Tembok yang Akhirnya Runtuh

Wednesday, December 28, 2016

Aku sengaja menulis kisah ini dari sudut pandang seseorang yang tidak mirip dengan sudut pandang siapapun kecuali diriku sendiri.


Dua minggu telah berlalu semenjak pertama kali rombongan kami menginjakan kaki di Desa Awan. Meskipun lokasi desa tersebut tidak tercantum di peta dan terletak jauh di puncak bukit, aku mendapati diriku diliputi rasa senang, alih-alih perasaan khawatir terpisah dari peradaban modern. Dilihat dari lokasi alamnya yang indah dan damai, aku sudah memperkirakan bahwa aku akan cukup senang tinggal disana. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa aku datang ke Desa Awan tidak sendiri melainkan bersama serombongan teman-teman baru, yang pasti akan menimbulkan suasana berisik alih-alih perasaan tentram.

Rombongan kami berjumlah lima belas orang yang terdiri dari lima orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan. Aku belum begitu mengenal mereka kecuali hanya beberapa orang saja. Lagipula aku bukan jenis perempuan yang senang berbasa-basi. Aku bisa saja berbasa-basi jika aku mau. Tapi aku jarang repot-repot untuk melakukannya. Itu bukan sifatku.

Maka, siang itu pun berjalan seperti biasa. Aku duduk di pojok ruangan tamu menghadap layar laptop dan tenggelam dalam kesibukanku sendiri, sebelum akhirnya, konsentrasiku pecah berkeping-keping dikarenakan suara ribut orang-orang disampingku yang tertawa-tawa. 

“Apa mereka tidak punya rasa tanggung jawab?” batinku murka. Mengingat program-program kerja kelompok kami yang belum selesai. Aku berusaha menghilangkan kedongkolanku dengan mengabaikan keseruan teman-teman baruku yang gila itu. Namun aku bisa melihat dengan jelas, bahwa teman-teman wanitaku kentara sekali, pada saat itu, sedang mencari perhatian seseorang yang juga ada di situ. Nada suara yang lebih tinggi dari biasanya adalah salah satu pertanda.

Dan siapa lagi kalau bukan dia yang menjadi target incaran teman-temanku; Si Tuan Tebar Pesona itu. Yang duduk terentang jarak lima meter dariku. Yang diam-diam menjadi idola baru kaum hawa penghuni posko. Aku bersyukur aku tidak ngefans padanya. Dan bersyukur bahwa aku tidak konyol seperti teman-temanku yang haus perhatian.

Dari tempat dudukku, aku bisa mendengar Si Tuan Tebar Pesona merangkai kata-katanya. Dia memuji salah seorang temanku yang hari itu rambutnya diurai alih-alih diikat seperti biasa.

Dan seperti kebanyakan wanita yang mendapat pujian, temanku yang sebenarnya ngefans berat padanya itu pura-pura menanggapi pujiannya dengan sikap jual mahal yang dipikirnya sempurna. Tapi karena senyum di wajahnya yang tak juga hilang, aktingnya jadi sia-sia.

“Palingan sama perempuan lain ngomongnya juga begitu.” ucap temanku masih pura-pura jual mahal, cuek dan tidak peka alih-alih mengucapkan terimakasih.

“Tapi semua perempuan memang cantik.” balas si Tuan Tebar Pesona dengan percaya diri. Pasti zodiaknya Leo. Kecil kemungkinan kalau dia single, batinku curiga. 

“Termasuk nenek-nenek yang sudah tua dan keriput?” Tanya perempuan lain yang juga ngefans sekaligus cemburu pada waktu yang bersamaan.

“Oh tentu saja. Asal yang lihatnya kakek-kakek.”

Persaingan memperebutkan Tuan Tebar Pesona semakin sengit setiap harinya di kalangan perempuan penghuni posko. Dari mulai modus minta tolong sampai menawari bantuan dan memasak makanan semuanya lengkap. Mungkin, satu-satunya perempuan single yang tidak tertarik untuk ikut terlibat di dalamnya hanyalah diriku. Dari lima orang laki-laki yang ada di posko, fans terbanyak dimiliki oleh Tuan Tebar Pesona meskipun dia biasa saja. Tidak ganteng seperti Theo James atau keren seperti Channing Tatum.

Setelah mengamati laki-laki itu beberapa hari, terlepas dari statusnya yang masih misteri, kepribadiannya ternyata cukup menarik, karena dia ceria, ramah dan humoris. Pantas saja fans-nya banyak. Aku suka laki-laki humoris tapi bukan laki-laki genit dan iseng seperti dia. 

Akhirnya beberapa hari kemudian, misteri tentang status Tuan Tebar Pesona terkuak secara tidak sengaja. Ketika aku hendak mengambil dompetku yang tertinggal di dalam kamar, aku mendengar suara laki-laki itu dari balik jendela kayu yang ditutup rapat. Rupanya dia sedang mengobrol di telepon dengan pacarnya. Tidak perlu kujelaskan lebih lanjut bagaimana kata-katanya karena ternyata kecurigaanku selama ini terbukti benar. Bahwa dia itu seratus persen laki-laki iseng. Kelakuannya tidak perlu untuk ditanggapi dengan serius.

Aku tidak tahu apakah para fans beratnya sudah mengetahui rahasia ini ataukah belum. Atau jangan-jangan mereka tidak peduli? Apapun jawabannya itu bukan urusanku. Jadi, hari-hari berikutnya aku menjalani kehidupanku seperti biasa. Duduk di pojok ruangan tamu, mengotak-atik laptopku, sibuk dengan duniaku sendiri atau sesekali mengobrol dengan beberapa orang jika aku mau. Bisa dibilang sikapku ini minimalis sekali. Tapi aku tidak peduli.

Setelah menghabiskan lebih dari dua minggu berada di dalam satu atap dengan anggota rombongan, aku berani mengatakan bahwa meskipun aku ini perempuan sejati, tapi jiwaku cenderung maskulin alih-alih feminin. Bukan dalam artian tomboy atau hobi berkelahi dengan preman dan mafia. Bukan. Bukan jenis maskulin yang seperti itu. 

Tapi, bisa dibilang aku adalah tipe perempuan yang jarang merepotkan orang lain, tidak suka jadi pusat perhatian, cenderung serius dan mungkin agak sedikit misterius karena jarang sekali butuh bantuan siapapun, seperti pagi ini, ketika aku mengajak temanku untuk berbelanja makanan di warung dekat sekolah. Kebetulan saat itu, Tuan Tebar Pesona sedang duduk berdua dengan dia. Dari mimik mukanya, temanku itu sepertinya enggan. Padahal biasanya dia semangat sekali kalau kuajak belanja. Jadi, dia malah melontarkan alasan yang ditelingaku terdengar palsu alih-alih mengiyakan ajakanku. Dia bilang sedang tidak enak badan. Tapi tentu saja aku tidak percaya. Begitupun ketika aku mengajak teman-temanku yang lain yang sedang berkumpul di dekat Tuan Tebar Pesona, semuanya menolak. Akhirnya, aku pergi sendiri sambil menenteng tas belanjaan. Tidak masalah jika tak ada yang mau ikut denganku. Aku bisa pergi sendiri.

