari dipertengahan musim panas:

Selama di Alpujarras aku tak hanya belajar memanusiakan manusia tetapi juga belajar melihat hidupku dari sisi yang lain. Seperti seorang filusuf yang sedang mempelajari aliran para sufi, aku mencoba melihat hidupku dari sisi yang lebih spiritual yaitu lewat kasih sayang Tuhan padaku. Dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatku merasa bahwa Tuhan tidak menyayangi diriku terjawab sudah. Aku tersadarkan dengan padatnya aktivitasku di Alpujarras tepat disaat aku merasa sangat hancur adalah cara Tuhan menyayangiku. Benar kata orang bijak, kesibukan adalah obat untuk kesedihan. Dan aku juga tersadarkan dengan menjauhnya aku dari tanah kelahiranku, dimana tidak kudapati sedikitpun rumpun bunga warna biru yang biasa kulihat tumbuh di Tarragona, nyatanya sukses membuat aku tidak banyak berkhayal tentang masa lalu dan seandainya; dua topik favoritku saat sedang kacau atau terluka. Itu kumaknai sebagai cara Tuhan menyelamatkanku. Bukankah tidak baik terus menerus berkhayal?

Akhir musim panas:

Aku kembali ke Tarragona. Dan aku sudah melupakan tentang rencanaku yang dulu dipertanyakan oleh Minerva. Tapi gelombang perasaan yang mulai hilang ketika di Alpujarras itu, perlahan-lahan muncul kembali. Aku hampir-hampir saja menjadikan lagi kebiasaanku berkhayal masa lalu sebagai aktivitas favoritku jika saja Tuhan tidak memberikan petunjuk-Nya padaku. Ibuku selalu mengatakan bahwa petunjuk adalah dari Tuhan. Maka mintalah pada-Nya.

Maka hari itu aku melihatnya. Kami berada di sebuah pameran lukisan yang ruangannya berbentuk lorong panjang, aku berdiri diujung lorong, dan orang itu pun berdiri di ujung lorong yang lain. Kami berhadap-hadapan, kami sama-sama saling melihat tapi tidak bisa saling mendekat karena jalan kami terhalang oleh banyaknya orang yang juga sedang melihat-lihat lukisan. Kemudian aku terbangun. Hari-hari berikutnya aku merasakan hatiku jauh lebih lapang dan aku semakin yakin bahwa Tuhan sudah memilihkan pilihan-Nya yang terbaik untukku. 

Musim dingin:

Rumpun bunga biru kecil itu sudah mulai menghilang dan hanya tersisa kelopak-kelopaknya yang mulai tertutup serpihan salju. Aku memandanginya, tapi tidak merasa ingin melakukan apapun. Dan tidak juga merasakan perasaan apapun selain bahwa hidupku terasa jauh lebih baik. Seperti salju yang turun menutupi bunga-bunga kecil itu, dalam hati aku pun berharap bahwa Tuhan akan selalu meliputiku dengan kasih sayang-Nya seperti salju dingin yang menutupi rumpun bunga biru kecil itu, yang aku tidak ingin mengatakan namanya.

St. Petersburg, Rusia

Monday, April 17, 2017



St. Petersburg, 2013

Ivanof:

Seperti hari kemarin aku berjalan di belakangnya menjaga jarak. Kupikir aneh melihatnya melakukan segala hal sendirian. Dia mandiri sekaligus abstrak, sulit ditebak dan bagaikan papan puzzle yang rumit dan membingungkan. Menurutku dia benar-benar tipikal perempuan perkotaan. Cerdas, tangguh sekaligus angkuh.

Di kota sebesar St. Petersburg yang dijuluki Venesia dari utara ini rupanya aku tak hanya terpesona dengan bangunan-bangunan pinggir kanalnya yang megah dan bergaya renaissance kuno peninggalan abad 19 saja, tidak juga dengan Museum Hermitage yang menyimpan ribuan koleksi karya seni patung dan lukisan para seniman terkenal seperti Rembrant atau Van Gogh, ada yang lebih menarik minat dan perhatianku di sini; gadis Rusia yang angkuh itu. 

Aku sudah sering kali mendengar bahwa rata-rata orang Rusia memang jarang tersenyum terutama kepada orang asing yang belum dikenal. Kehidupan masa lalu negara komunis yang sekarang telah merubah sistem pemerintahannya menjadi federal yang di penuhi dengan perang dan pertumpahan darah di masa lalunya itu, mungkin telah mempengaruhi sisi psikologis masyarakatnya menjadi lebih muram dan mudah curiga sehingga mereka menjadi seperti itu

Tapi, itu semua seharusnya hanya berlaku untuk orang asing. Sementara kami bukanlah orang asing. Apalagi di negeri kami sendiri. Dia sudah mengenalku semenjak tiga tahun belakangan ini. Bahkan aku sendiri saja tahu nama lengkapnya, aku kenal kedua orangtuanya dan aku pernah datang ke rumahnya untuk makan vatrushka, sejenis kue bolu berbentuk bulat yang berisi keju, gula, dan selai buah khas negeri kami, Rusia.

