Tahun 2020 akan segera berakhir.
Dan sebelum mengawali tahun yang baru, melakukan introspeksi diri atas apa yang
sudah saya lewati sepanjang tahun ini menjadi penting. Terlebih, sebagai rasa
syukur. Karena selama pandemi Covid-19 ini saya masih bisa bertahan hidup.
Tidak terkena PHK di saat banyak orang diluaran sana yang menjadi pengangguran.
Bahkan tak hanya itu. Saya juga dinyatakan lolos seleksi CPNS 2019. Sesuatu
yang diidam-idamkan oleh banyak orang.
Karena saya sudah pernah
mengikuti seleksi CPNS di tahun sebelumnya dan gagal, saya sejujurnya tidak
terlalu berharap saat ikut seleksi kali ini. Namun, bukan berarti saya tidak
melakukan persiapan sama sekali.
Ketika
saya memilih lokasi penempatan, tanpa pikir panjang, saya langsung memutuskan untuk memilih lokasi penempatan di sebuah SMK di daerah Cirebon. Ketika
salah seorang rekan kerja di kantor bertanya kenapa saya memilih penempatan di
sekolah tersebut, dengan entengnya saya hanya menjawab, “Pengen aja. Nama sekolahnya unik.”
Kegagalan untuk lolos CPNS di
tahun 2018 membuat saya lebih banyak mengevaluasi diri. Melihat ke dalam diri
saya sendiri. Kalimat yang mengatakan doa dan usaha tidak akan mengkhianati
hasil rasanya terlalu sombong dan takabur jika diucapkan oleh kita sebagai makhluk.
Terutama jika di yakini secara berlebihan. Apalagi, jika saya berkaca pada
pengalaman diri saya sendiri. Mungkin, saya terlalu yakin dan berbangga hati
dengan doa-doa dan usaha saya di tahun 2018, sehingga Allah tangguhkan
kelulusan saya di waktu itu.
Dari situ, mulailah saya berpikir
untuk lebih rendah hati. Alih-alih menyebutkan betapa susah payahnya diri ini
untuk lebih dekat kepada Allah saat berdoa, kalimat itu saya ganti dengan, “Ya
Allah kabulkanlah doaku dengan rahmat dan kasih sayang-Mu.” Doa itu terus saya ulang-ulang. Bahkan ketika saya sedang berjalan, makan ataupun berbaring. Tentu
saja tanpa menyebutkan kebaikan manapun yang sudah dilakukan.
Setidaknya, ketika pikiran untuk
berbangga diri dan terlampau yakin atas segala usaha-usaha dan doa itu muncul,
lisan saya mengingkarinya. Seperti yang selalu diajarkan oleh orang tua saya untuk
jangan terlalu berbangga diri dan ambisius mengejar sesuatu.
Jadilah, selanjutnya saya
membayangkan sebuah skenario yang jauh ke depan. Dan bahwa skenario ini harus
melibatkan Tuhan. Sekaligus menjaga diri saya agar tetap berbaik sangka ketika gagal dan tidak sombong saat berhasil.
Akhirnya saya teringat suatu doa.
Doa ini diambil dari kisah Ummu Salamah yang mengucapkannya saat suaminya
meninggal dunia. Dia teringat Rasulullah yang bersabda barang siapa membaca doa
ini ketika tertimpa musibah. Maka, Allah akan menggantinya dengan yang lebih
baik. Dan benar saja, ketika habis masa iddah-nya, Ummu Salamah dilamar oleh Rasulullah. Manusia terbaik di muka bumi. Bahkan, beliau adalah utusan Allah.
Doa yang dibacanya adalah sebagai berikut:
“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Allahumma
ajjurni fi mushibati wakhlif li khairan minha.”
Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya
kepada-Nya lah kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini.
Dan, gantilah ia dengan yang lebih baik.
Doa itu pun akhirnya saya
hapalkan. Jauh sebelum mengikuti tes seleksi tahap pertama. Sembari saya mengingat-ingat kembali perkataan indah yang dituturkan oleh Sayyidina Ali radiyallahu anha.