Ketika aku pulang berbelanja dan hendak menyimpan kantong belanjaanku di dapur, Tuan Tebar Pesona memanggilku. Aku tidak khawatir dia bakal menunjukan kelakuan isengnya lalu membuatku grogi atau salah tingkah, karena aku tidak naksir padanya.

“Kamu meninggalkan sesuatu ketika tadi pergi ke warung.” 

“Meninggalkan apa?”

“Hatiku.” Jawabnya iseng. 

Masih dengan senyum jahil yang menggemaskan terlepas dari statusnya yang disayangkan. Tapi, memang sudah pembawaanku yang cenderung serius dan waspada, alih-alih terpesona atau pura-pura tidak peka, aku malah menanggapinya dengan dingin “Oh, pantas saja kantongku berat. Ini ku kembalikan padamu.” Jawabku sambil menyerahkan kantong belanjaan padanya. Alih-alih langsung membalas perkataanku dia malah terpana. Dia pasti speechless. Sepanjang sisa hari itu, kapanpun kami berpapasan dia pastilah akan tersenyum padaku yang dimataku terlihat seperti menyeringai.

Tapi, tentu saja aku tidak bodoh. Senyumnya itu, selain dikarenakan mengingat kekonyolannya sendiri, pastilah karena sudah tidak sabar ingin membalas perlakuanku yang tadi sudah membuatnya terlihat bodoh.

Hari-hari berikutnya, dia berubah menjadi laki-laki iseng yang menyebalkan sekaligus sangat perhatian. Terlepas dari statusnya yang sudah punya pacar, perhatiannya padaku memang menjerumuskan. Dia bisa tiba-tiba datang ke tempatku melaksanakan praktek meskipun jaraknya cukup jauh, hanya untuk sekedar menjemputku pulang naik motornya. Atau sekedar iseng menengok keadaanku disana. Dia benar-benar menyebalkan. Apalagi kedatangannya selalu membuatku jadi pusat perhatian dan sumber rasa sirik anggota rombongan yang lain yang ngefans padanya.

“Ngapain datang?” tanyaku judes dan terkejut ketika melihatnya muncul di tempat praktekku. Dia menyeringai.

“Nengokin kamu.” Jawabnya asal sambil mengikutiku.

“Siapa juga yang sakit,” balasku masih dengan sikap judes. Tapi laki-laki menyebalkan itu hanya tertawa.

“Pulangnya aku jemput, ya,” ucapnya. Tak peduli bahwa kata-katanya barusan membuat sejumlah fans beratnya patah hati. Begitulah selama berminggu-minggu. Dia tak henti-hentinya mengganggu kehidupanku. Meskipun sejujurnya dia lebih banyak terlihat menggemaskan alih-alih menyebalkan, aku mengingatkan pada diriku sendiri bahwa dia hanya teman. Dia sudah punya pacar dan aku tidak berminat untuk merusak hubungannya. Jadi, meskipun dia sangat perhatian, aku tak perlu menanggapinya dengan serius.

Rupanya sikapku yang demikian diterjemahkannya sebagai tantangan alih-alih kedewasaan, karena ternyata, dia tidak menyerah dengan mudah. Ketika semua perhatian-perhatiannya kutanggapi dengan biasa, disitulah dia mulai berbagi cerita tentang kehidupannya denganku. Karena dia tahu aku mementingkan kejujuran dan menyukai pria yang jujur, dia mengatakan padaku bahwa dia sebenarnya sudah memiliki pacar yang tinggal di luar kota dan jarang bertemu. Intinya, hubungan mereka sudah renggang. Dan tinggal menghitung hari.

Sebagai seorang perempuan yang mempunyai akal sehat, tentu saja aku tidak boleh langsung percaya dengan kata-katanya. Lagipula, dia itu laki-laki. Dan bisa saja bersikap licik. Jadi akhirnya, percakapan tersebut berakhir dengan dia yang berulang kali meyakinkanku bahwa pacarnya memang benar-benar jauh dan hubungannya tinggal menghitung hari yang kutanggapi dengan tawa skeptis.

Jika melihat kelakuannya, sulit untuk percaya bahwa dia menjalani hubungan jarak jauh dengan pacarnya, kecuali, jika hubungan mereka sudah mencapai kurun waktu bertahun-tahun. Jika hubungan mereka sudah mencapai kurun waktu bertahun-tahun, sangat kecil kemungkinan baginya untuk meninggalkan pasangannya. Kalaupun dia mengatakan hubungannya tinggal menghitung hari, itu semua bisa saja dusta. Atau mungkin dia hanya bosan. Tapi tidak berniat putus. Dan akan kembali jatuh cinta ketika bertemu lagi dengan pasangannya di kemudian hari.

Aku ngeri membayangkan masa depan diriku jika sampai jatuh ke dalam perangkapnya. Meskipun dia baik dan hubungannya tinggal menghitung hari, itu bukanlah alasan yang pantas untuk menyuruh atau menunggu dia putus dari pacarnya. Laki-laki haruslah bertanggung jawab atas pilihannya dan tidak sepantasnya dipengaruhi oleh siapapun dalam mengambil keputusan penting untuk hidupnya.

Meskipun aku setuju bahwa jatuh cinta itu perkara hati, tapi kenyataannya, aku tetap saja menggunakan akal sehatku saat hal tersebut terjadi. Sehingga ketika laki-laki itu berulang-kali meyakinkanku dengan segala macam cara tentang hubungannya yang akan berakhir. Serta menghujani aku dengan berbagai perhatian yang menjadi sumber kesirikan fans beratnya, aku nyatanya bisa mengabaikannya dengan mudah. Dan tetap berpegang teguh pada prinsipku: If someone makes you as a choice. Treat him the same way. 

Hari-hari berikutnya, aku tetap menjalani kehidupanku seperti biasa. Aku masih berkenalan dengan orang lain, terutama laki-laki lain. Aku tidak lantas menutup hatiku hanya karena Si Tuan Tebar Pesona itu sangat perhatian padaku dan mengatakan hubungannya akan segera berakhir. Ketika di suatu malam, seusai aku mengobrol lama di telepon dengan salah seorang teman dekat laki-laki, dia menghampiriku dan bertanya siapa yang baru saja meneleponku dengan nada penasaran. Wajahnya tersenyum saat bertanya. Tapi, aku tidak bodoh. Aku bebas dekat dengan siapapun. Lagipula, dia bukan pacarku.

Akhirnya, pada suatu hari, kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang setelah beberapa hari sebelumnya disibukan oleh berbagai macam program kerja yang harus segera diselesaikan.

“Baiklah, aku mengaku sekarang. Aku tidak menjalani hubungan jarak jauh dengan pacarku.” Katanya tiba-tiba. Lalu cerita yang berbeda mengalir dan bermuara pada ending yang sama seperti kemarin; bahwa hubungannya akan segera berakhir alih-alih sudah resmi berakhir.