Ketika di suatu sore kami berpapasan di tangga kwartira (flat) yang kami tinggali, ekspresi wajah gadis itu datar dan tanpa senyuman. Misterius tak terbaca seperti biasanya. Mungkin karena itu juga aku jadi ragu-ragu untuk menyapanya. Dia terlihat muram. Namun, tanpa ku sangka-sangka, ternyata semua orang di kwartira telah memaklumi ekspresi hampanya itu, yang secara jujur ku akui memang terlihat cukup menjengkelkan.

Kata orang-orang, dia memang sudah seperti itu dari awal kedatangannya ke kwartira. Terlebih lagi dia seorang gadis Rusia. Peraturannya memang demikian; Gadis Rusia memang jarang tersenyum. Tapi aku tidak bisa menerima peraturan yang aneh itu karena orang-orang di kwartira tidak tahu tentang kami sebelumnya. Seperti mata yang hanya melihat luarnya saja, seperti itulah mata orang-orang di kwartira melihat kami; dua orang asing yang tidak saling mengenal.

Menyesal adalah ketika kau tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk hal yang sama dalam hidupmu. Selama kurang lebih dua tahun sejak kami tinggal di kwartira yang sama, rupanya aku tidak hanya diliputi oleh rasa penyesalanku yang mendalam atas apa yang telah kulakukan padanya di masa lalu tetapi juga sejuta rasa penasaran yang selalu saja menghantuiku di setiap aku melihat gadis Rusia itu melintas di hadapanku. 

Dia berubah.

Dia tidak lagi seperti gadis Rusia yang dulu aku kenal dengan senyumnya yang selalu mengembang, kesukaannya yang berlebihan pada boneka matryoshka, bunga-bunga atau Beruang Siberia. Atau mungkin inilah dia yang sebenarnya? Dingin dan beku - seperti St. Petersburg yang pertengahan September ini baru memasuki musim penggugur. Cuaca berada di kisaran 3 derajat celcius dan mungkin akan semakin turun mengingat musim dingin tinggal beberapa minggu lagi. 

Aku berjalan di atas jembatan yang membentang di sepanjang aliran Sungai Neva, mengenakan topi dan sarung tanganku yang tebal dan kulihat gadis Rusia itu ada di sana, sedang menggambar sesuatu di buku sketsanya.

“Apa yang kau gambar?” tanyaku; seolah-olah aku lupa dengan sikapnya yang seperti es batu; dingin dan beku. Dia menoleh sekedarnya dan ekspresi muram itu tetap ada disana; tercetak di wajahnya yang pilu.

“Jejak kaki,” jawabnya sambil meneruskan lagi menggambar sketsa. Lama aku berdiri di sampingnya dia tetap membisu. Kebekuannya membunuhku.

“Kenapa?” Aku mengalah dan dia baru menanggapi pertanyaanku ketika sebuah tour boat lewat di bawah jembatan sekitar dua menit kemudian.

“Semacam renungan yang seharusnya dipikirkan oleh sebagian orang.” Kata gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Sungai Neva. 

“Aku tak mengerti.” 

Gadis Rusia itu lantas menghela nafas; satu-satunya bagian dari dalam dirinya yang masih aku kenali setelah hampir dua tahun belakangan ini dia seperti orang asing bagiku.

“Ada orang-orang yang ketika dia pergi meninggalkan jejak yang begitu berkesan di hati kita. Dan ada pula orang-orang yang ketika dia pergi, membuat kita begitu ingin meninggalkan jejak kaki kita di muka mereka. Itu untuk yang kedua.”

Aku tercengang tak percaya. Gadis Rusiaku yang dulu manis dan polos, kecil dan rapuh - ternyata sinis dan sarkastik. Aku tertawa; campuran antara penyesalan dan rasa bersalah. Namun, gadis itu masih bertahan dengan ekspresi muramnya menatap Sungai Neva.

“Oke. Apakah itu tandanya kau masih membenciku?'' tanyaku mulai khawatir karena dia rupanya tidak sedikit pun tertawa seperti aku.

“Tidak,” jawabnya datar. 

Ekpresi wajahnya lagi-lagi tak terbaca. Matanya gelap dan dalam seperti malam pekat yang panjang.

Diam-diam aku berharap itulah jawaban jujur darinya. Bahwa dia benar-benar sudah memaafkanku. Lalu tiba-tiba gadis itu beranjak pergi dan mulai menjauh meninggalkan aku yang masih terpaku di atas jembatan dengan membawa buku sketsanya yang belum selesai.