“Ketika aku berdoa dan Allah
mengabulkan doaku. Maka aku berbahagia karena itu keinginanku. Tapi, ketika aku
berdoa dan Allah tidak mengabulkan doaku. Maka aku lebih berbahagia karena itu kehendak
Allah. Dan, kehendak Allah pastilah yang terbaik.”
Itulah dua hal dasar yang saya yakini sembari di satu sisi tetap melaksanakan usaha dan ikhtiar untuk bisa lolos
seleksi. Namun dalam ritme yang santai. Tidak sampai menyengsarakan diri
sendiri.
PS: Saya tidak pernah belajar ketika saya lapar. Atau belajar sambil
menahan lapar. Tidak juga dalam kondisi badmood
dan sedang sedih. Ketika saya lelah, saya lebih memilih untuk tidur terlebih
dahulu daripada belajar. Tidak pula seharian saya belajar hingga melupakan
waktu bersenang-senang. Saya belajar SKD dengan santai. Namun, sebisa mungkin saya
tidak pernah membantah kata-kata orang tua saya atau menolak permintaan mereka.
Terutama, ketika mereka sedang menyuruh atau menasehati saya.
Tanggal 30 Januari 2020
Seleksi tahap pertama di Gedung
Arcamanik. Saya datang kesana diantar oleh Bapak. Waktu itu, siang hari dan
sedang panas-panasnya. Bersama seorang teman saya mengantri untuk masuk ke
dalam gedung. Di sela-sela mengantri, saya haus sekali karena kepanasan dan
tidak sempat minum. Bapak yang menunggu tidak jauh dari antrian dan tahu
anaknya kehausan menghampiri saya. Lalu menyodorkan sebotol minuman dingin
sembari menenteng tas ransel dan berlari kecil di tengah-tengah cuaca panas mengikuti
antrian saya yang terus maju ke depan. Saya melihat ke sekeliling antrian dan tidak
menemukan satu pun orang tua lain yang sebegitu perhatian pada anaknya seperti
yang dilakukan oleh Bapak saya.
Di dalam gedung kami diminta
menunggu. Saya duduk di baris kedua dari depan. Dari sekian banyak peserta
seleksi di hari itu, tidak satu pun saya menemukan wajah teman satu angkatan
saya ketika kuliah dulu. Kebanyakan pendaftar adalah fresh graduate yang baru saja lulus. Omg, berasa tua banget deh
saya waktu itu.
Bahkan, saya juga tidak menemukan
satu orang lain pun yang berasal dari jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Semuanya
berasal dari jurusan lain. Salah jadwal gitu? Batin saya curiga.
Karena kami menunggu cukup lama,
akhirnya saya dan teman saya izin ke toilet. Sembari berjalan melewati barisan kursi
yang panjang, saya iseng memerhatikan raut wajah para peserta seleksi. Ada yang
ekspresinya tegang, bengong, melamun, stress dan bodo amat. Benar ternyata yang
dikatakan oleh teman saya. Kami pun berjalan melewati mereka. Tak kuasa menahan
tawa. *Astaghfirullah*
Tak lama kemudian, kami masuk ke
dalam ruangan seleksi. Saya mendapat kursi paling depan. Dekat dengan kipas
angin. Thank God. Walaupun saya nanti
masuk angin, setidaknya, fokus saya tidak terganggu. Dan saya tidak akan
terintimidasi oleh peserta lain yang lebih dulu selesai daripada saya. *semangat!!!*
Singkat cerita saya mendapat
nilai SKD 375.
Waktu itu saya belum yakin bahwa
saya akan lolos seleksi karena melihat
nilai peserta lain yang juga tinggi-tinggi. Apalagi, sekolah yang saya pilih
tersebut nyatanya adalah sekolah dengan pelamar terbanyak lebih dari 200 orang.
Qadarullah, beberapa minggu kemudian saya dinyatakan lolos seleksi tahap
pertama. Dari 6 orang yang lulus ke tahap SKB, saya menduduki peringkat kedua.