Mungkin dia pikir, setelah mendengar ceritanya, aku akan terharu dan berubah jadi pahlawan yang menyelamatkannya dari hubungannya yang buruk itu. Entah dengan menyemangati atau menunggunya jadi pacarku suatu saat nanti. Tapi, tentu saja itu tidak akan pernah terjadi. Aku tetap bersikeras pada pendirianku bahwa dia hanya teman. Dan bahwa inilah yang kuinginkan.

Kenyataan bahwa aku begitu keras kepala membuatnya merenung. Sikapnya berubah. Selama beberapa hari setelah percakapan tersebut, kami jarang sekali berbicara satu sama lain. Dan itu berlangsung hingga berminggu-minggu lamanya. Hingga akhirnya, pada suatu hari, aku mengetahui bahwa dia benar-benar sudah putus dari pacarnya. 

Saat itu aku masih dekat dengan laki-laki lain yang sering meneleponku hampir setiap malam. Dan teman-temanku mendukung kedekatan kami. Namun, dilihat dari sudut pandang manapun, aku sebenarnya tidak cinta padanya. Laki-laki itu memang baik, humoris dan selalu membuatku tertawa dengan leluconnya. Tapi, lama kelamaan aku bosan. Meskipun aku suka laki-laki yang humoris, aku lebih suka laki-laki yang serius. Dan lagi, laki-laki itu memang tidak jelas tujuannya. Sepanjang kami mengobrol, dia hanya bercanda. Tidak lebih. Dan akhirnya, hubungan kami kandas bahkan sebelum di mulai.

Di tengah kebosanan yang melanda, hubunganku dengan Tuan Tebar Pesona membaik. Dilihat dari sikapnya yang kini lebih dewasa, dia sudah tak lagi pantas diberi julukan Tuan Tebar Pesona. Kami mulai berbincang sedikit demi sedikit meskipun masih canggung. Hari-hari berikutnya aku semakin banyak menghabiskan waktuku bersamanya. Entah itu jalan-jalan atau piket bersih-bersih.

Dan ketika suatu hari aku memerlukan bantuannya dalam menyelesaikan program kerja yang kurancang, dia mengajukan syarat yang sebenarnya gampang tapi tak bisa kupenuhi.

“Oke. Asal hari ini kamu masakin oseng-oseng tempe asem manis buatku.” pintanya.

"Oseng-oseng tempe? Aku nggak bisa,” ucapku menolak. Tapi laki-laki itu memang pintar. Dia tidak kehilangan akal.

“Kalau kamu tidak bisa, biar aku yang mengajari.” 

Dan jadilah hari itu kami memasak berdua di dapur. 

Hari-hari berikutnya, perhatiannya semakin jelas terlihat. Jadi waktu itu aku sedang memasak nasi goreng satu wajan penuh di dapur. Entah darimana datangnya, laki-laki itu sudah berdiri disampingku ketika aku sedang fokus mengaduk bumbu.

“Perlu ku bantu?” tanyanya yang langsung ku tolak. Bukan karena aku tak suka padanya. Tapi lebih dikarenakan perasaan tak enak jika sampai merepotkannya. Aku terbiasa mandiri. Namun, laki-laki itu rupanya tidak menyerah dengan mudah meskipun sudah kutolak.

“Aku tahu kamu bisa sendiri. Tapi, biar aku saja. Karena kamu spesial.” Katanya sambil mengambil alih spatula yang sedang ku genggam. Dan, seiring dengan berjalannya waktu, laki-laki itu berubah sikap menjadi lebih memahamiku. Dia tahu aku bukan tipikal wanita yang bisa dekat “hanya dengan siapapun.” Dan dia mengatakan itu padaku ketika kami sedang makan pada suatu hari. Aku mengiyakan dan merasa senang karena dia pintar. Setelahnya, tidak sulit bagi kami untuk menggolongkan status kedekatan kami. Akhirnya, meskipun aku tidak pernah tahu kapan tepatnya kami jadian tapi kami bahagia.

Surat dari Jarak

Sunday, December 25, 2016



Untukmu;
Seseorang Yang Membenci Jarak

Orang-orang bilang mereka membenciku. Sama seperti dua orang asing yang kutemui di stasiun kereta tadi malam, saat aku bersiap-siap mendatangi rumahmu demi melaksanakan misi dari Tuhan. Dua orang itu saling membisiki, “Sungguh, denganmu aku lebih memilih tidak berjarak. Jarak ini semoga Tuhan cepat menghapusnya. Aku akan segera kembali dan menggenapkan rindu kita yang separuh.” 

Kalau boleh memilih aku tidak ingin menjadi jarak. Untuk dua orang di stasiun kereta tadi dan juga untukmu; seseorang yang tadi pagi kulihat tengah duduk di jendela sambil melamun. Dari wajahmu, aku tahu jika kamu pastilah sedang menyembunyikan sesuatu. 

Sepanjang sisa pagi itu aku memperhatikanmu dari kejauhan, mengawasi semua gerak-gerikmu yang gelisah. Dan benar saja firasatku, aku segera dapat melihat apa yang sedang kamu lihat pagi itu. Seseorang yang selama ini selalu memenuhi pikiranmu. Tujuh hari dalam seminggu. Tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun.

Laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan kemeja warna birunya yang terlihat seperti langit di musim semi. Kamu memandangnya sekilas sebelum mengalihkan tatapanmu pada benda apapun yang bisa dijadikan topeng persembunyian. Aku tahu, kamu sangat khawatir jika orang-orang tiba-tiba saja bisa membaca matamu. 

Meskipun hatimu pilu karena menahan rindu, pada akhirnya kamu menyerah saat laki-laki itu mengulurkan tangannya padamu. Aku tertawa gembira melihatmu diam-diam bahagia. Dan aku enggan menjadi diriku – jarak yang hendak memisahkan antara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru.

Tapi kemudian, aku dapat merasakan hatimu kembali berubah pilu. Aku mengamatimu semakin dalam. Lantas berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan kamu ataupun laki-laki berkemeja warna biru. Kecuali bahwa, pada akhirnya, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menakdirkan laki-laki itu untuk jadi milikmu. Maaf jika aku sudah lancang menyampaikan ini padamu.

Manusia tidak bisa menghindari perasaan yang mereka miliki, yang bisa mereka lakukan hanyalah mengendalikannya. Begitulah akhirnya dirimu. Aku tahu hal ini sangat sulit. Tapi, sudahlah. Biar kuceritakan padamu, bahwa tidak ada gunanya membicarakan hal-hal yang sudah terjadi. Seperti menabur garam di atas luka. Hanya akan membuatmu bertambah pedih.

Pagi itu kamu terus dihantui pertanyaan yang mengusik nuranimu sekaligus membuatmu merasa tertantang untuk melakukannya. Kamu bisa saja berbuat nekat dan egois. Dan laki-laki berkemeja warna biru yang diam-diam sering menatapmu itu lambat-laut akan mulai buta. Lalu, seseorang yang lain di luar kalian akan mengurai airmatanya karena rasa cintanya yang besar berubah menjadi rasa benci dalam seketika.