“Irina!” panggilku ditengah-tengah suaraku yang parau akibat udara dingin St. Petersburg. 

Gadis itu tetap pada pendiriannya. Sekeras apapun aku memanggilnya, gadis itu tetap berjalan dan tidak menoleh atau berhenti sedetik pun untuk melihatku. Aku tidak mengerti apa yang ada dipikirkannya saat itu. 

Keesokan harinya saat aku terbangun di kwartiraku, aku masih teringat kata-kata Irina yang sepanjang malam terus menerus menghantui pikiranku: “Ada orang-orang yang ketika dia pergi meninggalkan jejak yang begitu berkesan di hati kita. Dan ada pula orang-orang yang ketika dia pergi, membuat kita begitu ingin meninggalkan jejak kaki kita di muka mereka. Itu untuk yang kedua.”

Itu untuk yang kedua. Itu untuk aku.

Montana

Thursday, March 16, 2017


Montana, 2011 

Tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyukai Montana. Sebuah negara bagian di utara Amerika yang terkenal dengan peternakan kudanya. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hidupku tumbuh dan besar disana, menghirup udaranya yang bebas, menapaki setiap jengkal padang rumput tempat kami menggembalakan kuda-kuda dan bahkan mendaki gunung-gunungnya yang kaya akan mineral. Tentu saja tanpa sepengetahuan ayahku. 

Hampir semua orang di Montana adalah para petani atau peternak kuda yang mempunyai peternakan dan ladang-ladang gandum (winter wheat) yang luasnya mencapai puluhan hektar. Selain itu, Montana juga memiliki Yellowstone National Park; Taman Nasional tertua di dunia yang telah disinggahi oleh jutaan pengunjung semenjak pertama kali di buka pada tahun 1872. Yang tak hanya menawarkan keindahan pemandangan alami tetapi juga tempat-tempat eksotis, suasana romantis sekaligus kesempatan penuh untuk berpetualang di alam bebas pada satu tempat sekaligus. 

Namun meskipun Montana begitu indah dan terkenal dengan Yellowstone National Park-nya yang mendunia, ternyata tanpa sepengetahuanku, Montana diam-diam menyimpan sebuah kutukan yang selama ini selalu disembunyikan oleh kedua orangtuaku, yang baru saja terungkap akhir-akhir ini ketika keinginanku untuk memberontak sedang bergejolak.

Selama aku hidup dan tumbuh di Montana, aku baru menyadari bahwa ternyata semua aspek kehidupanku di sini hanya berputar diantara orang-orang yang sama, gunung-gunung yang tinggi menjulang dan peternakan-peternakan kuda serta ladang-ladang gandum warisan keluarga. Seperti orang-orang yang mungkin juga terkena kutukan tempat tinggal kami, ayahku yang paradoks suatu hari mengatakan padaku dengan cukup jelas bahwa sebagai anak pertama, akulah yang harus mengelola peternakan kuda milik keluarga kami meskipun aku tidak menyukainya. Saat itu, aku ingin sekali pergi meninggalkan Montana, tanah kelahiranku. Kalau bisa dalam waktu yang sangat lama. 

Sebenarnya, aku sudah mengetahui dari ibuku bahwa alasan utama dibalik itu semua adalah karena ayahku yang super protektif itu tidak ingin aku yang merupakan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Jennings dan tidak mahir bela diri ini terpisah jauh dari mereka. Menurut ayahku, menjadi peternak kuda tidak akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga seperti menjadi pekerja kantoran yang harus lembur atau pulang malam. 

Sejujurnya aku sangat kecewa dan ingin melancarkan protes keras atas keputusan ayahku yang semena-mena itu. Meskipun jauh dilubuk hatiku, aku sendiri sebenarnya menyadari sekali bahwa apa yang mereka lakukan kepadaku adalah bentuk kasih sayangnya yang teramat dalam agar aku hidup senang dan nyaman. Tapi, tetap saja aku mempunyai keinginan yang menurutku lebih besar dan lebih mulia dibandingkan dengan hanya mengurusi kuda-kuda di Montana. Aku ingin menjadi pekerja kantoran atau dokter atau apapun - asalkan tidak menjadi peternak kuda seperti kedua orangtuaku. 

Lalu, tanpa terasa tahun-tahun berganti dan takdir pada akhirnya membawaku pada titik ini; titik dimana aku tidak lagi memikirkan untuk pergi dari Montana karena aku sibuk mengurusi peternakan dan hobi berkudaku.