Seharusnya, jika tidak ada seleksi lanjutan saya sudah otomatis lolos dan
mengajar di Cirebon.
Maret – Oktober
Karena pandemi Covid-19, tes SKB
ditunda. Masa-masa yang panjang ini saya gunakan untuk belajar materi Bahasa Inggris
dan pedagogik. Tidak ada trik khusus untuk yang satu ini. Saran saya sederhana:
konsistenlah membaca dan perbanyak berdoa. Hindari berdebat walaupun berada di
pihak yang benar. Apalagi jika berada di pihak yang salah.
Kenapa berdebat? Karena sepanjang
Maret sampai Oktober, di akun resmi BKN sedang ribut memperdebatkan antara
serdik versus non-serdik.
Sebagai guru honorer yang belum
mempunyai serdik padahal sudah mengajar bertahun-tahun lamanya, tentu saja rasa
untuk menumpahkan kekecewaan pada pemerintah dan ikut berdebat itu pastilah
ada. Apalagi jika mengingat akses dan biaya untuk ikut PPG mandiri tidaklah
murah. Hati rasanya panas bergejolak. Tapi, kembali lagi pada diri sendiri. Saya
tidak mau sibuk berdebat sementara saingan saya justru sedang sibuk belajar.
Utamakan prioritas!
Meskipun saya mengetahui salah
seorang saingan saya mempunyai sertifikat pendidik yang otomatis akan membantunya untuk mendapat nilai sempurna di tes SKB, saya berusaha untuk tetap semangat dan berpikir
positif bahwa rezeki itu Allah yang atur. Manusia hanya dituntut untuk berusaha
dan berdoa secara maksimal. Selebihnya urusan Allah. Lagipula, saya sudah
menghapal doa istirja.’ Saya tidak cemas akan rezeki saya.
Semangat saya justru agak memudar
bukan karena tahu jika salah seorang saingan saya punya serdik. Akan tetapi,
karena di suatu siang Mama tiba-tiba datang menghampiri saya yang sedang berada
di dalam kamar.
Mama yang saat itu terlihat khawatir
lalu bercerita mengenai tetangga lama kami yang baru saja bertemu dan sekarang tinggal
di Cirebon. Berdasarkan penuturannya, Mama jadi tahu jika daerah
yang saya pilih sebagai lokasi penempatan tersebut adalah daerah yang rawan
tindak kejahatan! Seketika saya penasaran dan mencoba googling mengenai kriminalitas di daerah tersebut. Dan ternyata memang benar seperti yang dikatakan Mama. Daerah itu rawan begal dan
perampokan! Sungguh, saya tidak takut saingan saya punya serdik. Saya justru lebih takut jika saya lolos seleksi lalu bertemu begal dan menjadi korban perampokan. *hiks*
Selama beberapa hari setelah
mendengar penuturan Mama, saya mimpi buruk. Saya bingung antara ingin lolos
CPNS tapi enggan pindah ke daerah sana. Apalagi, di sana tidak ada satu orang
pun keluarga, kenalan atau sanak saudara. Setiap kali saya galau, saya perbanyak
istighfar dan berdoa. Seringkali hanya dalam hati. Semua kegelisahan itu saya pendam sendiri. Lagipula, akan tambah tidak enak jika membuat orang tua
saya khawatir. Akhirnya saya pasrah namun tetap sambil belajar.
Seleksi SKB
Sambil menenteng surat rapid tes,
saya diarahkan oleh panitia menuju tempat penyimpanan barang. Lalu diminta
mengantri dan menunggu dengan masker,
face shield dan sarung tangan sudah
terpasang rapi di wajah dan kedua tangan. Tak lama kemudian, kami di panggil ke
ruangan tes. Saat itu, tidak teringat sama sekali kegelisahan saya sebelumnya jika lolos
CPNS dan di tempatkan di daerah yang rawan tindak kejahatan.