Demi hatimu yang mudah rapuh itu, kamu tentu tidak akan sanggup bersenang-senang diatas penderitaan orang lain, bukan? Kamu tidak mungkin bahagia.

Tuhan Maha Pengasih. Dia pasti sudah mempersiapkan jalan keluarnya bagimu. Dan tanpa kusadari, jalan keluar itu adalah aku – jarak yang banyak orang membencinya.

Maaf jika hari ini aku mulai merentangkan jarak diantara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru. Jika hari ini kamu tak melihatnya dimanapun, percayalah bahwa Tuhan sudah menakdirkan yang terbaik untukmu. Bahkan juga untuk perempuan lain yang saat ini sedang menemaninya yang terbaring lemah di rumah sakit; yang adalah benar-benar pasangan tulang rusuknya.

Kamu terluka, aku tahu. Tapi satu yang harus kau ingat; Bahwa tidak semua laki-laki ditakdirkan untuk menikah dengan wanita yang paling mencintainya. Oleh karena itu, hapus airmatamu. Dan tegakan kepalamu. 

Aku berdoa untukmu semoga jarak yang kurentangkan diantara kamu dengan laki-laki berkemeja warna biru sanggup menghapus satu demi satu rasa cintamu padanya. Semoga jarak ini mengobati luka-luka hatimu. Dan semoga kamu pun sama sepertinya, segera menemukan seseorang yang tepat di hidupmu, yang mengakuimu sebagai tulang rusuk miliknya. Dan yang akan menjadi tulang punggung keluarga kecilmu nanti. Abadi. Selamanya. Hingga suatu saat nanti, saat kalian kembali, kalian bersama menjadi tulang belulang dalam naungan kasih sayang-Nya.


Dari Jarak;


Yang Diam-Diam Mengasihimu

Kisah yang Sederhana



Senin pagi di tahun 1997

Pagi masih berkabut dan seorang ibu muda sedang menyiapkan anaknya yang berumur lima tahun untuk pergi ke sekolah. Memakaikannya seragam, mengepang rambutnya dan memasukan beberapa buku tulis serta pensil dan penghapus ke dalam ransel bergambar sinteron yang saat itu tengah hits di tahun 90an. 

Sebenarnya anak itu belum cukup umur untuk masuk sekolah dasar. Tapi anak itu selalu nampak semangat jika ibunya menanyakan apakah dia mau masuk sekolah tahun ini ataukah tidak. Yang akan langsung dijawab oleh anaknya itu dengan sorak sorai, “Aku ingin sekolah, Bu. Ingin sekolah!” Maka pagi itu adalah pagi yang bersejarah untuk mereka. 

Atmosfir tahun ajaran baru selalu seperti itu. Selalu ada seragam-seragam sekolah yang baru. Tas-tas dan sepatu baru. Dan para ibu yang sibuk mempersiapkan anak-anaknya masuk sekolah untuk yang pertama kalinya. Dan, ya, ibuku adalah salah satunya. Pagi itu, dia sudah selesai mempersiapkan segalanya untukku. Bajuku, sepatuku, tas sekolahku bahkan sarapan dan juga bekal yang nanti akan kubawa ke sekolah. 

Ibuku memang perempuan yang sempurna. Dia bisa menyelesaikan banyak hal dalam waktu singkat. Hari itu dia menawari aku membawa bekal nasi. Tapi aku lebih suka roti sehingga dia akhirnya mengganti bekal sekolahku dengan roti rasa kelapa yang dibelinya dari warung dekat rumah. Sejujurnya aku benar-benar bersemangat sekali hari itu. Dan ingin tahu seperti apa rasanya bersekolah. Apa disana banyak orang berjualan? Apa aku akan dapat teman-teman baru? Dan bagaimanakah wajah guru-guruku? Apa mereka semuanya baik? 

Bersama ibu-ibu lain yang anak-anaknya bersekolah di sekolah yang sama, aku dan ibuku pergi. Pagi yang masih berkabut dan dingin itu, kami susuri dengan berjalan kaki sejauh 2 km. Sebenarnya kami bisa saja naik angkutan umum. Tapi pada masa itu jarang sekali orang-orang di desa kami melakukannya. Lagipula, kami memang senang berjalan kaki. 

Kami berjalan menyusuri rumah-rumah penduduk, kolam-kolam pemancingan dan sungai-sungai kecil. Aku bahkan masih bisa melihat engkang-engkang (sejenis hewan air yang kini sudah langka) banyak berenang di sepanjang sungai jernih yang kami lewati. Selain melewati sungai-sungai kecil yang airnya jernih itu, kami juga melewati kebun-kebun kangkung yang tumbuh subur di sepanjang jalan dan hampir selalu di panen setiap hari oleh pemiliknya. Tahun itu di desaku masih banyak petani kangkung. 

Akhirnya kami pun tiba di sekolah sekitar jam tujuh pagi. Tempat itu dipenuhi banyak orang, para ibu dengan anak-anak mereka yang sama seperti aku; memakai seragam yang kerahnya masih kaku, sepatu dan tas baru. Selain itu, di sekolah juga banyak pedagang yang berjualan mainan dan makanan yang aku tidak tahu apa namanya. Terakhir kali aku berkunjung ke tempat yang dipenuhi banyak orang adalah saat aku diajak ibuku berbelanja ke pasar dan terpisah. Aku hampir saja menangis putus asa kalau-kalau ibuku tidak tiba-tiba datang menghampiri aku yang tengah berdiri kebingungan di depan penjual snack-snack makanan. 

Ibuku dan beberapa ibu lainnya kemudian menuju sebuah ruangan kelas di dekat kantor. Sudah ada beberapa ibu-ibu lain yang berdiri di sana, memperhatikan anak-anaknya yang sedang duduk di dalam kelas. Ada juga sebagian anak-anak yang tidak mau ditinggal dan malah menangis sehingga membuat orangtuanya bingung karena harus terus menemani mereka di dalam kelas. 

Aku sibuk mengamati keadaan disekelilingku. Menatap orang-orang yang berlalu lalang dengan pandangan ingin tahu. Banyak bangku-bangku dan meja di dalam kelas mulai terisi. Kemudian ibuku cepat-cepat memilih bangku panjang terdepan di dekat pintu. Di situ sudah ada dua anak perempuan yang duduk disana. Aku disuruh ibuku bergabung dengan mereka. Tak lama kemudian seorang guru perempuan datang ke kelas. Pertama-tama dia memperkenalkan dirinya di depan kelas. Dan aku jadi tahu kalau namanya adalah Bu Neneng, guru kelas satu yang akan mengajarku selama tiga caturwulan ke depan. 