Pagi itu aku mencoba pergi berkuda ke sebuah padang rumput terbuka yang agak jauh dari tempat aku biasa berkuda. Ketika satu jam kemudian kuda Amerika berwarna hitam yang kubawa dan belum kuberi nama itu tiba-tiba menjadi sulit dikendalikan sehingga aku terpaksa turun dari pelana dan menautkan tali kekangnya pada sebuah pohon dengan susah payah. Aku tak mungkin membawa kudaku kembali ke peternakan dalam keadaan mengamuk seperti itu. Maka, aku pun berjalan menyusuri jalanan yang sebelumnya aku susuri untuk mencari pertolongan. Tetapi rupanya kudaku sudah membawaku berlari begitu jauh dari rumahku.

Ketika aku mulai kelelahan berjalan di tengah-tengah terik matahari yang mulai mengganas, tiba-tiba dari jarak yang tidak terlalu jauh aku mendengar suara langkah kaki kuda di belakangku. “Apakah ada yang bisa ku bantu, Nona?” tanya si penunggang kuda yang memakai topi laken berwarna coklat dan rompi dari kulit rusa saat jaraknya cukup dekat denganku. Aku menoleh ke arahnya. Seorang koboi yang sedang menggenggam tali kekang kudanya yang hitam menawariku bantuan. 

Hari-hari berikutnya dia muncul begitu saja di peternakanku dengan kuda jenis thoroughbred dan senyum Amerikanya yang entah bagaimana terlihat sempurna di mataku. Dan juga masih dengan topi laken dan rompi kulit rusanya yang meskipun sederhana namun terlihat sesuai di badannya. Hari-hari berikutnya dia datang lagi ke peternakan dan mulai mengajakku pergi berkuda ke sebuah padang tandus di kaki perbukitan Montana. 

Dia mengatakan padaku bahwa dia sering pergi berkuda ke tempat tersebut setidaknya tiga kali dalam seminggu untuk latihan memanah atau menembak. Ketika kami pulang di sore hari, dia lalu menyempatkan diri turun dari kudanya dan mengantarkanku sampai ke gerbang pintu meski aku tidak meminta. Dan baru pergi ketika aku sudah tidak terlihat lagi olehnya. Tapi kemudian timbul pertanyaanku. Dan kebingunganku yang mendalam tak bisa ku terjemahkan ke dalam puisi manapun. 

Aku seperti menentang diriku sendiri. Seperti ada yang salah. Atau apakah ini terlalu cepat? 

Yang mudah datang akan mudah pergi. Begitulah yang ku dengar dari orang-orang saat mereka melihat laki-laki bertopi koboi dan berompikan baju dari kulit rusa itu datang kembali beberapa hari kemudian setelah hampir beberapa bulan ini dia selalu menemaniku untuk latihan berkuda. Hari itu dia menjanjikan akan mengajakku ke perbatasan Montana. Tempat yang paling jauh dari tempat-tempat yang sudah pernah kami jelajahi. Namun setelah satu hari perjalanan yang ditempuh tak juga membuat kami sampai di tempat yang kami tuju, aku memberanikan diri bertanya,

“Menurutmu, kapan kita akan sampai?” Dan kenyataan yang ku terima adalah kami tidak akan pernah bisa sampai di perbatasan Montana; yang kata orang-orang adalah ujung dari segalanya. 

Yang mudah datang akan mudah pergi. Persis seperti yang dikatakan orang-orang sebelum aku menyangkal kata-kata mereka dengan segala keyakinanku yang keras seperti batu.

Aku masih mengikutinya yang tiba-tiba mulai berlari memacu kudanya. Aku menarik tali kekangku dan mulai melakukan hal yang serupa. Tetapi lama kami berlari, dia tidak sedikit pun berhenti bahkan ketika aku memohon. Lalu kemudian waktu seolah-olah membeku dan aku melihat diriku sedang berbicara di depan cermin, “Kenapa aku harus berlari?” Dan pertanyaan itu menarikku kembali ke dunia nyata - di sebuah tanah tandus di suatu tempat yang asing bagiku. Saat itu aku dapat merasakan hatiku yang letih mulai berdarah. Aku memutuskan untuk berbalik dan pergi berlari dengan kudaku – menjauh dari orang yang menjanjikan aku tiba di perbatasan Montana. 

Aku ingin segera sampai di rumah untuk mengobati hatiku yang sakit dan terluka. Angin kering yang bercampur dengan emosiku mengibarkan rambutku yang terurai ke belakang. Aku bisa merasakan dia melihatku dan mulai berbalik untuk mengejar. Tapi kemudian aku merasa tidak ingin sedikit pun untuk berhenti atau melihatnya yang sedang memanggil-manggil namaku. Dan ternyata memaafkan manusia tidak semudah jika mengucapkannya. Aku semakin cepat memacu kudaku, meninggalkan semua kesedihanku yang tak ingin lagi aku ingat. Saat itu aku berjanji bahwa aku tidak akan pernah lagi pergi meninggalkan Montana.