Thank God. Karena akibatnya, saya jadi bisa fokus berusaha maksimal. Dan, lagi-lagi saya dapat kursi paling
depan. Entahlah harus mengeluh atau bersyukur karena saya jadi dekat dengan
kipas angin yang ukurannya besar-besar! Hembusan anginnya itu, lho! Hehehe….
Waktu 90 menit ternyata lebih dari
cukup untuk mengerjakan 100 soal SKB. Saya masih bisa mengecek jawaban saya dua
kali. Dan itu pun masih tersisa waktu 5 menit lagi. Singkat cerita, tes pun
selesai dan nilai SKB saya 365. Waktu itu, Bapak yakin saya lolos CPNS. Tapi,
saya masih ragu-ragu.
Kecurigaan mulai muncul tatkala
saya sudah cukup lama selesai test, namun Mama dan adik saya tidak juga menelpon
padahal mereka menonton live streaming-nya di Youtube. Akhirnya, setelah selesai makan, saya menelpon Mama. Dan
ternyata benar dugaan saya itu. Saya berada di peringkat kedua. Otomatis saya
tergeser oleh saingan saya yang memiliki serdik meskipun dia berada di
peringkat keempat.
Padahal, jika tidak ada yang
memiliki serdik saya sudah bisa dipastikan lolos ke Cirebon. Karena kuota yang
dibutuhkan di sekolah yang saya lamar itu 2 orang. Dari situ, saya teringat doa
istirja’ yang sudah saya hapalkan. Setelah meminta
maaf pada orangtua, saya melafalkan doa itu di perjalanan pulang.
Satu sisi saya lega karena tidak jadi pergi ke Cirebon. Tapi, di sisi yang lain saya sedih karena mengira diri saya tidak lulus CPNS.
Hari-hari berikutnya terasa begitu
membosankan. Saya mulai jarang mengikuti perkembangan seleksi CPNS karena telah
menganggap diri saya gagal. Bahkan sebelum pengumuman CPNS itu resmi
diberitakan. Sampai di suatu hari, tiba-tiba saya ingin sekali untuk melihat
kembali daftar peserta yang lolos seleksi tahap pertama. Di situ saya mengetikan
kata kunci Bahasa Inggris. Dan menemukan SMAN 1 Cidahu kosong tanpa satu pun pelamar
jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lolos seleksi.
Dari situ saya teringat bahwa
formasi kosong akan diprioritaskan untuk diisi. Saya mulai kembali bersemangat
dan menghitung perolehan nilai seluruh peserta formasi pendidikan Bahasa
Inggris Pemprov Jabar. Hasilnya, ternyata nilai integrasi SKD-SKB saya paling
tinggi. Tapi, itu pun belum aman. Karena saya tidak tahu apakah peserta lain mempunyai
serdik.
Hari-hari yang awalnya datar dan membosankan berubah menjadi
hari yang penuh tanda-tanya. Dalam masa-masa menunggu itu, hanya Bapak yang
berkeyakinan saya bisa lolos CPNS. Sementara, Mama dan saya lebih realistis.
Hari yang ditunggu pun tiba. Hasil seleksi CPNS 2019 diumumkan. Dan, ternyata prediksi Bapak benar. Saya
lolos CPNS ke SMAN 1 Cidahu di Kuningan. Yang mana lokasinya cukup ramai dan dekat
dengan rumah saudara saya. Tidak sepi dan rawan kejahatan seperti di Cirebon.
Saya tidak menemukan satu pun berita kriminalitas di lokasi di mana nanti saya
akan mengajar. Rasanya seperti keajaiban. Apalagi di tengah-tengah serbuan
pelamar Bahasa Inggris yang cukup banyak memiliki serdik. Doa istirja’ itu
benar. Saya melafalkannya dan Allah menggantikan kegagalan saya lulus di Cirebon dengan menempatkan diri saya di tempat yang jauh lebih baik.
Begitulah teman-teman sepenggal cerita dari saya. Semoga sharing pengalaman kali ini bisa diambil hikmahnya.