Tapi sejujurnya aku lebih suka memanggilnya Ibu guru kecil karena badannya kurus sekali. Kemudian kami semua digiring ke lapang untuk mengikuti upacara hari Senin. Aku belum tahu apa yang akan terjadi kecuali bahwa orang-orang sudah mulai membentuk barisan-barisan dan aku harus ikut bergabung dengan membentuk barisan yang sama. Hari itu, aku mengikuti upacara sekolah pertama di dalam hidupku. Ibuku dan beberapa ibu lainnya menunggui kami di belakang barisan sambil mengobrol. Sementara itu aku sibuk memperhatikan jalannya upacara. Ada tiga orang yang salah satunya membawa bendera dan kemudian kami harus menyanyikan salah satu lagu wajib nasional. Setelah upacara selesai yang disertai dengan kaki yang pegal-pegal karena harus berdiri cukup lama selama upacara, aku kembali masuk ke dalam kelas. Dan ibuku memperhatikan aku dari pinggir kelas yang pintunya terbuka. Ada juga beberapa orangtua yang memperhatikan anak-anaknya dari balik jendela. Tapi ada juga orangtua yang ikut menemani anaknya di dalam kelas.

Saat dimana aku masuk sekolah dasar dulu, orangtua masih ada yang menemani anak-anak mereka di dalam kelas dan diizinkan oleh gurunya sehingga suasana kelas menjadi benar-benar berisik saat kami belajar. Ibu guru kecil kemudian mengambil kapur dan mulai menulis angka satu di papan tulis. Dan kami diminta untuk menulis angka yang sama sebanyak lima baris di buku tulis kami masing-masing.

Aku membuka tas gendongku, yang waktu itu, aku masih ingat dengan sangat jelas bergambar sinetron Jin & Jun yang dibelikan oleh ibuku dari pasar. Waktu itu, tidak ada yang aneh dengan tas bergambar Jin & Jun atau sinetron yang sedang hits saat itu, karena anak-anak yang lain juga memakainya. Selain itu, tidak ada pula yang aneh dengan duduk bertiga di bangku selama guru menerangkan atau orangtua yang ikut menemani anaknya belajar sampai selesai di dalam kelas karena saat itu semuanya diperbolehkan. Aku yang memang sudah bisa membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar mengerjakan tugas tersebut dengan cepat. Dan langsung membawanya ke meja guru untuk dinilai oleh Ibu guru kecil. Dan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mendapat nilai sepuluh dari seorang guru. Nilai maksimal yang diberikan oleh Ibu guru kecil sebagai skor pertama kami. Ibuku masih memperhatikan aku dari pinggir kelas yang pintunya terbuka. Dan aku menunjukan nilai yang baru saja aku peroleh.

“Bagus!”katanya sambil mengacungkan dua jempol.

Aku senang sekali. Ternyata sekolah itu menyenangkan dan gampang. Tentu saja minus upacara yang membuat kaki pegal-pegal. Setelahnya, Ibu guru kecil, guru kelas satuku itu menyuruh kami mengeluarkan peralatan menggambar. Sejujurnya, aku tidak begitu suka menggambar. Tapi aku ikuti saja karena teman-temanku juga mengeluarkan peralatan menggambar mereka. Ada yang membawa spidol dan pensil warna. Tapi, ada juga yang membawa krayon. Setelah semua anak-anak selesai menyiapkan peralatan menggambarnya, Ibu guru kecil kemudian menyuruh kami untuk menggambar bebas. Dan tercetuslah sebuah ide di dalam otakku. Aku meraih pensilku dan mulai menggambar sesuatu. Seingatku, aku tidak pernah menggambar apapun hingga sesemangat itu. Ibuku yang penasaran melihat aku begitu fokus menggambar langsung menghampiri. Disusul dengan Bu guru kecil yang saat itu duduk tak jauh dari mejaku. 
“Cantik menggambar apa?” tanya Bu guru kecil saat dia melihat gambar yang sedang aku kerjakan. Dan seperti anak-anak yang selalu penuh kejutan, aku mendongakan kepalaku. Tersenyum malu-malu lalu kemudian menjawab dengan polosnya…… bahwa aku sedang menggambar……. benang kusut.

Ya, benang kusut! Hari itu hari Senin di bulan Juli tahun 1997. Pertama kali aku masuk sekolah. Dan gambarku sudah abstrak. 

Untuk aku yang ada dalam diriku. 

Ini sebagai pengingat.

Mr. Mischievous

Thursday, December 1, 2016


Aku menggenggam kertas itu di tangan. Menyembunyikan jawabanku disana. Sementara laki-laki yang duduk di sampingku masih menulis dengan satu tangannya menutupi kertas putih itu dari pandanganku. Dia sesekali mengingatkan aku untuk tidak mengintip. Aku tertawa senang sementara dia meneruskan kembali kegiatannya menulis jawaban. Hitungan ketiga, kami membuka kertas kami masing-masing secara bersamaan. Aku menulis besar-besar kata ‘Rumah’ sementara laki-laki itu menulis rangkaian huruf yang membentuk kata, ‘Jalan Tol’

“Jalan Tol?!” aku mendengar suaraku sendiri yang terucap begitu saja dari bibirku dengan nada tinggi.
Dia pura-pura terkejut, “Salah ya?” tanyanya dengan wajah polos tanpa dosa. 

Laki-laki itu lalu membuka tangan kirinya yang menghalangi separuh bagian kertas. Di bagian bawahnya dia menulis; Rumah dan Sepuluh Mei. Senyum jahilnya muncul. 

Segalanya berawal dari rumah. Bahkan awal pertemuanku dengan laki-laki yang saat ini sedang duduk di sampingku juga berawal dari rumah. Lebih tepatnya, rumahku sendiri. Tidak ada acara apapun yang sedang digelar di rumahku sore itu. Tidak juga dengan agenda rahasia antara Ibu dan Bapak yang ingin menjodohkan aku; anak gadis mereka satu-satunya dengan pria manapun. Sore itu adalah sore di musim panas seperti biasa.

Satu-satunya hal yang berbeda di hari itu adalah kenyataan bahwa aku telah jatuh tertidur jauh lebih lama dari biasanya. Sekaligus melewatkan jam makan siangku yang teratur. Padahal aku tidak pernah tidur siang hingga selama itu dari semenjak aku lulus SMA hingga masuk kuliah beberapa tahun yang lalu. Pantas saja kepalaku pusing sekali. Dan aku merasa sangat haus seolah-olah ada pasir di dalam mulutku. 

Dengan menahan rasa pusing yang masih menjalar di kepala, aku keluar dari kamarku yang berada di lantai dua. Meniti anak tangga satu persatu. Saat mencapai pijakan di anak tangga terakhir, aku melihat dia; seorang laki-laki asing yang sedang duduk di kursi di ruang tamu rumahku yang disinari cahaya dari lampu neon. Dan dia menatapku. 

Dia mengenakan kaus lengan panjang berwarna putih, rambutnya kecoklatan, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh delapan sentimeter. Dia memakai kacamata berbingkai licin yang biasa dipakai oleh para ilmuan jenius di film-film. Silau. Kemudian aku mendengar suara Ibu dan Bapak di ruang tamu seperti sedang mengobrol. Ah, mungkin laki-laki itu adalah salah satu rekan kerja Bapak, pikirku. Dan dia pastilah seumuran Bapak. Aku hanya melihatnya sekilas dan tidak berminat untuk cepat-cepat menghampiri dan bersalaman dengannya sehingga aku memutuskan pergi ke dapur untuk makan setelah mencuci mukaku terlebih dahulu. 

Ketika aku kembali dari dapur, laki-laki asing itu masih duduk di kursinya. Dia langsung merubah posisi duduknya saat melihatku. Entah bagaimana caranya aku langsung tidak suka padanya. Apalagi saat dia menatapku dengan matanya yang dibingkai kacamata profesor itu. Seperti ada yang salah dengan gerak-gerik tubuhnya dan tagline di otakku yang meyakini bahwa dia seumuran Bapak. 

Seharusnya dia terlihat kebapak-bapakan, tapi kenapa dia tidak? Gerak-geriknya malah terlihat seperti anak muda dibandingkan dengan Bapak-Bapak. Apa jangan-jangan dia om-om nakal yang nyasar ke rumahku? Aku langsung ngeri membayangkan imajinasiku yang sudah lancang merangkai cerita menyeramkan macam begitu. Cepat-cepat aku menaiki anak tangga dan tidak turun lagi ke bawah hingga laki-laki asing itu pergi dari rumahku sekitaran jam delapan malam.

Keesokan harinya, aku melupakan pertemuanku dengan laki-laki menyeramkan itu dengan mudah. Aku benar-benar tidak tertarik dengannya sama sekali sehingga aku tidak bertanya apapun mengenai laki-laki asing yang menatapku kemarin itu pada orangtuaku. Tidak tentang asal-usulnya tidak juga tentang namanya. Satu-satunya yang aku tahu dan kuyakini dengan sungguh-sungguh adalah bahwa laki-laki itu pastilah seumuran Bapakku. 

Hingga beberapa hari kemudian aku melihatnya lagi di kursi yang sama di ruangan tamu rumahku. Saat itu aku baru saja pulang dari kampus setelah kuliah seharian. Sementara itu, Ibu dan Bapak sedang pergi entah kemana. Kengerianku yang dulu hilang langsung kembali muncul saat melihat laki-laki itu duduk di ruangan tamu. 

Apalagi saat kami bersalaman dan kemudian dia tersenyum jahil padaku. Aku sengaja tidak menatap wajahnya dan lebih memilih cepat-cepat naik ke tangga dan mengurung diriku di dalam kamar. Aku semakin ngeri padanya dan semakin tidak tertarik. Lagipula, aku yakin sekali dengan umurnya yang tak jauh berbeda dengan Bapakku, dia pastilah sudah berkeluarga dan punya anak. Benar-benar mengerikan kalau dia sampai jatuh cinta padaku. Tapi sepertinya orangtuaku biasa saja. Bisa jadi karena laki-laki itu rekan kerja Bapak.

Hari-hari berikutnya, aku semakin sering bertemu dengannya. Sebisa mungkin aku menghindari laki-laki asing yang namanya saja tidak ku ketahui itu. Aku tidak pernah menatap wajahnya bahkan ketika kami terpaksa bersalaman. Lagipula postur badannya memang tinggi sehingga aku tidak perlu bersusah payah menundukan wajahku. Aku juga tidak pernah tersenyum lebih dahulu ketika kami berdua tak sengaja berpapasan. Atau mengungkit-ngungkit tentang dia kepada orangtuaku. Aku mendadak berubah menjadi perempuan yang penuh permusuhan jika melihatnya. Tapi aku tidak peduli dengan sikap pedasku, aku benar-benar ngeri pada laki-laki itu yang akhir-akhir ini semakin sering kudapati tengah diam-diam menatapku.

Rumahku yang bercat hjau terletak persis di sisi jembatan yang bawahnya dialiri sungai. Siang itu aku sedang berada di halaman depan sambil menyiangi tanaman di dalam pot ketika laki-laki menyeramkan itu muncul diujung jembatan dan melihatku. Terlambat. Aku tak mungkin langsung kabur melarikan diri masuk ke dalam rumah. Apalagi laki-laki itu baru saja menyeringai padaku. Benar-benar mengerikan sekali caranya tersenyum itu.

“Jerry ada?” tanyanya saat kami bertemu di halaman. 

“Belum pulang,” jawabku sengaja dengan nada malas tanpa melihat wajahnya.

“Titip ini ya,” katanya sambil menyerahkan sebuah kaset CD. 

Aku mengambilnya dengan wajah cemberut tanpa berkata sepatah kata pun. Sepertinya dia sadar kalau aku tidak suka padanya. Tapi, kenapa dia menanyakan Jerry, sepupuku bukannya Bapak? Sebenarnya dia itu siapa? Tapi aku masih bersikeras menolak melihat wajahnya. Pertanyaan itu langsung terjawab ketika di sore hari dia muncul lagi di rumahku. Aku baru saja hendak melarikan diri ke dalam kamar ketika ibu tiba-tiba datang menghampiriku dan menyuruhku untuk menemani laki-laki itu mengobrol yang langsung ku tolak dengan ketus.

“Yang benar saja, Bu? Masa aku disuruh menemani om-om?” Kataku tersinggung. Aku tak menyangka ibuku bakalan setega itu.

“Om-om bagaimana? Dia itu baru lulus kuliah. Temannya Jerry.” 

Oke. 

Kenyataan pertama yang diterima cukup mengejutkanku. Kenyataan kedua yang ku terima jauh lebih mengejutkanku karena rupanya karma dari Tuhan datang bersamaan dengan itu. Ketika keesokan harinya aku melihat dia muncul lagi di jembatan dekat rumahku, aku sengaja tersenyum padanya untuk menebus dosa-dosaku sudah bersikap tidak ramah selama kurang lebih satu bulan ini. Saat itu dia jelas-jelas melihatku. Tapi bukannya membalas senyumanku, ekspresi mukanya datar dan seperti tidak tertarik. Aku menyumpah dalam hati tidak ingin lagi melihat wajahnya. Kenapa dia bisa berubah secepat ini? Oh... rupanya dia balas dendam. Dan pembalasannya padaku belum selesai sampai disitu. 

Ketika di suatu hari aku ikut mengobrol dengannya yang juga sedang mengobrol dengan Jerry, Bapak dan Ibu di ruang tamu, laki-laki itu rupanya tak sedikit pun menanggapi aku yang berulang kali menimpali komentarnya. Bahkan satu minggu yang lalu, ketika dia mengetuk pintu rumahku dan kemudian aku yang membukakan sendiri pintu tersebut sambil tersenyum padanya, tanpa perasaan bersalah dia malah menjadikan aku satu-satunya orang yang berdiri disana sambil tersenyum kikuk dan malu. Ekspresi muka laki-laki itu datar dan dingin seperti vampire. Saat itu aku menyesal tidak membanting pintu tersebut. 

Jika mengingat hal itu aku merasa ingin sekali mendorongnya ke sungai di dekat rumahku sekaligus menertawakan diriku sendiri dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana bisa kini aku jadi ingat terus padanya? Laki-laki menyebalkan yang bersikap jutek padaku yang dulu sempat membuatku ngeri itu...? 

Ketika aku mulai lelah dengan segala permainan yang telah dia lakukan, disitulah dia kembali berubah menjadi laki-laki yang pertama kali aku lihat tersenyum dengan seringai jahilnya. Jadi, saat itu sore hari. Aku sudah enggan bersikap ramah padanya yang saat itu sedang menunggu Jerry di rumahku. Sehingga aku tidak mau menemani dia mengobrol.

“Kamu naksir ya?” tanya ibu yang langsung ku bantah. Tapi ibuku yang sama-sama jahil seperti laki-laki menyebalkan yang sedang duduk di kursi loteng itu tidak berhenti menggodaku.

“Baik. Aku akan temani dia mengobrol,” kataku sambil bergegas menuju loteng. 

Seketika melihat aku datang, laki-laki itu langsung memindahkan tas ranselnya yang berisi buku-buku tebal ke kursi yang akan aku duduki. Baiklah, aku tidak akan menyerah dengan gampang hanya karena gara-gara kursi. Aku berdiri saja, batinku dalam hati. Dasar laki-laki jutek menyebalkan. 

Aku mulai mengajaknya mengobrol yang ditanggapinya dengan satu dua kalimat pendek. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebungkus kacang yang iklannya sering kulihat di televisi. Dan dengan cueknya, dia makan kacang oven itu sementara aku dibiarkannya mengoceh sendirian. Cukup. Aku benar-benar akan meledak jika terus bersamanya. Tanpa berkata-kata aku bergegas menuruni anak tangga.

“Kenapa turun?” tanya Ibuku yang kebetulan berpapasan di bawah.

“Menyebalkan,” gerutuku.

Tak disangka laki-laki itu pun rupanya juga ikut turun mengikutiku. Ketika dia bertemu dengan ibuku, ekspresi mukanya tidak datar seperti saat melihatku di loteng tadi. Aku benci sekali padanya. Sepanjang sisa sore itu, aku tidak bisa menyembunyikan wajah cemberutku melihat dia begitu ramah dan sopan pada ibuku. Aku berusaha menenggelamkan diriku dalam kesibukan menonton televisi dengan volume yang sengaja dikeraskan. Tapi entah mengapa tawa laki-laki yang menyebalkan itu masih saja terdengar di telingaku. Ketika Jerry datang setengah jam kemudian aku baru benar-benar bisa bernapas lega. 

“Jangan cemberut terus. Tadi saja dia tidak bisa berhenti melirik kamu,” kata Ibuku jahil.

Satu tahun berlalu. Tepat di hari ulang tahunku; tanggal Sepuluh Mei ketika hari pertama aku bertemu dengannya di rumahku. 

“Kenapa kamu tulis jalan tol, sih? Emang aku mirip mbak-mbak petugas karcis?" Kataku pura-pura sedih padahal tertawa di dalam hati.

“Ingin lihat reaksi kamu, " jawabnya santai.

“Terus gimana?”

“Masih gampang sewot. Masih jutek.”

“Emang aku masih sejutek yang dulu, ya?”

“Nggak,” katanya. “Nggak berubah, maksudnya.” 

“Dasar! Tapi kamu suka, kan?” 

Dia menyeringai lalu tertawa. Hari itu adalah hari ini. Dan hari ini aku bahagia. 

Lelaki (yang diam-diam) Patah Hati



Office, Jakarta

Secangkir kopi tersedia di meja kerja sore itu.

Dari tiga jam yang lalu aku masih duduk dalam kubikelku, menatap layar komputer demi menyelesaikan pekerjaanku, mengurusi data-data pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh baru-baru ini. Tugas ini harus cepat kuselesaikan agar mereka bisa terdaftar di UNHCR dan mendapatkan dokumen individualnya yang sah, sehingga para pengungsi itu bisa segera mendapatkan status refugees mereka secara legal dan tidak terkena (refoulement) atau pemulangan kembali ke negara asalnya secara paksa, dimana hidup atau kebebasan mereka terancam oleh bahaya atau penganiayaan.

Tidak banyak orang yang masih tersisa di kantor sore itu. Tapi dia ada. Gadis itu masih ada disana, duduk di kursinya yang terentang jarak sekitar dua puluh meter denganku, menatap layar komputernya sambil mengetik tugas-tugas kantor yang nampaknya belum selesai. Persis seperti urusan kami di masa lalu yang sejatinya juga memang belum selesai meski tahun-tahun yang kami lewati bersama sudah usai.

Sejujurnya aku selalu menyimpan tanya tentang matanya. Yang kata orang-orang adalah jendela jiwanya, lukisan perasaan di hatinya. Sekuat apapun aku menyangkal keinginanku untuk melihatnya, sebanyak itu pula aku menemukan hanya dialah satu-satunya orang yang selalu ingin aku lihat.

Semakin aku mengingat masa lalu kami, semua kebiasaannya yang menghiburku, ketidaksempurnaanku dan hari-hari kami, semakin aku menyadari bahwa dengan melukainya ternyata juga adalah melukai diriku sendiri. Tapi aku laki-laki; aku harus menelan ludahku sendiri. Lagipula semuanya sudah terjadi.

Gadis itu menoleh ke arahku. Ekspresi mukanya muram, sama seperti yang kulihat ketika dua tahun yang lalu setelah dia menumpahkan emosi kekesalannya padaku.

“Aku tahu kau terluka,” kataku. 

“Aku hancur!" teriaknya sedih dan marah. 

Kemudian hari-hari berikutnya dia berubah menjadi orang asing bagiku. Lebih tepatnya dia berubah menjadi orang asing yang pura-pura tak mengenalku. Sebab, alih-alih membalas dendam atas perlakuan jahatku di masa lalu, dia lebih senang untuk menghindariku.

Tapi sejujurnya, aku sangat mengerti dengan sikapnya yang seperti itu. Yang diam-diam, juga ternyata ikut membunuhku.

“Menurutmu kenapa dia seperti itu?” tanyaku pada diri sendiri.

“When you left t a girl broken-hearted – Yes, she will be very pissed when her plan don’t go according her will. Because her plan with you has already be crushed.”

Aku terkejut dengan pemikiranku sendiri. Apakah benar-benar sedalam itu?

Aku masih melihatnya meskipun dia sudah memalingkan wajahnya dariku. Terkadang aku ingin memutar waktu kembali ke masa lalu. Kemudian tiba-tiba seseorang mendekatinya; seorang rekan kerja kami.

''Apa kau mau ikut pulang bersamaku?”

Dia tersenyum. Raut mukanya cerah tidak muram seperti saat melihatku beberapa detik sebelumnya. Lalu kemudian, “Tidak terimakasih." Saat dia mengatakan itu, senyumnya masih ada disana. 

“Pekerjaanku sebenarnya masih banyak sekali,” ucapnya tandas.

Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi ke mejanya dan mengajaknya pulang naik mobilnya sekaligus menawarinya bantuan untuk membawakan tumpukan dokumen-dokumen yang harus segera diselesaikan. Lagi-lagi senyum gadis itu muncul, lesung pipitnya terlihat di kedua pipinya.

“Sebenarnya, hari ini aku sedang ada janji bertemu teman lamaku.” Dan seiring waktu berganti selalu ada alasan-alasan yang baru. Alih-alih membangun jembatan dia justru membangun benteng, pikirku.

Masih dari kubikelku yang berjarak sekitar dua puluh meter dari mejanya; memperhatikan dia ternyata sudah menjadi kesenanganku. Obsesi rahasiaku. Seperti candu dan pisau; dia menerbangkanku ke langit di angkasa sekaligus menikamku tepat di jantung sumber kehidupanku.

Sampai tiba di suatu hari aku tak melihatnya di tempat manapun, justru ketika orang-orang sedang bersemangat tumpah riuh ke jalan menyaksikan Parade Festival Ulang Tahun Kota Jakarta yang selalu dinanti-nanti banyak orang. Termasuk aku dan semua rekan kerja kami.

“Apakah dia tidak merindukan momen ini?” pikirku muram. Dan entah siapa yang membisikiku, aku mendengarnya. 

“Yes, she won’t miss any moments because she has already missed hers with you.”

Bulan-bulan berganti dan bisa kurasakan perubahan sikapnya yang menurutku positif. Tapi aku memang tak mahir membaca motif terdalam manusia karena meskipun begitu aku masih sering melihatnya termenung di meja kerjanya seperti menyembunyikan sesuatu. Disamping itu, akhir-akhir ini dia terlihat semakin sibuk dengan aktivitasnya mengurusi para pengungsi yang datang ke Indonesia untuk mencari suaka.

Selain itu dia juga sengaja mengambil lembur di hari Sabtu sehingga kami menjadi jarang berpapasan di lobi kantor saat jam pulang kerja. Kemudian, dia pun, entah bagaimana selalu terlihat bersemangat dan bahagia dengan senyum kilatnya yang segar itu.

Langkah-langkah kakinya kecil tapi cepat, mandiri dan meyakinkan seperti tipikal perempuan yang bisa mengurus semua pekerjaannya seorang diri dan tidak membutuhkan laki-laki. Dia nampak hebat sekaligus menakutkan dalam waktu yang bersamaan. Dia mengambil semua kesempatan menyibukan diri yang datang kepadanya. Semuanya. Ekspresi sedihnya tidak lagi terlihat. Apa dia sudah melupakan aku?

“Semua kesempatan itu pasti melelahkannya. Tapi mengapa dia mengambil semuanya?” tanyaku pada seorang teman yang mengenal kami dan bisa menjaga rahasia.

“Why she memorizes all ocassion? That’s because she needs to replace her memories of you.”

Terkadang egois itu menyehatkan. Terutama ketika kita sedang kehilangan jati diri. Ibarat rumah yang hancur diterjang badai, maka tahapan membangun rumah itu adalah keegoisan untuk kepentingan diri sendiri. Gadis itu – yang mejanya terentang jarak dua puluh meter denganku sepertinya juga sedang belajar menjadi egois demi untuk membangun kembali dirinya yang sempat hancur.

Di sela-sela kesibukannya, dia masih bisa pergi ke salon merawat anugerah kecantikannya. Bahkan dia rela membagi waktu kerjanya demi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pekerjaannya di bidang kemanusiaan, tak lantas membuatnya lupa bahwa meskipun dunia membutuhkannya, hal pertama yang harus dia penuhi adalah kebutuhan dan kebahagiaan dirinya.

“Kenapa dia bisa sebegitu egoisnya? Padahal dulu tidak,” tanyaku lagi-lagi. Aku tak tahan lagi untuk tidak melihat pancaran sinarnya.

“Kau tahu mengapa dia egois? Why she put her needs next to her? that’s because you are already out of her reach,” jawab temanku tandas. Apakah itu benar? Jika iya, maka aku benar-benar bodoh sudah melepasnya.

Lagi-lagi gadis itu membuatku kehilangan kata-kata bahkan ketika aku belum mengucapkannya. Saat kami mendapat tugas untuk turut ikut serta dalam pendistribusian bantuan untuk para pengungsi Rohingya di Aceh, gadis itu rupanya tak hanya membantu kami menditribusikan bahan-bahan makanan dan pakaian yang kami bawa dari Jakarta untuk mereka saja tetapi dia juga ikut mengajar.

Dulu, aku tak pernah tahu jika dia memang berbakat jadi guru. 

Sore itu aku melihatnya berada di sebuah tenda yang alasnya terbuat dari terpal. Dikelilingi anak-anak kecil berkulit hitam legam. Kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih. Dia membawa beberapa gambar dan pensil warna lalu membagikannya kepada anak-anak yang sudah duduk membentuk lingkaran di lantai.

Setelah sesi menggambar dan mewarnai selesai, dia mengajak anak-anak itu bermain permainan ular naga yang dulu ketika aku masih anak-anak juga sering ku mainkan bersama teman-temanku di tanah lapang. Meskipun mereka tak mengerti bahasa yang gadis itu ucapkan, tapi ku lihat anak-anak itu tertawa senang.

Selama di Aceh, aku tidak pernah melihatnya duduk seorang diri. Dia selalu ditemani oleh siapapun. Tua, muda, anak-anak bahkan ibu-ibu. Kemarin aku melihatnya sedang membantu seorang wanita Rohingya mengasuh anaknya sambil bercanda. Kalau ku perhatikan, dia sebenarnya agak sedikit jahil. Satu fakta yang baru ku ketahui setelah bertahun-tahun kami bersama.

Dua minggu berada di Aceh dalam rangka menuntaskan misi kemanusiaan membantu suku Rohingya yang terusir dari Myanmar, gadis itu makin bersinar. Para pengagumnya bertambah. Sementara aku masih saja tak bisa menjangkaunya.

“Dia selalu berusaha membuat orang lain senang padanya. Dan dia berhasil,” batinku pilu.

"She tries anything to make everyone’s happy because she lost her chance to be the reason why you are happy.”

Lalu ke Jakarta kami kembali setelah menyelesaikan misi tersebut. Dan seperti biasa gadis itu duduk di mejanya yang terentang jarak dua puluh meter denganku. Mengetik sesuatu, menenggelamkan diri dalam kesibukannya yang tak ku mengerti. Hari-hari berikutnya, dia tetap terlihat sendiri. Dia baik, ramah dan cantik namun tidak pernah benar-benar menjadi milik siapapun.

“Kenapa?” tanyaku pada akhirnya setelah gagal menyembunyikan rasa penasaranku yang besar. 

“I’m still afraid to make any plan because for me everyhting in the future is still blurry.”